Alih-alih membuat partainya makin dapat simpati publik, Nasdem justru harus berada di persimpangan jalan atas berbagi opini dari kader partainya sendiri dan dari masyarakat karena terburu-buru deklarasi capresnya.
Oleh
LELY ARRIANIE
·4 menit baca
Dua minggu ini adalah hari-hari yang mencemaskan bagi Nasdem. Bukan karena elektabilitas partainya yang kian menurun, menjadi 3,2 persen (survei SMRC, Desember 2022), melainkan karena kian bisingnya komunikasi politik yang mengisyaratkan menteri dari Nasdem di kabinet Joko Widodo harus dievaluasi dan adanya desakan perlunya kocok ulang menteri. Tujuannya agar roda pemerintahan yang dijalankan Jokowi tak dicederai oleh para pembantu yang tak lagi sejalan karena bermain dua kaki.
Tak adanya dampak signifikan deklarasi pencalonan Anies Baswedan terhadap Nasdem cukup menggambarkan dilema yang dialami Nasdem.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Alih-alih membuat partainya makin dapat simpati publik, Nasdem justru harus berada di persimpangan jalan atas berbagi opini dari kader partainya sendiri dan dari masyarakat yang menganggap Nasdem terlalu terburu-buru mendeklarasikan capresnya.
Apalagi calon yang dideklarasikan selama ini dianggap bukanlah orang yang paralel dengan pemikiran, tindakan, dan program pembangunan politik Jokowi. Alhasil, Nasdem bukan mendapatkan simpati, melainkan justru antipati.
Tak dimungkiri, Nasdem adalah partai yang sungguh berjasa besar di dua periode kepemimpinan Jokowi. Komitmen dan kesetiaan Nasdem bersama perangkat media komunikasi politik yang digunakan cukup menggambarkan kuatnya relasi patron-klien seperti digambarkan Scoot dan Roniger (1968) dalam teori patronase yang diujinya di berbagai ranah, baik politik maupun pemerintahan.
Sebagai patron, Jokowi tahu benar menempatkan kesetiaan dan komitmen Nasdem di dua periode pemerintahannya yang tak lama lagi berakhir. Di periode pertama (2014-2019), Jokowi menempatkan empat menteri dari Nasdem. Jokowi menempatkan Nasdem dalam posisi demikian terhormat meski saat itu Nasdem baru berumur tiga tahun.
Kehormatan yang sama diberikan kepada PDI-P sebagai partai di mana Jokowi berasal, meski jumlah perolehan suara PDI-P jauh lebih besar dari Nasdem.
Empat menteri Nasdem di kabinet Jokowi (20014-2019) adalah Ferry Mursidan Baldan (Menteri Agraria dan Tata ruang), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Tedjo Edhy Purdijatno (Menko Politik, Hukum, dan Keamanan), serta M Prasetyo (Jaksa Agung).
”Kami merasa bangga, kader-kader kami dipercaya Presiden. Ini suatu kehormatan,” ujar Ketua Fraksi Nasdem ketika itu, Victor Laiskodat.
Periode 2019-2024, Jokowi menempatkan tiga kader Nasdem sebagai menterinya, yakni Johnny G Plate, Syahrul Yasin Limpo, dan Siti Nurbaya Bakar. Betapa puasnya Surya Paloh sebagai Ketua Umum Nasdem ketika tiga kadernya itu dilantik sebagai menteri Kabinet Indonesia Maju.
”Kepuasan itu relatif, tetapi itu suatu hal yang harus disyukuri. Kami memberikan dukungan tanpa syarat kepada Jokowi; bagaimanapun kinerja menteri-menteri Nasdem harus jauh lebih baik di Kabinet Indonesia Maju,” ujarnya.
Posisi Jokowi sebagai patron pun diuji oleh komitmen, dukungan, dan kesetiaan Nasdem sebagai klien.
Namun, siapa menduga, menjelang tiga tahun Kabinet Indonesia Maju berjalan, tiga kader Nasdem itu seperti digugat keberadaannya sebagai menteri Jokowi. Posisi Jokowi sebagai patron pun diuji oleh komitmen, dukungan, dan kesetiaan Nasdem sebagai klien.
Bukankah Scoot dan Roniger sudah mewanti-wanti bahwa ”Sepanjang semua unsur yang melekat pada si patron, yakni kekuasaan, wewenang, kedudukan, jabatan, materi, termasuk kasih sayang itu, ada, dan si klien juga masih memiliki komitmen, kesetiaan, dukungan, ketaatan dan pengabdian, maka relasi itu masih bisa berlangsung. Namun, jika salah satu saja dari unsur itu hilang dari keduanya, maka relasi itu cenderung akan bubar”.
Serta-merta stereotip Nasdem yang begitu loyal kepada Jokowi terusik oleh dinamika internal Nasdem sendiri.
Jangka waktu dukungan tanpa syarat yang dijanjikan Nasdem sampai berakhirnya kekuasaan Jokowi di 2024 seolah dibayangi oleh isyarat biasnya komitmen Nasdem yang pastinya tak akan bisa sepenuhnya bergiat untuk menyukseskan semua program yang digagas dan dibangun Jokowi, yang menuntut dukungan semua menterinya.
Di satu pihak, Jokowi menuntut komitmen itu tak terpecah-belah. Di pihak lain, Nasdem dipastikan akan bergiat juga mendukung kampanye Anies yang dicalonkan partai sebagai capres jika syarat pencalonan 20 persen terpenuhi. Ini tentu drama politik yang pasti akan melelahkan bagi Jokowi dan juga melelahkan bagi Nasdem.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Lukisan bergambar Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang diperlihatkan pada acara Perayaan Ulang Tahun 11 Tahun Partai Nasional Demokrat di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (11/11/2022). Acara yang dihadiri para kader partai ini juga dihadiri oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan calon presiden yang diusung Nasdem dalam Pilpres 2024, Anies Baswedan. Dalam pidato sambutannya, Surya Paloh mengingatkan kepada para kader partai untuk siap memenangkan dalam Pemilu 2024.
Menguji keseimbangan politik Nasdem
Jika Nasdem tak ingin lelah mementaskan dramaturgi politiknya, sebaiknya Nasdem memerintahkan menterinya mundur sebelum dimundurkan, persis seperti disarankan dalam teori keseimbangan (Balanced Theory) Heider (1958): ”Individu dan kelompok harus termotivasi untuk mencapai keadaan harmoni, di mana situasi dan perasaan tentang situasi tersebut dapat sesuai satu sama lainnya tanpa perlu adanya ketegangan”.
Sama seperti Heider, Jokowi pasti menginginkan bahwa tiap individu yang berada di lingkungannya, termasuk perasaan mereka tentang lingkungannya dan individu yang bersangkutan, adalah sesuatu yang konsisten dan koheren.
Semua hubungan yang berada dalam entitasnya tidak boleh tidak ada yang koheren. Maka, jika itu proposisinya, mau tak mau Jokowi harus mempertimbangkan untuk menghentikan relasi patron-kliennya dengan Nasdem dengan cara yang bijaksana.
Yakni memanggil penentu kebijakan di Partai Nasdem untuk menentukan pilihan politiknya atau menimbang komitmen dengan cara yang bisa dilakukan sesuai kesepakatan dan kompromi politik.
Bukankah politik itu adalah pertemuan dan pertentangan dua kepentingan, dan hasil akhirnya adalah kompromi? Kompromi dari yang dipertentangkan dan dipertemukan dalam kepentingan.
Lely Arrianie, Ketua Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik Universitas Nasional dan Presidium AIKPI