Tahun Suram ”Unicorn”
Kondisi perekonomian pada 2023 diperkirakan dipenuhi ketidakpastian. Perusahaan-perusahaan rintisan harus berani menentukan arah perjuangan untuk menemukan takdirnya sendiri, tidak bergantung lagi kepada investor.
Tahun 2022 boleh jadi merupakan masa suram bagi perusahaan rintisan atau perusahaan unicorn berbasis digital. Padahal, perusahaan itu dahulu dipuji dan dielu-elukan sebagai perusahaan masa depan, sebagai pilar ekonomi digital, dan tools untuk ”meretas” problem kehidupan baru yang muncul sebagai dampak pandemi dan akselerasi transformasi digital.
Unicorn merupakan perusahaan dengan tingkat valuasi mencapai 1 miliar dollar AS atau setara sekitar Rp 1,4 triliun, tanpa harus melantai di bursa saham. Satu level di atasnya masuk kategori decacorn, seperti WeWork, Airbnb, Pinterest, Snapchat, Uber, Grab, Xiaomi, perusahaan penerbangan luar angkasa SpaceX milik Elon Musk, dan Grab, dengan nilai valuasi di atas 10 miliar dollar AS.
Sementara posisi unicorn dengan grade paling atas ditempati perusahaan yang mampu meraih nilai valuasi sebesar 100 miliar dollar AS. Dilihat dari nilai valuasinya, maka yang masuk ke kategori ini ada Facebook, Google, Microsoft, dan Apple.
Baca juga : Setiap Hari Muncul Dua ”Unicorn” Baru di Bumi
Di Indonesia, perusahan bergelar unicorn antara lain Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan OVO. Bahkan, Gojek sudah mampu menembus strata satu tingkat di atasnya, yaitu decacorn. Presiden Joko Widodo di depan sidang DPR dengan bangga menyatakan bahwa digitalisasi ekonomi di Indonesia telah melahirkan dua decacorn dan sembilan unicorn baru, sebuah catatan yang pantas diacungi jempol.
Dua start up decacorn yang dimaksud termasuk layanan kirim barang J&T Express dan layanan ride-hailing Gojek. Gojek telah menjadi perusahaan terbuka, yaitu GoTo, setelah merger dengan Tokopedia.
Menurut laporan CB Insight, J&T Express kini memiliki valuasi sekitar 20 miliar dollar AS, dengan investor yang tercatat dari Hillhouse Capital Management, Boyu Capital, dan Sequoia Capital China. Sayangnya, J&T adalah perusahaan logistik last-mile yang didirikan oleh dua eks bos produsen telepon pintar Oppo, Jet Lee dan Tony Chen, sehingga keasliannya sebagai perusahaan pribumi sering dipertanyakan.
Runtuhnya ”unicorn”
Ironisnya, saat ini unicorn justru menjadi bahan olok-olok bisnis karena dianggap rentan terhadap ancaman perubahan ekonomi. Tekanan berat yang melanda sejumlah perusahaan tersebut terkuak setelah maraknya pemberitaan soal pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mereka lakukan. Indonesia saat ini memiliki 2.346 perusahaan rintisan yang boleh dikata masih jauh dari kata ”beruntung”. Bahkan secara finansial dapat dikategorikan sebagai perusahaan di bawah garis kelayakan sehat.
Pembiayaan operasional perusahaan saja, termasuk menggaji karyawan, masih harus bergantung uluran tangan investor. Namun, tsunami ekonomi global memaksa para investor memperlambat suntikan dana dan fokus pada bidang usaha lain yang lebih prospektif.
Berdasarkan data, masuknya dana ventura ke Indonesia hingga Mei 2022 hanya mencapai 40 miliar dollar AS, jauh di bawah aliran dana pada periode yang sama tahun 2021 sebesar 70 miliar dollar AS. Kondisi ekonomi global yang tidak pasti, inflasi tinggi, dan ancaman resesi menjadi alasan kuat para investor untuk mengalihkan investasinya ke sektor lain yang tidak berisiko.
Indonesia saat ini memiliki 2.346 perusahaan rintisan yang boleh dikata masih jauh dari kata ”beruntung”. Bahkan secara finansial dapat dikategorikan sebagai perusahaan di bawah garis kelayakan sehat.
Sesungguhnya ini ”alarm” bagi perusahaan-perusahaan rintisan yang selama ini menjalankan praktik foya-foya ”membakar uang”, merebut pasar dengan modus memberi insentif berlebihan, seperti bebas ongkos kirim, dan beriklan secara besar-besaran. Faktor lain yang membuat mereka terjebak dalam jurang kebangkrutan adalah salah membaca tren pasar dan meramal permintaan konsumen.
Pada saat pandemi, semua aktivitas bergeser ke praktik daring (online). Disangka fenomena ini akan berlangsung terus dan menjadi new normal atau kebiasaan baru. Perkiraan itu ternyata meleset. Saat pandemi mereda, masyarakat mulai merindukan hidup dalam adaptasi sosial secara normal seperti layaknya sebelum pandemi.
Aspek lain adalah kerasnya hantaman krisis ekonomi global yang memaksa perusahaan rintisan ”terhuyung” jatuh ke lantai dan butuh suntikan dana segar untuk bangkit berdiri. Sayangnya, para investor sudah telanjur mengambil sikap defensif dan berpikir ulang untuk menyuntikkan dananya. Keadaan tersebut diperburuk dengan permintaan pasar yang terus menurun secara drastis.
Saat musim semi tiba, bersamaan dengan titik puncak pandemi Covid-19, perusahaan-perusahaan rintisan berada pada posisi keemasan. Semua berlomba mengejar predikat sebagai unicorn baru. Namun, faktanya berbeda. Mereka mulai sadar bahwa ”peak season” tidak berlangsung lama, sementara kinerja mereka belum menunjukkan hasil terbaik, bahkan bisa jadi tak lagi seksi.
Anatomi perusahaan perlahan digerogoti virus krisis dan sulit berdiri tegak di tengah badai persaingan. Salah satu alasannya adalah tidak memiliki penopang kuat secara fundamental sehingga mudah sakit saat terkena virus krisis ekonomi. Jadi, dapat dikatakan bahwa kinerja mereka selama ini semua semu, tampak gemerlap di permukaan padahal ringkih menghadapi pukulan telak buruknya sektor perekonomian.
Dalam berbagai literatur, tampak perusahaan-perusahaan unicorn tidak dirancang sebagai perusahaan yang tangguh, independen, ulet, gesit, dan tidak terkalahkan ibarat seekor dragon atau naga. Demikian setidaknya yang diungkapkan Maëlle Gavet, penulis asal Perancis yang juga bergelut di dunia bisnis. Menurut dia, salah satu penyebab kegagalan perusahaan berteknologi tinggi atau perusahaan berbasis digital adalah model bisnisnya berkembang begitu pesat, tetapi tidak memiliki diferensiasi keunggulan, sektor usaha yang menakjubkan, dan berada dalam tren ekosistem berbahaya.
Baca juga : Unicorn Terus Marak, Persaingan Kian Sengit
Perusahaan rintisan memiliki beberapa faktor yang dikhawatirkan Maëlle Gavet justru menjadi ancaman, yakni berkembang sangat cepat, tidak menawarkan diferensiasi produk, dan cenderungan bertumbuh serta berdiri dalam satu ekosistem yang rentan, seperti pada saat pandemi dan ancaman resesi global.
Tidak ada syarat yang dapat dilakukan kecuali keluar dari jalurnya, misalnya bergeser dari perusahaan kualifikasi "unicorn" menjadi perusahaan the dragon, yang lebih mandiri dan mengandalkan kekuatan jaringan, dan koneksi antar perusahaan serta bersifat kolaboratif. Karena sesungguhnya tidak semua keberhasilan perusahaan sekadar membutuhkan syarat teknologi tinggi, dan profesionalisme orang-orang di dalamnya, ada kalanya justru membutuhkan lebih banyak sentuhan humanis, dalam ekosistem bersama yang saling menguatkan.
Strategi di tengah krisis
Tahun 2023 banyak disebut ekonom sebagai tahun yang dipenuhi ketidakpastian. Presiden Jokowi mengingatkan, bisa jadi tahun depan kita menghadapi tahun suram yang ditandai anjloknya pertumbuhan perekonomian dan inflasi dunia. Bukan itu saja, ekonomi dunia bahkan diramal bakal menghadapi banyak tantangan seiring kondisi geopolitik yang berimbas pada kenaikan laju inflasi serta risiko “stagflasi”.
Namun gejolak pasar global dan jebakan inflasi dalam negeri bukanlah satu-satunya alasan mereka untuk melakukan PHK. Beberapa perusahaan melakukan PHK karena ingin mempertahankan model bisnis baru, setelah sadar bahwa model bisnis yang dijalani selama ini tidak mampu mengurai benang kusut persoalan yang dihadapi.
Selain merumahkan karyawan, beberapa perusahaan mengambil sikap menghentikan rekrutmen baru, membatalkan investasi, dan mengurangi biaya promosi pada layanannya. Bahkan misi perusahaan yang awalnya berorientasi kepada pertumbuhan, memimpin pasar, dan memenangkan persaingan, kini bergeser ke fase bawah yakni menjaga stabilitas perusahaan dari "kematian" dengan dalih yang penting tetap bertahan.
Tahun 2023 banyak disebut ekonom sebagai tahun yang dipenuhi ketidakpastian.
Sebagian dari mereka yang telanjur ekspansi ke berbagai negara, kini juga menarik diri dan fokus ke pasar dalam negeri. Kondisi pasar di seluruh industri, termasuk teknologi, sedang mengalami perubahan mendasar dan sebagai cara melawan tantangan makro itu, perusahaan harus berani memutuskan kebijakan baru sebagai upaya penyesuaian bisnis.
Perusahaan-perusahaan rintisan harus berani menentukan arah perjuangan untuk menemukan takdirnya sendiri. Keputusan mengamankan posisi keuangan, mempertajam lini usaha untuk mencapai profitabilitas, merupakan pilihan awal yang dapat digunakan sebagai jurus antisipasi menghadapi kemungkinan yang lebih buruk pada 2023. Selain itu memperlambat perekrutan bahkan merumahkan sejumlah karyawan untuk fokus pada prioritas mendorong pertumbuhan yang menguntungkan guna menjaga kelangsungan hidup jauh lebih penting.
Belajar dari GoTo, Ruangguru, atau Sirclo, yang telah melakukan PHK karyawannya, dapat dipetik suatu pelajaran bahwa masa kelam startup belum selesai bahkan diramal lebih parah pada 2023. Maka diperlukan langkah antisipasi agar dapat beradaptasi, untuk memastikan kesiapan perusahaan menghadapi tantangan ke depan.
Baca juga: Perusahaan Teknologi Hadapi Krisis
Diperlukan jurus adaptif dalam melakukan penyesuaian bisnis agar mencapai pertumbuhan, meskipun kecil. Salah satu bentuk adaptasi adalah mengubah orientasi usaha, dan jika mungkin me"reinkarnasi" perusahaan dalam wujud dan struktur baru. Perlu menegakkan kembali visi perusahaan digital, dengan langkah yang akan diambil, seperti mereformasi visi dan misi perusahaan, melakukan klasifikasi ulang platform sebagai perusahaan unicorn secara transparansi dalam pengawasan algoritmik.
Melakukan evaluasi bahwa selama ini perusahaan berbasis digital dituduh telah "menginjak-injak" perusahaan konvensional bahkan mematikannya, dengan piranti teknologi, dan alasan memenangkan pasar, tanpa memikirkan bagaimana bahaya teknologi itu sendiri. Padahal perusahaan-perusahaan konvensional berbasis UMKM saat ini jumlahnya mencapai 19 juta, seharusnya mereka justru dibantu dalam bentuk kolaborasi usaha bersama, dan diajak masuk dalam platform ekonomi digital. Mereka tentu bukan hanya sebagai mitra, melainkan sekaligus pasar yang potensial untuk mengembangkan “moda” usaha dengan format unicorn.
Tidak ada salahnya jika dikaji ulang apakah masih relevan produk atau layanan yang dihasilkan "presisi" dengan ruang dan tantangan zaman, termasuk dengan target pasar yang berkembang. Meskipun perusahaan rintisan lebih mengandalkan teknologi digital, perlu kiranya belajar tentang jiwa kewirausahaan, agar mampu membangun kolaborasi dalam perdagangan global, dan menentukan misi di jalan yang lebih realistis serta menyadari kesalahan di masa lalu.
Eko Wahyuanto, Analis Kebijakan Kemkominfo; Dosen Ekonomi Makro Pancasakti University Bekasi