SKB Cuti Bersama
Umumnya karyawan juga tidak setuju jika cuti bersama tersebut mengurangi hak cuti tahunan mereka. Apalagi, pada tahun ini cukup banyak hari-hari kerja yang ditetapkan sebagai cuti bersama oleh pemerintah.
Pemerintah sudah beberapa kali mengeluarkan surat keputusan bersama tentang hari libur nasional dan cuti bersama, termasuk untuk tahun 2023.
Pada surat keputusan bersama (SKB) di atas disebutkan, ”Pelaksanaan cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan pegawai/karyawan/pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku pada setiap unit kerja/satuan organisasi/lembaga/perusahaan”.
Pada diktum ketujuh disebutkan, ”Pelaksanaan cuti bersama bagi lembaga/instansi swasta diatur oleh pimpinan masing-masing”.
Jika mengacu pada ketentuan di atas, hanya instansi pemerintah yang libur (kecuali beberapa instansi harus masuk karena jenis pekerjaan). Instansi swasta menganggap aturan SKB tidak berlaku bagi karyawannya, kecuali pemimpin perusahaan memutuskan cuti bersama dengan atau tanpa mengurangi hak cuti karyawan.
Secara faktual, SKB tentang libur nasional dan cuti bersama yang dibuat pemerintah telah banyak membuat kebingungan dan ketidakpastian di lingkungan perusahaan swasta karena tidak ada kepastian terkait cuti bersama sebagai hari libur.
Cukup banyak perusahaan yang tidak mengikuti cuti bersama dan menetapkannya sebagai hari kerja seperti biasa untuk para karyawannya. Mereka tidak mengikuti isi SKB untuk melaksanakan cuti bersama.
Umumnya karyawan juga tidak setuju jika cuti bersama tersebut mengurangi hak cuti tahunan mereka. Apalagi, pada tahun ini cukup banyak hari-hari kerja yang ditetapkan sebagai cuti bersama oleh pemerintah.
Harapannya, ke depan, dalam membuat SKB cuti bersama, pemerintah bisa meminta masukan dan saran dari pemangku kepentingan di dunia ketenagakerjaan, seperti serikat pekerja, asosiasi pengusaha, asosiasi praktisi HRD, dan asosiasi mitra perusahaan. Dengan demikian, tidak terjadi kesalahpahaman lagi dalam menafsirkan SKB cuti bersama serta memberikan kepastian bagi perusahaan dalam membuat keputusan. Terima kasih.
Yosminaldi Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), Kompleks Central Business District Kawasan Industri, Cikarang Selatan, Bekasi 17530
Pembangunan Pasar Karet
Ini surat kedua saya, meminta kepastian dan kejelasan tentang pembangunan Pasar Karet. Jadi atau tidak?
Pertengahan tahun 2016 saya disuruh pindah tempat ke dalam pasar karena mau dibangun. Sebagian untuk penampungan sebagian untuk pedagang. Tahun 2017 sampai detik ini kenyataan pasar belum juga dibangun.
Selama enam tahun saya terus membayar sewa. Kebetulan saya punya tujuh tempat berdagang, tapi yang saya tempati hanya lima. Ada dua tempat tak layak ditempati dengan kondisi sekarang, tetapi sewa jalan terus. Sampai kapan?
Saya mohon dengan sangat kepada pimpinan PD Pasar Jaya yang terhormat untuk memberikan solusi dan kepastian. Saya harus bagaimana?
Sewa per bulan kios itu Rp 157.593. Untuk dua tempat berarti Rp 315.186. Dalam satu tahun saya membayar 12 bulan = Rp 3.782.232. Dalam enam tahun berarti Rp 22.693.392.
Tolong bantu saya menyelesaikan persoalan ini.
Ita MT SedjajaPedurenan Mesjid, Karet Kuningan, Jakarta Selatan
Kenaikan Harga
Mustawan loper koran Kompas yang selalu menawarkan koran Kompas di jembatan penyeberangan orang Ratu Plaza, Jakarta Pusat, seperti terlihat pada hari Jumat (3/7/2020). Penumpang bus Transjakarta yang sebagian besar adalah pekerja kantoran di kawasan Senayan adalah salah satu pelanggan potensialnya. Kompas/Priyombodo (PRI)03-07-2020
Surat saya barangkali yang kesekian dari rangkaian surat pembaca Kompas, menanggapi kenaikan harga langganan.
Bagi saya, eksistensi Kompas bukan sekadar koran atau media informasi, melainkan telah menjadi sahabat setia membagikan informasi, opini bermutu, dan menyatukan dengan pembaca lain dengan berbagai latar belakang. Itulah yang membuat saya tetap terikat dengan Kompas sejak SD hingga saat ini.
Media ini membuat saya senang mengkliping. Terbukti sangat menyenangkan membaca kliping yang dikerjakan secara manual itu beberapa tahun kemudian. Informasi itu sangat membantu saya sebagai karyawan dan pengajar dalam menulis karya tulis.
Jujur saja, kenaikan itu sangat berat, terutama bagi kami para pengajar. Namun, saya percaya pengorbanan ini sebanding dengan nilai informasi yang kami dapatkan.
Perlu disampaikan, para agen dan loper juga semakin sulit mempertahankan pelanggan setianya. Di Bekasi, tempat tinggal saya, jumlah agen dan penjual koran satu demi satu tumbang. Profesi ini tidak lagi menarik seperti tahun 1970-1990-an.
Pindah ke koran digital juga tidak menjadi pilihan karena ada sensasi sendiri membaca koran fisik. Akhirnya kami tetap setia, dengan harapan Kompas meningkatkan mutu pelayanan. Demikian.
Sudarmawan Juwono Pengajar Universitas Bung Karno Jakarta,Bumi Anggrek, Tambun Utara, Bekasi 17510
Terbit Tiga Kali
Saya membaca Kompas sejak terbit Juni 1965 dan berlangganan mandiri sejak 1974. Sekarang saya pensiunan usia 74 tahun.
Hal kenaikan harga langganan, mungkinkah dipertimbangkan lagi jalan keluarnya?
Saya mengusulkan agar Kompas terbit satu minggu tiga kali saja, yaitu Minggu, Selasa, dan Jumat. Harga langganan untuk pensiunan Rp 106.000, tetapi jumlah halaman ditambah dari 16 menjadi 20 halaman. Opini artikel dipadatkan, berita olahraga dilengkapi dan dipadatkan.
Membaca Kompas menambah wawasan dan untuk para pensiunan menjadi hiburan yang terus ditunggu. Mohon maaf jika kurang berkenan.
KadarmantoRandusari, Makamhaji, Kartasuro, Solo 57161
Pengundang Iklan
Rahmad (53), berjualan koran dengan berkeliling Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (10/10/2021). Menurut Rahmad, kini pembeli koran kian sedikit dan pendapatannya turun drastis. Perkembangan media digital kini menjadi tantangan bagi media konvensional seperti surat kabar, tabloid, dan majalah. (tambahan caption untuk pencarian silo: koran, surat kabar, media, disrupsi digital, media daring, media online, minat membaca ) Kompas/Yuniadhi Agung (MYE) 10-10-2021
Wajar sejumlah pelanggan menilai kenaikan harga langganan Kompas menjadi Rp 200.000 per bulan mahal!
Selama Kompas tidak lagi ditunjang iklan yang memadai—mencapai 25 persen dari jumlah halaman—maka subsidi harga tidak berjalan. Harga koran menjadi mahal. Jadi harus bagaimana?
Saya mengusulkan, selain berita aktual, tiga komponen tulisan yang disukai masyarakat perlu disajikan.
Pertama, tulisan menarik. Misalnya, ”Berhenti Merokok Bukan Hal Mustahil" (Kompas, 5/1/2023).
Kedua, tulisan unik yang baru sesekali dimuat di rubrik Nama & Peristiwa.
Ketiga, humor intelektual. Sampai saat ini Kompas belum menampilkan.
Sebagai ilustrasi, pembicara hebat di seminar atau di lokakarya adalah yang mampu menyelipkan humor dalam pembicaraannya. Dengan demikian, peserta seminar tidak jenuh atau mengantuk.
Ilustrasi ini perlu diterapkan di media arus utama sehingga konten yang disajikan tidak serba serius.
Narasumber media massa, Joko Supriyono, senang bercanda dengan awak media saat dalam suatu pemaparan informasi diselingi candaan.
Demikian pula sentuhan humor Gus Dur di beragam disiplin ilmu turut mengantarkannya ke Istana Negara. Guyonan Presiden ke-4 RI itu selalu aktual dan dibukukan.
Sejarah pers mencatat, kejayaan koran pagi dan sore saat ”dikerangkeng” pemerintah pernah mencapai lebih dari satu juta pembaca dan menempati peringkat atas keterbacaan tahun 1980-an. Iklan pun mengantre.
Di koran sore, ada nilai tambah terukur, seperti rubrik humor intelektual, yang terbit setiap hari di halaman utama. Saya termasuk penulis humor intelektual tersebut.
Judul rubrik yang saya tulis, antara lain, Anak Tak Kenal Ayah di Satu Atap, Penjual Daging yang Malu, Lipas Jerman di Kapal Indonesia.
Di edisi Minggu, pembaca rutin disapa humor Nyonya Cemplon. Penulisnya seorang pria ganteng bernama Umar Nur Zain, jadi dijuluki si Nyonya Cemplon.
Pada tahun 1990-an rubrik humor intelektual yang menyajikan kehidupan sehari-hari itu ditiadakan setelah perubahan manajemen. Diganti dengan rubrik Titik Pandang dan Kronik, sejenis tulisan berat. Bisa jadi itu turut memengaruhi degradasi pelanggan koran sore yang kini tak kelihatan di pasar.
Menurut saya, rubrik-rubrik koran zaman sekarang ini kurang mendukung peningkatan pelanggan, bahkan isi rubrik terkesan dipaksakan.
Selera pembaca cenderung berubah di setiap generasi, tetapi selera humor itu sepanjang masa. Rubrik kategori hebat dan serius, jika diselingi dengan humor, berpotensi merelaksasi pikiran dan menumbuhkan minat baca.
Sisi lain manfaat humor intelektual adalah membangun masyarakat pembaca yang setia, sebagai pencerahan, dan sebagai motivasi untuk membaca sajian lain.
Semoga humor intelektual bisa dipertimbangkan, menaikkan jumlah pembaca, dan pada akhirnya meningkatkan para pemasang iklan.
Muhammad Kasir SihotangJl Wibawa Mukti IV, Jatimekar, Jatiasih, Bekasi
”Kompas” Naik Lagi
Ini surat pembaca saya yang pertama dan mungkin yang terakhir setelah berlangganan Kompas sejak 1970-an tanpa putus. Dengan kenaikan harga (lagi) menjadi Rp 200.000 dan dengan halaman yang makin tipis dan penuh iklan, saya pikir sudah tidak worth it untuk terus berlangganan.
Terima kasih Kompas telah menjadi teman setia saya di pagi hari selama lebih dari setengah abad.
Gunawan081616563xx
Jangan Naik
Kompas edisi Selasa (8/2/2022) Arsip Kompas
Saya pelanggan Kompas sejak 1977. Sebagai pensiunan, kenaikan harga koran jelas memberatkan. Adalah keliru jika hasil survei menunjukkan pelanggan koran Kompas adalah kaum mapan. Faktanya, pelanggan koran Kompas berusia matang hingga tua.
Bagaimana jika kenaikan harga drastis ini diikuti hilangnya 50 persen pelanggan?
Saya ingin terus berlangganan koran Kompas, tentu urut-urutan prioritas tetap dapur harus ngebul dulu.
Selain masalah harga baru yang memberatkan, saya juga mengajukan usul agar koran Kompas gencar mencari pembaca dari generasi muda yang disebut ”kaum milenial”.
Selanjutnya mencari lebih banyak penulis kolom berkualitas, menggantikan mereka yang sudah tidak aktif.
Semoga harga koran Kompas tidak jadi naik.
Jonathan R Daud MPenjaringan, Jakarta Utara