
Miguel de Cervantes mengaku menemukan sebundel naskah berbahasa Arab karya sejarawan Sayid Hamid Benengeli (Cide Hamete Benengeli) di sebuah pasar di Toledo lalu meminta seorang Morisco (orang Arab yang memeluk Kristen akibat Inkuisisi) menerjemahkannya dalam bahasa Kastilia. Terjemahan itulah yang ia katakan menjadi Don Quixote de La Manca, novel magnum opus-nya. Namun, kebanyakan pembaca sastra dunia, termasuk di Indonesia, menganggap pengakuan Cervantes itu banyolan belaka. Akibatnya, lebih empat abad sejak Don Quixote terbit, Benengeli hanya dikenal sebagai tokoh rekaan Cervantes yang menyempurnakan kejenakaan novel tersebut.
Sejumlah ulasan akademik mencoba mengungkap ”sosok” Benengeli. Ada yang menghubungkannya dengan cara Cervantes melawan situasi sosial ketika Reconquista (penaklukan kembali semenanjung Iberia oleh Katolik Eropa) telah memutus paksa kebudayaan Arabo-Judeo di Spanyol. Ada pula yang menekankan pada telaah story telling semata, yaitu Cervantes dianggap sengaja menerapkan dialektika metafiksi untuk mengombang-ambingkan kepercayaan pembaca terhadap ”realitas” Don Quixote dan petualangannya. Teknik serupa, meski berbeda bentuk dan tujuan, dipraktikkan Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya, Seratus Tahun Kesunyian,dengan memunculkan karakter Melquiades; seorang Gipsi yang naskah nujumannya paralel dengan kehidupan yang dikisahkan.
Nama belakang sejarawan misterius dalam Don Quixote yang terdiri dari dua jilid itu pun tidak luput dari pembahasan hangat kalangan akademisi. Sejumlah kemungkinan yang dikemukakan adalah Benengeli berasal dari kata bahasa Arab benayyil (putra rusa) dan beninjili (putra Injil).
Pada perkembangannya, secara luas Benengeli dijuluki terung, sejenis buah. Julukan itu bukan dari kemiripan fonetik antara Benengeli dan badhinjan (terung, dalam bahasa Arab), mengingat perbedaan bunyi yang cukup jauh antara dua kata tersebut, melainkan berasal dari ucapan tokoh Sancho Panza, pelayan setia Don Quixote. Dalam salah satu dialog dengan tuannya, Panza mengatakan bahwa penulis kisah petualangan mereka bernama Sayid Hamid Berenjena. Terung dalam bahasa Spanyol adalah berenjena.
Selain nama belakang yang dianggap ganjil itu, keraguan terhadap otentisitas Sayid Hamid Benengeli kerap dikemukakan melalui premis yang mencerminkan kepincangan relasi antara superioritas Utara dan inferioritas Selatan.
Dalam salah satu esainya, sastrawan Dea Anugerah menulis, ”Don Quixote, novel modern pertama yang kini diakui sebagai landasan novel-novel Eropa, karya besar yang dikagumi Schopenhauer dan pemikir-pemikir penting lain, adalah naskah sejarah terjemahan dari bahasa Arab? Kemungkinan besar, Cervantes hanya mengibul.” Dengan kata lain, Dea mengatakan bahwa nyaris mustahil Don Quixote bersumber atau terinspirasi, sebagian atau keseluruhan, dari naskah terjemahan bahasa Arab.
Namun, benarkah nyaris mustahil?
Dalam artikelnya Why You Can/’t Believe the Arabian Historian Cide Hamete Benengeli: Islam and Arabian Cultural Heritage in Don Quixote (The Comparatist, vol. 38, Oktober 2014), Nizar F Hermes menilai Don Quixote sebagai sebuah karya silang budaya yang terang benderang, baik secara tekstual maupun kontekstual, antara Eropa dan Arabo-Islam.
Tentu saja, pendapat Hermes bisa diperkuat oleh fakta kian berkembangnya studi di Barat perihal perjalanan karya sastra abad ke-12 Maqamat al-Hariri (TheAssemblies of Hariri) dari Irak ke Andalusia, yang dikaitkan dengan proses intertekstualitas terbentuknya genre piqaresque dalam sastra Spanyol melalui novel Lazarillo de Tormes, sebuah karya anonim.
Lapisan silang peradaban tersebut dapat bersifat linier ataupun vice versa. Buku Kisah Seribu Satu Malam (disebut Arabian Nights, dalam sastra Inggris) contohnya. Karya yang dianggap ikut membidani kepopuleran teknik cliffhanger dalamnovel-novel serial pada era Victoria ini sesungguhnya merupakan pengembangan dan kompilasi berbagai cerita rakyatlintas periode dinasti yang tidak melulu berasal dari literatur Arab, bahkan berhulu jauh hingga ke India dan China.
Perkembangan demikian juga terjadi di bidang sains. Figur-figur seperti Khawarizmi dan Ibnu Sina, yang diklaim sebagai ”ilmuwan Muslim” peletak dasar algoritma dan kedokteran, pada kenyataannya adalah orang Persia yang juga dipengaruhi pengetahuan filsafat Hellenistik Yunani.
Dan fakta berpuluh kali Sayid Hamid Benengeli ditahbiskan sebagai ”sang narator asli” (terlepas apakah ia sejarawan terung atau penulis hikayat yang ulung) oleh Cervantes dalam Don Quixote, jelas menandakan banyak peradaban saling berutang antara yang satu kepada yang lainnya, langsung maupun tidak.
Dengan cara pandang seperti itu, kesadaran relasi kultural, khususnya literasi, antara Utara sebagai blok negara-negara maju dan Selatan yang terdiri dari negara-negara berkembang, semestinya bisa lebih sejajar dan berimbang.*
Ben Sohib,
Penulis dan peminat kebudayaan