Penyusutan dan penuaan petani merupakan situasi darurat yang perlu segera diantisipasi. Pemerintah perlu bergerak cepat mengendalikan perpindahan penduduk usia muda ke perkotaan dan menata ulang pembangunan pertanian.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Keengganan anak muda menjadi petani berpotensi membelit masa depan pertanian. Praktis hanya 10 persen petani di Tanah Air berusia di bawah 30 tahun dan mayoritas petani berusia 40-60 tahun (Kompas, 14/1/2023). Tata ulang pembangunan pertanian mendesak segera dilakukan.
Selain menyebabkan petani yang tersisa berusia tua, rendahnya minat penduduk usia muda menjadi petani juga menyebabkan penyusutan jumlah rumah tangga petani. Selama 2003-2013 petani berkurang 5,04 juta rumah tangga, dari 31,17 juta (2003) menjadi 26,13 juta (2013).
Fenomena penyusutan dan penuaan petani merupakan situasi darurat yang perlu segera diantisipasi karena dikhawatirkan menyebabkan keamanan pangan dan pemenuhan gizi masyarakat rentan memburuk. Sementara, impor pangan masih diliputi ketidakpastian akibat perang Ukraina, konflik, dan bencana alam.
Keengganan anak muda menjadi petani berpotensi membelit masa depan pertanian.
Soal insentif
Fenomena penyusutan petani juga terjadi di Amerika Serikat. Selama 2015-2020, persentase petani terhadap total penduduk bekerja menurut Bank Dunia (Januari 2023) turun dari 1,44 persen jadi 1,31 persen. Namun, penyusutan petani di AS bukan masalah besar di negara itu karena umumnya terjadi akibat efisiensi dari mekanisasi pertanian yang kian canggih dalam menggantikan peran manusia. Eloknya, penyusutan itu diimbangi perkembangan industri pertanian yang berhasil menyerap tenaga kerja hingga 10,3 persen dari total tenaga kerja.
Di sisi lain, dengan penggunaan teknologi pertanian yang belum begitu maju dan masih bersifat padat karya, penyusutan petani di Tanah Air menjadi masalah besar. Celakanya, meski persentase petani Tanah Air (28,1 persen) jauh lebih tinggi dari AS (1,31 persen), itu belum mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri dan masih bergantung pada impor.
Selain itu, kontribusi petani di Tanah Air terhadap produk domestik bruto (PDB) masih lebih rendah daripada di AS. Hal ini terekam dari rasio persentase tenaga kerja terhadap persentase kontribusi sektor pertanian di PDB, yang angkanya di AS 0,53 dan di Indonesia 0,46.
Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa produktivitas petani di AS lebih tinggi, merefleksikan petaninya lebih sejahtera. Lebih tingginya rasio di AS juga mencerminkan bahwa petani di AS memperoleh insentif pendapatan yang lebih besar.
Dengan insentif pendapatan yang tak begitu besar, mayoritas petani di Tanah Air hidup dalam kemiskinan dan kesejahteraan rendah. Ini tecermin dari angka kemiskinan di perdesaan yang cukup tinggi, yang menurut rilis BPS 16 Januari 2023 angkanya 12,36 persen, berdasarkan Susenas September 2022.
Sementara itu, angka kemiskinan di perkotaan 7,53 persen. Ini sekaligus mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan juga lebih buruk daripada di perkotaan. Rilis BPS menyebutkan, di perdesaan indeks kedalaman kemiskinan 2,115 dan indeks keparahan kemiskinan 0,536. Adapun di perkotaan, indeks kedalaman kemiskinan 1,158 dan indeks keparahan kemiskinan 0,264.
Perbedaan tingkat kesejahteraan itu ditengarai cukup menggoda penduduk perdesaan pindah ke perkotaan, yang umumnya dilakukan laki-laki berusia muda. Hal ini pada gilirannya menyebabkan penduduk yang tinggal di perdesaan, termasuk petani, menjadi mayoritas anak- anak dan penduduk usia tua.
Kian derasnya arus urbanisasi, ditandai persentase penduduk perkotaan yang kian melebihi penduduk perdesaan, ke depan dikhawatirkan petani berusia tua kian meningkat.
Bahkan, perpindahan penduduk usia muda ke perkotaan yang semakin besar, dalam konteks pemanfaatan bonus demografi akan kian menguntungkan daerah perkotaan. Fenomena ini pada gilirannya akan menyebabkan kesejahteraan perkotaan dan perdesaan kian timpang.
Pemerintah perlu bergerak cepat mengendalikan perpindahan penduduk usia muda ke perkotaan. Ini antara lain dapat dilakukan dengan menata ulang pembangunan pertanian sehingga dapat menciptakan ekosistem sektor pertanian yang bisa meningkatkan insentif pendapatan petani.
Penataan ulang pembangunan pertanian ini memerlukan data beragam dan mendalam terkait dengan ekosistem pertanian. Dalam konteks itu, kebetulan BPS akan melakukan Sensus Pertanian pada 1-31 Mei 2023 (ST 2023) sehingga pemerintah dan pihak terkait dapat melakukan persiapan sejak dini untuk menata ulang pembangunan pertanian. ST 2023 adalah sensus ketujuh yang dilakukan sejak 1963.
Keterlibatan sejumlah pihak diperlukan dalam membangun sektor pertanian yang tangguh. Di AS, misalnya, kemajuan sektor pertanian terjadi karena dilakukan pemerintah dengan dukungan ketiga pilar lainnya, yaitu komunitas petani, dunia usaha, dan masyarakat lokal.
Dalam melakukan kegiatan operasionalnya, keempat pilar itu konsisten menggunakan data ST. Dengan data ST, Pemerintah AS menyusun kebijakan dan program, komunitas petani merencanakan kegiatan ke depan, dunia usaha mengatur pendistribusian kebutuhan input pertanian, dan masyarakat lokal membantu pelayanan jasa kebutuhan petani.
Razali Ritonga, Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan, Alumnus Georgetown University, Mantan Kepala Pusdiklat BPS RI