Reforma Agraria di Tahun Politik
Kontestasi politik praktis pada 2023 dan 2024 akan memengaruhi nasib reforma agraria. Agar Indonesia menjadi lebih baik, mesti dipilih pemimpin yang punya karakter kepemimpinan kuat dalam melaksanakan reforma agraria.
Sebagai agenda politik bangsa, reforma agraria dipengaruhi konteks politik negara. Dinamikanya ditentukan situasi dan kondisi politik yang berkembang. Kontestasi politik praktis pada 2023 dan 2024 akan sangat memengaruhi nasib reforma agraria.
Pelaksanaan reforma agraria tahun 2022 ditutup dengan penyerahan satu juta lebih sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada 1 Desember 2022. Hal ini menjadi simbol dari konsistensi pemerintah dalam memperkuat hak rakyat atas tanah sejak periode pertama pemerintahan Jokowi (2014-2019).
Presiden Jokowi menyerahkan 1.552.450 sertifikat hak atas tanah untuk rakyat. Sertifikat dibagikan di 34 provinsi yang diterima langsung warga di Istana dan secara virtual di provinsi masing-masing. Sertifikat tanah adalah tanda bukti hukum hak atas tanah untuk menghindari konflik pertanahan. Tahun 2015, terdapat 126 juta bidang tanah yang harus disertifikatkan, tetapi kepemilikan sertifikat baru 46 juta sertifikat. Presiden meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional mempercepat penerbitan sertifikat hak atas tanah tersebut.
Baca juga : Reforma Agraria Warisan Jokowi
Presiden juga gembira karena kepemilikan 744 bidang tanah suku Anak Dalam di Jambi sudah diselesaikan. Persoalan di bidang tanah itu telah berlangsung 35 tahun. Persoalan sengketa lahan ini tidak hanya pada suku Anak Dalam, tetapi terjadi di banyak daerah, termasuk karena mafia tanah. Presiden telah memerintahkan Menteri ATR/Kepala BPN untuk tak ragu memberantas mafia tanah.
Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyampaikan, 1.552.450 sertifikat yang diberikan terdiri dari 1.423.750 sertifikat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan 119.699 sertifikat redistribusi tanah. Dari 126 juta bidang tanah, pihaknya telah berhasil mendaftarkan 100,14 juta bidang. Sejumlah 82,5 juta bidang tanah sudah bersertifikat.
Dilaporkan Hadi, penyediaan tanah obyek reforma agraria (TORA) redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar, yang terdiri dari tanah bekas hak guna usaha, tanah telantar, dan tanah negara lainnya seluas 400.000 hektar, capaiannya telah melampaui target, yakni 1,16 juta hektar (291,61 persen). Namun, target penyediaan TORA dari pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar baru terealisasi 329.936,75 hektar (8,05 persen). Capaian ini masih harus digenjot kencang.
Momentum politik
Tahun 2023 sebagai momentum politik akan diisi agenda-agenda persiapan Pemilu 2024. Misalnya, penentuan calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Karena itu, percepatan pelaksanaan reforma agraria akan bersaing dengan agenda-agenda politik praktis. Inilah tantangan bagi pemerintah untuk tetap fokus dalam melaksanakan percepatan reforma agraria di tengah keriuhan pemilu.
Dalam penentuan calon pemimpin, publik dihadapkan pada tiga kemungkinan pilihan, yaitu capres/cawapres dan para caleg yang: (1) mempunyai program meneruskan sambil membenahi kebijakan reforma agraria Jokowi, (2) memiliki rencana untuk melaksanakan reforma agraria lebih progresif-revolusioner, dan (3) mempunyai rencana menghentikan reforma agraria.
Kita bedah ketiga kemungkinan ini. Pertama, kemungkinan tipe kesatu adalah yang paling moderat. Meneruskan konsep dan kebijakan reforma agraria seperti tecermin dalam program, kegiatan, dan pembiayaan di era Jokowi (2014-2024). Tantangannya, calon pemimpin harus memahami secara mendalam kekuatan dan kelemahan konsep dan praktik reforma agraria Jokowi.
Percepatan pelaksanaan reforma agraria akan bersaing dengan agenda-agenda politik praktis. Inilah tantangan bagi pemerintah untuk tetap fokus dalam melaksanakan percepatan reforma agraria.
Perlu strategi jitu untuk mengeksplorasi model positif reforma agraria Jokowi, sekaligus mengatasi dampak negatif dari reforma agraria sebelumnya. Misalnya, perluasan dan percepatan redistribusi tanah serta legalisasi aset yang berlanjut dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sumber tanah obyek reforma agraria juga diperluas, dari kawasan hutan atau nonkawasan hutan. Subyeknya benar-benar diutamakan bagi petani miskin yang hidupnya tergantung pada tanah.
Dampak buruk dari legalisasi aset yang masif, berupa komersialisasi dan komoditisasi tanah yang mendorong penerima tanah dan sertifikatnya menjual tanah tersebut, harus diatasi secara tegas. Misalnya, melalui pengutamaan pemberikan hak milik bersama daripada sertifikat hak milik pribadi. Ini penting guna menumbuhkan semangat gotong royong dan mencegah jual beli tanah yang seharusnya jadi sumber baru penghidupan warga.
Kedua, kemungkinan publik mendapat calon pemimpin yang lebih progresif dan revolusioner dari Jokowi. Ini mensyaratkan pemimpin yang tahu, mau, dan mampu mewujudkan keadilan sosial melalui reforma agraria. Pemimpin yang berani memimpin perombakan struktur agraria yang timpang menjadi relatif merata-berkeadilan. Pemimpin yang mengutamakan hak petani miskin daripada mendukung pengembangbiakan modal besar konglomerat.
Baca juga : Memperkuat Reforma Agraria
Pemimpin tipe ini bisa jadi akan banyak menggunakan kekuasaannya yang besar sebagai kepala negara sekaligus kepala pemeritahan, juga pemimpin tertinggi Tentara Nasional Indonesia. Hambatan legislasi dan regulasi dilipatnya dan digantikan dengan penerbitan peraturan pemerpengganti UU (Perpu) guna melancarkan operasi cepat menata struktur agraria yang timpang. Penguasaan korporasi dibatasi, sementara koperasi dan badan usaha milik rakyat diluaskan.
Pemimpin model ini, wataknya cenderung keras dan tegas. Tipe pemimpin yang umumnya dari militer, walaupun tak mutlak harus dari kalangan militer. Pemimpin sipil dibantu aktor-aktor politik, intelektual, dan aktivis yang pro-kemajuan dapat memudahkan pemimpin mengambil kebijakan. Ditopang partai-partai politik yang kokoh mendukung di DPR RI, menguatkan posisi pemimpin. Pertanyaannya, apakah sosok pemimpin yang demikian itu kini ada?
Memilih pemimpin
Kemungkinan ketiga adalah pilihan yang paling naif. Publik dihadapkan pada pilihan: capres/cawapres dan para caleg yang anti-reforma agraria. Pemimpin tipe ini, kontra terhadap kebijakan, program, dan kegiatan reforma agraria. Pemimpin yang memilih jalan yang sama sekali berbeda dengan Jokowi. Ia lebih menyukai politik agraria yang pro-kapitalisme dan menegasikan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam, mirip Soeharto. Pemimpin berotak kanan yang anti perubahan struktur agrarian menganggap keadilan sebagai penghambat kemajuan.
Publik mesti mewaspadai lahirnya pemimpin yang anti-reforma agraria. Pada 2023, harus dicegah partai politik mengajukan kandidat capres/cawapres dan para caleg jenis ini. Jika kelak ada, harus dicegah terpilihnya kandidat model begini. Indonesia maju yang berkeadilan sosial bisa makin jauh panggang dari api. Ia bisa memutar-balikan hal-hal positif yang dari reforma agraria yang dicapai pemerintah bersama rakyatnya dalam 10 tahun terakhir.
Baca juga: Reforma Agraria untuk Keadilan Sosial
Agar Indonesia menjadi lebih baik, mesti dipilih para pemimpin yang punya karakter kepemimpinan yang kuat dalam melaksanakan reforma agraria sebagai perwujudan Pancasila dan UUD 1945. Kita bukakan jalan bagi pemimpin yang pro-perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jatuhkan pilihan kepada pemimpin yang menghayati makna keadilan agraria, untuk membebaskan bangsa dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Hanya pemimpin yang demikian itulah yang boleh mendapatkan kursi dari rakyat melalui Pemilu 2024. Publik berharap, pemimpin yang pro-perubahan ke arah perbaikanlah yang mendaoat amanah rakyat. Makanya, jangan salah pilih! Selamat tahun baru 2023.
Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia