Korosi Plagiasi di Sekolah
Penggunaan teknologi AI generatif, seperti ChatGPT, bisa menyuburkan plagiarisme. Plagiarisme merupakan kebusukan pikir di dunia akademis. Perlu sikap kritis untuk mencegah korosi nilai-nilai luhur pendidikan yang masif.

Pernah suatu kali, seorang rekan guru menunjukkan sebuah aplikasi untuk mengecek plagiarisme.
Dengan semringah, dia bercerita tentang cara menggunakan aplikasi itu. Menurut dia, sangat sederhana dan akurat, langsung diketahui persentase kadar plagiarisme. Benar saja, aplikasi itu sangat mudah digunakan guna mengecek karangan atau berbagai tulisan para murid.
Setelah murid ditakut-takuti menggunakan aplikasi itu, beberapa waktu kemudian hasil cek kemiripan naskah para murid dalam bentuk similarity index menunjukkan persentase yang relatif kecil. Senyum semringah tersungging karena adanya indikasi kejujuran akademis murid telah menjadi kebiasaan di sekolahnya.
Namun, perasaan senang itu terusik kembali manakala muncul pertanyaan kritis dalam benaknya. Benarkah si murid A dengan keseharian seperti itu bisa menulis seotentik, seaktual, dan sedalam ini?
Ibarat pepatah ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Teknologi digital selalu saja lebih dulu dikuasai para murid daripada sang guru. Manakala guru tengah berbahagia bisa memanfaatkan aplikasi cek plagiasi daring, ternyata para murid sudah menguasai teknologi lain berupa aplikasi parafrasa.
Ibarat pepatah ’guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Teknologi digital selalu saja lebih dulu dikuasai para murid daripada sang guru.
Memarafrasakan adalah menguraikan kembali suatu teks dalam bentuk lain. Jika kita cari di mesin pencari Google, akan banyak ditemukan aplikasi itu. Dari yang berbayar pakai uang dollar, sampai yang benar-benar gratis. Proses memarafrasa tak butuh waktu lama.
Tinggal menyalin teks asli, lalu ditempatkan di kolom aplikasi dan diakhiri dengan satu klik, akhirnya naskah baru yang berbeda dengan naskah asli sudah hadir di depan mata.
Naskah bukan karya sendiri tersebut pasti lolos dari filtrasi cek plagiasi. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, di laman Youtube telah berseliweran tutorial memarafrasa naskah asing menjadi naskah bahasa Indonesia yang selanjutnya dijual guna menghasilkan cuan.
Seperti diberitakan oleh futurism.com, fenomena ini mirip seperti yang dialami Antony Aumann, seorang profesor filsafat di Northern Michigan University, yang curiga dengan naskah ilmiah karya mahasiswanya. Tak seperti biasanya, naskah tersebut tampak koheren dengan struktur sangat bagus.
Akhirnya, setelah diusut oleh sang profesor, diketahui bahwa mahasiswa itu menggunakan perangkat lunak chat bot AI (artificial intelligence) bernama ChatGPT. Aplikasi cerdas ini merupakan sarana mengobrol (chat) yang tak biasa (tak seperti jawaban normatif chatbot di aplikasi Whatsapp selama ini); lebih nyambung, dan sesuai konteks (optimizing language models for dialogue).
Format dialog ChatGPT mampu menjawab pertanyaan secara cepat, memberikan ide tindak lanjut secara mendetail, menentang pendapat yang salah, menolak permintaan yang tidak pantas, dan bahkan bisa mengakui jika salah. Tidak tanggung-tanggung, hanya dalam waktu satu minggu sejak dirilis pada 30 November 2022, aplikasi ini sudah memiliki lebih dari 1 juta pengguna.

Mulai dari sekolah
Plagiarisme merupakan kebusukan pikir di dunia akademis. Korosi nilai-nilai luhur pendidikan secara masif akan terjadi melalui praktik ini.
Bukan sekadar masalah melanggar sebuah hak cipta atau tidak, melainkan bagaimana dunia pendidikan selalu mengedepankan kejujuran. Kejujuran mutlak, yang tanpa tawar-menawar. Jika karya sendiri, layak dihargai. Namun, jika karya orang lain, sudah sepatutnya tidak diakui sebagai karya sendiri.
Anti-plagiarisme sudah menjadi slogan keseharian di perguruan tinggi (PT) karena berkaitan dengan penjurnalan karya ilmiah mahasiswa dan dosen. Sementara di ranah sekolah, anti-plagiarisme belum menjadi sebuah gerakan bersama.
Sebagai contoh, dengan kehadiran hukum positif anti-plagiarisme melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Aturan ini merupakan karpet merah hanya bagi PT, bukan ranah sekolah. Padahal, durasi belajar di PT hanya empat tahunan, sedangkan di sekolah bisa dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA).

PT bukanlah tempat awal mengenalkan anti-plagiarisme, tetapi fase praktik anti-plagiarisme dalam karya ilmiah yang pengenalannya sudah dimulai sejak di bangku sekolah. Selama ini sekolah memaknai plagiarisme hanya dalam lingkup mencontek, khususnya saat mengerjakan soal ujian.
Sudah saatnya komunitas sekolah, khususnya guru, memperluas arti kata mencontek dari sekadar meniru jawaban pekerjaan murid lain menjadi sebuah hakikat bahwa tindakan mencuri ide atau karya orang lain adalah tindakan amoral yang melanggar nilai kejujuran dan bahkan merupakan bentuk kejahatan. Sudah saatnya guru juga terikat oleh hukum positif anti-plagiarisme, termasuk di dalamnya tentang swaplagiasi (self plagiarism).
Praktik di lapangan, tidak sedikit guru yang sekadar copypaste dalam membuat naskah ilmiah untuk memenuhi tugas kedinasan dan kepangkatan.
Hal sederhana, seperti membuat materi presentasi atau menyisipkan gambar dari laman internet pada soal ujian baik jika menuliskan sumbernya.
Teladan ini akan dilihat murid dan menjadi pembiasaan untuk membangun kejujuran melalui penghargaan terhadap karya orang lain. Jika praktik plagiarisme yang dilakukan guru dibiarkan berlarut-larut, sangat mungkin kebusukan tersebut akan menguar dan menular sampai diri para murid.
Jika praktik plagiarisme yang dilakukan guru dibiarkan berlarut-larut, sangat mungkin kebusukan tersebut akan menguar dan menular sampai diri para murid.
Sebenarnya, aplikasi cek plagiasi hanyalah alat, pintu masuk, untuk menganalisis sebuah naskah. Masih ada tahap selanjutnya yang harus dilakukan, yaitu cek manual oleh guru.
Cek manual dibutuhkan karena berbagai perangkat lunak cek plagiasi hanya menunjukkan angka kemiripan kuantitatif, bukan kualitatif. Bisa saja angka kemiripan hanya 10 persen, tetapi sebenarnya sudah plagiat dalam beberapa alinea pokok dan inti gagasan.
Sebaliknya, angka kemiripan 30 persen bisa terjadi hanya karena penggunaan kata-kata umum yang terserak di sepanjang naskah. Untuk jadi pengecek plagiarisme, guru harus mau belajar dan selalu memperbarui berbagai informasi setiap saat. Naif ketika guru mengecek hal yang tak diketahuinya. Kebiasaan berliterasi tidak hanya jadi tuntutan bagi murid, tetapi juga kewajiban bagi guru.
Selain bekal literasi, guru juga harus mampu melihat secara utuh konteks murid. Model interaksi keseharian yang bervariasi dan berkualitas dengan murid akan memampukan melihat konteks diri mereka. Proses identifikasi ketidakjujuran murid akan bisa dilakukan sejak awal. Para guru harus mampu memeluk teknologi tanpa kehilangan sisi manusiawinya.
R Arifin Nugroho,Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta

R Arifin Nugroho