Hajat sesungguhnya program Kuliah Merdeka adalah ”co-creation” yang menghadirkan pengalaman belajar yang tak biasa, menguatkan pemahaman ilmu. Kalaupun kini muncul guncangan, itulah yang kita butuhkan.
Oleh
Iwan yahya
·5 menit baca
Universitas selalu merupakan sandingan dan tautan kesadaran publik atas nilai kecerdasan berpikir, kemajuan pengetahuan, dan persembahan inovasi. Konstruksi pemaknaan seperti itu menyajikan ruang peran yang besar bagi universitas dan institusi pendidikan tinggi dalam ikhtiar memajukan bangsa dan peradaban. Bahkan, negara menyandarkan asa agar terpantik gagasan bernas yang lalu menjadi bulir-bulir kreativitas dalam cakupan tridharma.
Saya memandang kebijakan tentang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) terbina oleh kesadaran semacam itu. Dibangun dari sandaran fakta bahwa sumber pengetahuan kini telah tersebar di beragam simpul aktivitas. Industri, lembaga riset, rumah sakit, lembaga negara, dan desa merupakan simpul yang menyimpan nilai keunggulan yang dapat memperkaya khazanah berpengetahuan. Oleh karena itu, pengalaman belajar yang berkeunggulan elok dibangun dari konsep fusi intelektual yang diikuti oleh pola berkarya yang bersifat co-creations dan lalu membuahkan apa yang disebut sebagai co-innovations.
Esensinya sesederhana itu. Tautan antar pihak penyumbang keunggulan dalam satu ruang peran yang dinamis dan saling menguatkan. Delivery pengetahuan melalui aksi yang dirajut berkat koherensi para pihak. Koherensi itulah yang menumbuhkan sinergi antara universitas dengan mitra mereka baik kalangan industri maupun institusi lain. Memunculkan skema tindakan bersama yang lalu direkognisi sebagai bagian cakupan kurikulum. Lompatan pemikiran yang benefitnya berupa pengalaman belajar yang lebih kaya disertai impak signifikan.
Lantas, apakah kemudian lompatan berpikir seperti itu telah diterima sebagaimana diharapkan? Rupanya tidak juga. Opini di Kompas tanggal 10 dan 23 Januari 2023 menyajikan kritik yang saya pandang elok pula dikritisi. Perspektif penulis pada kedua tulisan itu menjadi penanda yang cukup jelas betapa gagasan fusi intelektual, co-creation, dan co-innovation belum sepenuhnya menjadi penciri budaya berkarya universitas kita pada umumnya. Keadaan yang menurut hemat saya memicu distorsi persepsi atas konsep MBKM dan lalu menimbulkan guncangan. Mengapa demikian?
LEMBAGA INTAN
Mahasiswa Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, saat magang di Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, beberapa waktu lalu.
Persoalan kelenturan sistem inovasi
Para insan cendekia di universitas elok diajak untuk melakukan reposisi strategi tridharma mereka. Perubahan besar yang dipicu kemajuan teknologi digital, suka tidak suka, menghadirkan gelombang perubahan mendasar yang bersifat disruptif.
Reposisi itu setidaknya mencakup dua perkara. Pertama, perguruan tinggi kini tak lagi menjadi pemain tunggal yang dominan dalam sajian pengalaman belajar. Simpul-simpul yang dapat menjadi suluh ikhtiar berpengetahuan telah tersebar dengan kontributor yang berada di beragam ranah bekerja. UMKM, lantai bursa, hingga firma hukum dapat menyajikan pengalaman belajar yang sangat bernilai.
Kedua, proses berinovasi di perguruan tinggi tak lagi cukup dipandang sebatas kemampuan penciptaan nilai yang tertelusur secara akademik. Impak harus menjadi kata kunci. Karena itu, universitas dituntut pula untuk membangun kemampuan men-delivery inovasi secara efektif.
Perubahan besar yang dipicu kemajuan teknologi digital, suka tidak suka, menghadirkan gelombang perubahan mendasar yang bersifat disruptif.
Dari kedua perkara itulah, menurut hemat saya, sengkarut persepsi terhadap MBKM bermula. Belum semua universitas merancang sistem inovasinya dari persektif fusi intelektual. Budaya berkarya belum sepenuhnya bertumpu pada rancangan aktivitas kolektif yang melibatkan pengetahuan lintas disiplin ilmu dalam grup riset. Di beberapa tempat bahkan masih kental dengan aroma bekerja individual.
Tak berhenti di situ, bahkan belum semua universitas yang telah menerapkan pola berkarya berbasis grup riset memiliki strategi lanjutan dalam memperkuat portofolio program studi mereka dalam wujud ranah inovasi bersama antar grup riset. Padahal, justru portofolio program studi merupakan kunci yang sangat penting karena memuat signature penciri keunggulan akademik dan inovasi institusi. Himpunan parameter yang akan memperkuat posisi tawar program studi dan universitas dalam ekosistem inovasi yang lebih besar.
Keadaan tersebut tak lepas dari pemaknaan ruang peran kalangan universitas yang berdampak pada strategi inovasi. Kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi tak pelak seharusnya memaksa setiap universitas untuk membangun sistem inovasi dalam sandaran kesadaran fusi intelektual. Kesadaran itu akan berdampak pada tumbuhnya mekanisme bekerja dalam perspektif co-creation yang tumbuh dari harmoni individu yang sederap. Itulah koherensi kerja kelompok. Buah yang muncul kemudian adalah pencapaian tridharma yang terjejak mumpuni.
Proses penciptaan nilai
Untaian proses dari kesadaran akan pentingnya fusi intelektual hingga terciptanya jejak mumpuni itulah yang disebut sebagai proses penciptaan nilai. Menjadi fundamen dan memunculkan respek dalam ikhtiar value proposition. Dari mana datangnya respek? Tentu tak lain dari pihak yang merasa dapat memperoleh benefit dari pencapaian yang disajikan oleh universitas. Mereka inilah yang kemudian elok diikat dalam skema tumbuh bersama sebagai co-working partners universitas karena ternilai dapat memberikan imbangan benefit yang setidaknya setara.
Kemampuan universitas untuk menghadirkan sinergi dan co-creation dengan co-working partners mengindikasikan kokoh dan lenturnya sistem inovasi. Kelenturan itu akhirnya akan membuahkan apa yang disebut sebagai co-innovations. Adapun MBKM adalah wujud benefit paling sederhana yang dapat dimunculkan sabagai salah satu ragam aktivitas dalam cakupan co-creation itu. Pemahaman inilah yang tampaknya belum merasuk dan menjadi bagian sistem inovasi di banyak universitas.
Kalaupun kini muncul guncangan, itulah yang kita butuhkan. Elok untuk terusik demi melonjak kepada kestabilan yang lebih tinggi.
Alih-alih bergerak serentak membangun co-innovation agar memiliki posisi tawar kuat di dalam eksosistem dan lalu menghasilkan strong impact bernilai bisnis, sebagian kalangan terjebak oleh interpretasi sangat pragmatis. MBKM tidak dipandang sebagai elemen penyusun skema keunggulan yang lebih besar.
Tak mengherankan muncul pandangan reaktif seperti dalam opini Kompas, 23 Januari 2023, yang terjebak pada pemaknaan konversi mata kuliah dengan pengalaman belajar. Hal ini harus dikoreksi karena hajat sesungguhnya adalah co-creation yang menghadirkan pengalaman belajar yang tak biasa, menguatkan pemahaman ilmu dan ternilai memiliki impak signifikan. Oleh karena itu harus menjadi bagian strategi inovasi. Dirancang secara taktis agar dapat direkognisi sebagai cakupan kurikulum.
Sebagian kalangan kampus mungkin akan bertanya apakah uiversitas berkelas dunia juga berpikir dan bertindak dalam logika co-creation? Sinergi antara MIT dan Harvard University yang melahirkan Broad Institute adalah jawaban atas pertanyaan itu. Siapa yang tidak respek kepada MIT dan Harvard? Tidak ada!
Namun, seperti disajikan dalam LexisNexis Innovation Momentum 2022: The Global Top 100, gabungan portofolio keduanya tetap saja tak mampu melawan dominasi Tsinghua University. Maka, Broad Institute adalah bentuk respons dan jawaban yang dibangun untuk menghasilkan competitive impact terhebat. Habatnya, itulah yang terjadi. Portofolio Broad Institute sangatlah kecil dibandingkan Tsinghua atau bahkan MIT dan Harvard itu sendiri, tetapi competitive impact-nya menempati posisi tertinggi di dunia.
Saya melihat inilah pola yang sedang diinginkan negara. Keserempakan dalam irama dan sinergi bekerja untuk menghasilkan impak yang signifikan. Tentu MBKM elok ditempatkan dalam logika semacam itu. Kalaupun kini muncul guncangan, itulah yang kita butuhkan. Elok untuk terusik demi melonjak kepada kestabilan yang lebih tinggi. Wallahualam.