Hak Imunitas Guru
Profesi guru dikategorikan ”officium nobile”, pekerjaan mulia dan terhormat. Hak imunitas guru bukan untuk membuat guru kebal dari hukuman, melainkan lebih pada menjaga harkat martabat guru dan memberikan ring pengaman.
Dewasa ini masih ditemukan berbagai kasus penistaan, perundungan, tindak kekerasan, intimidasi, dan pelecehan terhadap guru. Bahkan, sering kali kasus yang terjadi membawa guru berhadapan dengan proses hukum.
Ironisnya, dari berbagai kasus yang pernah terjadi, justru kebanyakan menimpa guru saat menjalankan tugas keprofesionalannya di sekolah.
Di Sragen, Jateng, guru SMAN 1 Sumberlawang dipanggil DPRD karena memarahi muridnya yang tak memakai jilbab. Lalu di Kotabaru, guru SMAN 1 Kotabaru, Kalsel, juga dipanggil DPRD karena menyita ponsel muridnya. Di Wajo, Sulsel, guru SMAN 3 dilaporkan ke polisi karena dianggap telah mencubit muridnya. Di Pandeglang, Banten, guru SMAN 2 Pandeglang dipanggil polisi atas dugaan pencurian listrik dalam pembuatan podcast.
Bukan hanya dipanggil oleh DPRD dan polisi, beberapa guru juga pernah mendapatkan pelecehan dari muridnya. Di Gresik, Jatim, guru honorer SMP PGRI Wringinanom ditantang berkelahi oleh muridnya. Di Cilincing, Jakarta Utara, 11 murid SMP Maha Prajna berjoget mengelilingi guru dan menyawer di kelas. Bahkan, orangtua murid menganiaya guru terjadi di SDN Pa’bangiang dan SMKN 5 Sidrap, Sulsel.
Baca juga: Menatap Masa Depan Guru
Pelindungan guru
Permendikbud No 10/2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah salah satu regulasi yang dibuat untuk melindungi guru apabila menghadapi masalah terkait pelaksanaan tugas. Pelindungan dimaksud meliputi pelindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual.
Permendikbud ini juga menjelaskan bahwa pelindungan terhadap guru merupakan kewajiban pemerintah pusat, pemda, satuan pendidikan, organisasi profesi (orprof), dan masyarakat.
Pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian, memiliki mekanisme pelindungan advokasi nonlitigasi berupa konsultasi hukum, mediasi, dan pemenuhan atau pemulihan hak guru. Adapun pemda, satuan pendidikan, orprof, dan masyarakat memiliki kewenangan menyediakan sumber daya serta menyusun mekanisme pemberian pelindungan.
Perlindungan merupakan hak dari guru sebagaimana dinyatakan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Guru berhak memperoleh pelindungan saat menjalankan tugas dan kepemilikan kekayaan intelektual, memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas, serta memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian, penghargaan, dan sanksi pada murid sesuai kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Peran organisasi profesi
Sebagaimana amanat UUGD Pasal 41-44, guru membentuk orprof yang bersifat independen dan wajib menjadi anggota di dalamnya. Orprof guru dibentuk untuk menjalankan fungsi memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, pelindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.
Kewenangan orprof guru, antara lain, menetapkan dan menegakkan kode etik guru, memberikan bantuan hukum kepada guru, memberikan pelindungan profesi guru, melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru, dan memajukan pendidikan nasional.
Selain itu, untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan serta martabat guru dalam menjalankan tugas keprofesionalannya, orprof guru diharuskan membentuk kode etik guru. Kode etik guru merupakan norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam menjalankan tugas keprofesionalannya.
Profesi guru dapat dikategorikan sebagai officium nobile, artinya bidang pekerjaan yang dianggap mulia dan terhormat.
Kemudian, untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru, dibentuklah Dewan Kehormatan Guru (DKG) oleh orprof guru. Pengejawantahan dari UUGD berupa orprof, kode etik, dan DKG adalah instrumen penting yang harus digunakan untuk memberikan pelindungan bagi profesi guru.
Imunitas guru
Profesi guru dapat dikategorikan sebagai officium nobile, artinya bidang pekerjaan yang dianggap mulia dan terhormat. Menjadi guru harus dimulai dari minat, bakat, idealisme, dan panggilan jiwa. Pada prinsipnya profesi guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga menumbuhkembangkan karakter dan mentransformasikan kehidupan peserta didik ke arah yang lebih baik.
Dari sisi profesionalisme, guru sebagai profesi sudah seharusnya berlatar belakang ilmu sesuai bidang yang diampunya, memiliki keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan profesi, dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pendidik, mengikuti orprof guru, dan memiliki kode etik keprofesian.
Sepatutnya guru memiliki tanggung jawab hukum dalam penyelenggaraan layanan pendidikan karena kewenangan yang melekat pada profesinya, yaitu kewenangan hukum guru untuk menjalankan tugas keprofesian secara otonom, sesuai kaidah keilmuan dan etika profesi, berdasarkan tujuan pendidikan nasional, dengan dilandasi oleh niat luhur mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kewenangan hukum inilah yang harus dilekatkan dalam bentuk hak imunitas guru. Dengan demikian, apabila guru dalam menjalankan tugasnya harus menghadapi berbagai macam ancaman atau bahkan berurusan dengan hukum, guru tersebut akan terlindungi.
Keberadaan hak imunitas guru sesungguhnya bukan untuk membuat guru kebal dari hukuman, melainkan lebih kepada menjaga harkat martabat guru dan memberikan ring pengaman (safety ring). Sebagai contoh, jika ada tuntutan, sebelum diproses oleh pihak luar, tuntutan itu terlebih dulu harus dikoordinasikan melalui orprof guru yang kemudian diteruskan ke DKG untuk diperiksa dan dibuktikan.
Jika sebuah aduan benar mengandung unsur pidana, orprof guru dan DKG akan membawanya kepada aparat hukum. Lalu jika ditemukan masalah administrasi, akan dibawa ke instansi pemerintah yang berwenang. Atau jika ternyata hanya persoalan etika, DKG yang akan menjatuhkan hukuman sesuai kode etik guru yang berlaku.
Adanya pertimbangan atau rekomendasi yang dikeluarkan oleh orprof dan DKG perlu menjadi prasyarat wajib dalam proses penegakan hukum terhadap guru. Bahkan, jika diperlukan, orprof dan DKG dapat memberikan pendampingan terhadap guru, salah satunya melalui lembaga bantuan hukum yang berafiliasi ataupun dimiliki oleh sebuah orprof.
Adanya pertimbangan atau rekomendasi yang dikeluarkan oleh orprof dan DKG perlu menjadi prasyarat wajib dalam proses penegakan hukum terhadap guru.
Apabila hak imunitas ini berlaku, tak akan ada lagi anggota DPRD bisa memanggil guru secara langsung, begitu juga polisi yang langsung menangkap guru hanya karena ada aduan, ataupun pemda yang kadang main menjatuhkan sanksi kepegawaian kepada guru, sebelum berkoordinasi dan mendapatkan rekomendasi dari orprof guru dan DKG. Begitupun tak akan ada lagi guru yang kebingungan mencari pendampingan hukum bagi dirinya disebabkan orprof sudah menyiapkan skema dan perangkat pendampingan yang diperlukan guru.
Imunitas ”Ubi Jus Ibi Remedium”
Hak imunitas guru yang bersifat pelindungan hanya bisa direalisasikan melalui perantaraan orprof guru, di mana guru wajib menjadi anggotanya, dengan berpedoman pada kode etik, dilindungi keprofesiannya oleh DKG; dan jika terjadi kasus, guru akan didampingi lembaga bantuan hukum sebagai bagian dari fasilitasi yang diberikan untuk guru.
Secara internal, orprof guru harus memiliki sistem dan struktur keorganisasian kuat. Sementara secara eksternal, orprof guru harus sinergis dengan Kemenpan dan RB, Kemendikbudristek, Kementerian Agama, Badan Kepegawaian Negara/Daerah, Dinas Pendidikan, Satuan Pendidikan, Yayasan Penyelenggara Pendidikan, kepolisian, pengadilan, KPAI, Komnas HAM, LBH, dan lembaga lain yang relevan. Ini untuk menjalin kesepahaman melalui perjanjian mengikat mengenai keberadaan orprof, kode etik, dan DKG yang mengarah ke penetapan hak imunitas guru.
Baca juga: Bencana Pendidikan, Krisis Guru dan Dosen PNS
Dari sisi legal formal, hak imunitas guru harus disinkronkan dengan peraturan perundangan lain yang sudah ada, bahkan kalau perlu dibuatkan peraturan tersendiri setingkat UU atau PP agar mampu mengatur pelindungan guru secara holistik dan komprehensif.
Pelindungan bagi guru berupa hak imunitas merupakan sesuatu yang penting, mendesak, dan harus direalisasikan. Ubi jus ibi remedium, sebagai sebuah hak, imunitas harus dijamin, di mana ada hak, di sana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya, atau memperbaiki jika hak itu dilanggar.
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia