Bila dibandingkan dengan dua negara demokrasi terbesar pertama dan kedua: India dan Amerika Serikat, tampak jumlah wakil rakyat di Indonesia sangat berlebihan ketimbang rasio jumlah penduduk.
Oleh
Samesto Nitisastro
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengikuti sidang paripurna di Kompleks Parlmen, Jakarta, Kamis (6/5/2021). Rapat paripurna ini merupakan pembukaan masa persidangan V Tahun Sidang 2020-2021. Kompas/Hendra A Setyawan (HAS) 6-5-2021
Pemilihan Umum 2024, dengan jumlah provinsi dari 34 menjadi 38, membuat jumlah kursi DPR yang diperebutkan partai-partai politik juga naik. Dari 575 menjadi 580 kursi.
Demikian juga kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertambah dari 136 menjadi 152 kursi, atau 4 kursi di setiap provinsi. Sementara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), gabungan DPR dan DPD, jumlah kursi 732.
Penduduk Indonesia tahun 2022 berjumlah 275,4 juta orang, menjadikan Indonesia negara demokrasi ketiga terbesar dunia. Bila dibandingkan dengan dua negara demokrasi terbesar pertama dan kedua: India dan Amerika Serikat, tampak jumlah wakil rakyat di Indonesia sangat berlebihan ketimbang rasio jumlah penduduk.
Penduduk India tahun 2022 mencapai 1,38 miliar. Di India, wakil rakyat terbagi dua: Lhok Shaba (Majelis Rendah) dengan 543 kursi dan Rajya Shaba (Majelis Tinggi) 250 kursi. Parlemen India Sansad, merupakan gabungan Lhok Saba dan Rajya Shaba, jumlah kursi 793. Hanya sedikit lebih banyak daripada Indonesia, padahal jumlah penduduk India lima kali lipatnya.
Penduduk di Amerika Serikat tahun 2022 berjumlah 332,8 juta orang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai kursi 435. Senat ada 100 mewakili 50 negara bagian. Jadi, setiap negara bagian diwakili 2 senator.
Gabungan Senat dan DPR menjadi Congress, 535 kursi. Amerika Serikat mempunyai jumlah penduduk lebih banyak daripada Indonesia. Namun, jumlah wakil rakyat yang dimiliki jauh lebih sedikit, berbeda hampir 200.
Jumlah wakil rakyat yang demikian banyak di Indonesia tidak diimbangi dengan kualitas kinerja yang memenuhi harapan rakyat. DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang, tingkat produktivitasnya rendah. Kualitas undang-undangnya pun ada saja yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
DPD jarang terdengar kiprahnya, padahal DPD itu sama dengan Senat kalau di Amerika Serikat. Banyak yang usul agar DPD dibubarkan saja.
Semakin banyak wakil rakyat, semakin besar uang rakyat yang dikeluarkan negara untuk menanggung segala tunjangan dan fasilitas fantastis para wakil rakyat.
Dari pada menambah jumlah wakil rakyat, kenapa tidak menata ulang daerah pemilihan (dapil) agar tercipta rasio yang lebih realistis. Kalau perlu, jumlah kursi dikurangi.
Diperlukan kemauan politik semua pemangku kepentingan untuk memperbaiki sistem dapil, ini agar perwakilan rakyat merata dan berkualitas.
Saya senang membaca opini Dr JC Tukiman Taruna Sayoga ”Kecelik”, karena akrab dengan kata-kata dan frasa ungkapan (idiomatic phrase) dalam bahasa Jawa yang terserak di tulisan itu.
Ada juga kata ”trending” dan ungkapan (idiom) ”test the sea” dari bahasa Inggris.
Koreksi 1: Bukan ”kecelik burik”. Seharusnya ”kecelik bojoné burik”. Dalam bahasa Indonesia, ”bojo” itu istri atau suami; saya padankan dengan ”semah”. Dalam bahasa Inggris: ”spouse”.
Koreksi 2: Bukan ”test the sea”, tetapi yang lazim test the water. Dalam konteks ingin menjajaki gelombang yang timbul ”belum mengumumkan capres/cawapres”, ”test the sea” memang lebih pas.
Saya bukan kelompok yang diiwi-iwi Tukiman dengan ejekan ”kecelik”. Saya merasa kewalahan (overwhelmed) dengan gaya narsistik orasi politik yang diacu Tukiman.