Literasi, Numerasi, dan Aplikasi Pariwisata Berkelanjutan
Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan langkah-langkah konkret pemangku kepentingan dalam menetapkan target, membangun destinasi, dan tolok ukur yang cocok.
Dua puluh tahun setelah KTT Bumi 1992, ketika sejumlah negara telah mengadopsi Agenda 21, PBB menyatukan kembali pemerintah, institusi internasional, dan berbagai kelompok masyarakat, dan menetapkan tonggak penting: Rio +20, sebagai titik awal prioritas pembangunan berkelanjutan sebagai agenda PBB.
Indonesia sebagai anggota ikut mengadopsi agenda tersebut. Dua tema menjadi utama, yaitu ekonomi berkelanjutan dan skema kelembagaan. Tema pada saat itu adalah the future we want, atau masa depan yang kita inginkan.
Tahun 2022, 10 tahun sejak Rio+20, Indonesia menjadi tuan rumah peringatan Hari Pariwisata Dunia dengan tema ”Rethinking Tourism”. Menanggapi tema ”Rethink, Recover Better and Stronger”, kita patut bertanya sejauh mana perjalanan pariwisata Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan telah tercapai.
Meski tema tersebut dikaitkan dengan proses pemulihan pascapandemi Covid -19, hal itu tentu tak terlepas dari pembangunan berkelanjutan, yang seharusnya telah berjalan sejak jauh sebelum pandemi.
Pandemi Covid-19 menyebabkan pariwisata Indonesia ”mogok dan terpuruk” sejak April 2020, sekitar dua tahun, dan kini mulai merayap kembali. Pandemi menyebabkan pariwisata ”terputus tak berkelanjutan”, dalam arti menurunnya jumlah orang yang melakukan perjalanan, domestik ataupun internasional, pertumbuhan menjadi tak berkelanjutan.
Baca juga: ”Rethinking” Pariwisata Bali
Sejauh ini berbagai (semua) laporan, dokumen rencana, atau dokumen lainnya tak mencantumkan ”istilah” pariwisata berkelanjutan. Kalaupun ada, tidak banyak yang menguraikan lebih lanjut untuk memaknainya.
Proyeksi atau target kunjungan yang besar, sering kali tanpa alasan yang kuat, kecuali menjawab target nasional ataupun daerah; jumlah yang besar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sebagai pengejawantahan istilah percepatan pembangunan.
Target 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019—yang tak tercapai—belum sempat dievaluasi. Paling tidak ada tiga kemungkinan, yaitu target terlalu tinggi, strateginya kurang tepat, atau strateginya sudah maksimal, tetapi pelaksanaannya kurang cermat. Mungkin juga kombinasi di antara ketiganya. Target tersebut kemudian terkoreksi secara otomatis dengan munculnya Covid-19 pada awal 2020.
Sejauh mana pariwisata berkelanjutan yang selalu didengungkan sudah dilaksanakan? Apakah dapat diukur dengan banyaknya penghargaan yang sudah diterima selama ini, atau melalui pengakuan UNESCO terhadap beberapa destinasi, misalnya Toba sebagai UNESCO Global Geopark, Wakatobi sebagai UNESCO Biosphere Reserve, Borobudur sebagai World Cultural Heritage, Komodo sebagai World Heritage Site, serta pengakuan di berbagai destinasi lainnya?
Pengakuan tersebut merupakan kebanggaan, tetapi juga sekaligus menuntut tanggung jawab untuk melestarikannya sesuai peraturan dan untuk tetap memenuhi persyaratan UNESCO. Destinasi prioritas nasional yang mendapat pengakuan UNESCO tersebut banyak menjadi berita selama 2022 ini.
Terlepas dari berbagai praktik baik di tingkat akar rumput, masih banyak pekerjaan rumah pembangunan berkelanjutan. Permasalahan antara pelestarian pada satu sisi dan kenaikan tarif serta jumlah pengunjung pada sisi lain menjadi berita hangat terkait Borobudur dan Komodo, sementara Wakatobi menghadapi ”ancaman” praktik penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan, serta banyaknya bangunan yang dibangun atas nama pariwisata, dan mangkrak.
Kawasan Toba dan sekitarnya sebagai Geopark Dunia menghadapi masalah kualitas air danau akibat keramba ikan yang makin banyak, dan berbagai geosites, yang masih membutuhkan bimbingan untuk menjadi bagian dari produk pariwisata melalui praktik berkelanjutan.
Kepengurusan GM Geopark Toba dan GM yang belakangan ini mengundurkan diri perlu menjadi salah satu bahan evaluasi.
Khusus terkait destinasi, pemerintah mengadopsi indikator yang dikembangkan Global Sustainable Tourism Council (GSTC), menerjemahkannya dan memberlakukannya melalui Permen No 9/2021 tentang Pedoman Pembangunan Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Pedoman ini seharusnya segera menjadi pedoman untuk setiap destinasi melakukan evaluasi diri secara mandiri dengan pemahaman yang cukup, di bawah pengawasan pusat.
Ketersediaan rencana pembangunan kepariwisataan, misalnya, tidak cukup hanya dilihat dari ada/tidaknya dokumen rencana, tetapi perlu dilihat dari sejauh mana rencana tersebut dilaksanakan.
Ketersediaan rencana pembangunan kepariwisataan, misalnya, tidak cukup hanya dilihat dari ada/tidaknya dokumen rencana, tetapi perlu dilihat dari sejauh mana rencana tersebut dilaksanakan. Rencana yang saat ini banyak dimiliki oleh banyak daerah sekadar untuk memenuhi persyaratan memperoleh bantuan. Jumlah kunjungan wisatawan perlu dipantau lebih lanjut, sejauh mana dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya; kalau ada dampak buruk terhadap lingkungan ataupun masyarakat setempat.
UNEP dan UNWTO mendefinisikan sebagai tourism that takes full account of its current and future economic, social and environmental impacts, addressing the needs of visitors, the industry, the environment and host communities.
Sangat jelas bahwa kepentingan (pelestarian) lingkungan dan masyarakat lokal tidak ditinggalkan demi kepentingan wisatawan dan industri yang melayani kebutuhannya. Keseimbangan di antara ketiga dimensi, ekonomi-lingkungan-sosial budaya, perlu/harus diciptakan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang. (UNEP & UNWTO, 2005: 11-12. Making Tourism More Sustainable – A Guide for Policy Makers).
Pariwisata berkelanjutan juga menuntut praktik berkelanjutan dalam dan oleh industri pariwisata. GSTC juga menerbitkan kriteria yang mencakup berbagai aspirasi yang mengakui semua macam dampak positif: penciptaan lapangan kerja, konservasi keanekaragaman hayati dan pusaka budaya; lanskap, pemandangan laut (seascape), dan saujana (lanskap budaya), maupun negatif: kebocoran ekonomi, kerusakan lingkungan alam dan berbagai perubahan sosial yang tak diinginkan.
Sejauh ini kriteria GSTC untuk industri, meski sudah diterjemahkan, belum diadopsi secara formal. Padahal, pariwisata berkelanjutan juga sangat bergantung pada perilaku industri pariwisata.
Destinasi prioritas
Sejak dicanangkan, percepatan pembangunan kepariwisataan untuk 10 destinasi prioritas mengalami dinamika tersendiri. Kebijakan 10 destinasi prioritas yang tidak didasarkan kepada PP 50-2011, kemudian mengerucut menjadi lima destinasi superprioritas, yang tidak semua berasal dari 10 prioritas tersebut.
Pariwisata memang sangat dinamis. Namun, prinsip-prinsip berkelanjutan tetap dan perlu terus menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan.
Munculnya berbagai protes terkait destinasi yang mendapat pengakuan UNESCO merupakan salah satu gejala yang perlu dicermati dan diteliti; belum cukup dengan hanya meredakan situasi sesaat, tetapi menjadi dorongan untuk evaluasi kebijakan dalam kaitan dengan berbagai pedoman yang disebutkan sebelumnya.
Pencanangan sebagai destinasi prioritas pernah memunculkan istilah yang membandingkannya dengan destinasi kondang dunia, misalnya Venice of the East untuk kawasan Danau Toba, dan memberi imaginasi yang (mohon maaf) tidak pas. Venisia justru sudah terkenal dengan permasalahan pariwisata massal dan dampak yang menimpa penduduknya yang terdesak keluar/pindah karena dampak pariwisata terhadap kesejahteraannya (kenaikan biaya hidup dan ketidaknyamanan akibat padatnya wisatawan).
Baca juga: Seimbangkan Wisata dan Konservasi
Baca juga: Kendati Pulih, Pariwisata Masih Hadapi Tantangan
Lontaran istilah Jurasic Park untuk Komodo pun dapat menimbulkan berbagai interpretasi dan imaginasi. Jurasic Park yang kemudian dikenal sebagai Jurassic World merupakan media franchise Amerika yang didasarkan kepada petualangan fiksi sains.
Kesesuaiannya untuk memacu pariwisata di TN Komodo perlu dipertanyakan dan dikaji terlebih dahulu karena dapat menimbulkan banyak bayangan/imaji yang dapat menyesatkan mereka yang secara dangkal membayangkan hebohnya pertunjukan dalam film tersebut.
Dalam hal lain, angka kunjungan wisatawan mancanegara merupakan indikator (cepat) yang menunjukkan pertumbuhan bukan perkembangan, yang mengandung arti peningkatan kualitas. Tahun 2019 merupakan tahun puncak kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, dengan capaian 16,107 juta kunjungan; 20 persen di bawah target yang dicanangkan pemerintah untuk mencapai 20 juta kunjungan.
Tahun berikutnya 2020, pandemi Covid-19, dan pariwisata termasuk sektor yang sangat terpengaruh. Jumlah kunjungan menurun drastis menjadi hanya 4,053 juta wisman, capaian akhir 2021 hanya sebesar 1.557.530 wisman. Secara keseluruhan kurang dari 10 persen jumlah kunjungan pada 2019, dan masih kurang dari 40 persen jumlah kunjungan pada 2020.
Pada 2022, terutama memasuki paruh tahun kedua, kunjungan meningkat kembali. Hingga September 2022, jumlah kunjungan sudah mencapai 2.397.181 kunjungan. Pemberitaan tentang jumlah kunjungan ini perlu dicermati karena ada perbandingan bulanan terhadap bulan sebelumnya atau perbandingan antarbulan/periode dengan bulan/periode yang sama tahun sebelumnya.
Pemberitaan tentang jumlah kunjungan ini perlu dicermati karena ada perbandingan bulanan terhadap bulan sebelumnya atau perbandingan antarbulan/periode dengan bulan/periode yang sama tahun sebelumnya.
Berita dalam travel.kompas.com tertanggal 22/8/2022, misalnya mengutip weekly press briefing, menyatakan pada Juni 2022 (345.438) kunjungan wisman naik 2.000 persen. Angka ini sangat fantastis. Padahal, dibandingkan dengan bulan sebelumnya (212.332), kenaikannya 133.106 kunjungan atau 62,6 persen, dan jika dibandingkan dengan Juni 2021 (126.844) kenaikannya 85.488 kunjungan atau 67,4 persen.
Berita lain lagi dari sumber yang sama pada tanggal 3/9/2022 menyatakan bahwa jumlah kunjungan Januari-Juli sebanyak 1.220.180, meningkat 1.434.39 persen, padahal kenaikan terhadap angka tahun 2021 (858.566 - BPS) adalah sebesar 42,1 persen saja.
Pada 4 Oktober 2022 muncul lagi berita dari sumber yang sama tentang jumlah wisman periode Januari-Agustus 2022 (1,73 juta), naik 2.028 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada periode yang sama 2021 yang sebanyak 81.292 kunjungan. Padahal, jumlah kunjungan wisman pada Januari-Agustus 2021 menurut laporan BPS sebanyak 977.079 kunjungan, dan pada periode yang sama 2022 berjumlah 1.311.920 kunjungan sehingga kenaikannya sebesar 34,3 persen, bukan 2.043 persen.
Perkembangan dalam persen yang diberitakan dapat menyenangkan untuk didengar, tetapi dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat menimbulkan harapan yang berlebihan oleh pihak tertentu; dan mungkin juga mendorong kebijakan tertentu yang tidak tepat untuk diterapkan. Cara penyampaian angka statistik merupakan contoh yang menunjukkan kurangnya literasi dan numerasi terkait pariwisata.
Pewujudan pariwisata berkelanjutan memerlukan langkah-langkah konkret semua pemangku dalam menetapkan target, membangun destinasi di lapangan, dan menggunakan tolok ukur yang cocok. Jelas dalam indikator pariwisata berkelanjutan tolok ukurnya bukan jumlah kunjungan, melainkan terciptanya kondisi di destinasi yang diindikasikan melalui banyak indikator.
Tidak hanya kelestarian lingkungan (bahari dan daratan), tetapi juga kesetaraan jender, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan enersi bersih, tak terkecuali pendidikan, inovasi, aksi terhadap perubahan iklim, dan lain-lain yang tercantum dalam 17 indikator pembangunan berkelanjutan.
Baca juga: Pariwisata Berkelanjutan, Satu-satunya Jalan
Atau kalau mengacu kepada standar GSTC yang diadopsi melalui Permen No 9/2021, setidaknya ada empat kelompok indikator, yaitu pengelolaan berkelanjutan, keberlanjutan sosial dan ekonomi, keberlanjutan budaya, dan keberlanjutan lingkungan.
Indikator GSTC juga perlu dikaji dan disesuaikan dalam konteks keindonesiaan. Salah satu indikator yang perlu diangkat, misalnya identitas lokal/nasional yang dapat dikaitkan dengan keberlanjutan budaya. Hal penting untuk Indonesia ini, yang tidak/belum secara eksplisit disebutkan dalam Pedoman, perlu mendapat perhatian, sebagai bagian dari jati diri bangsa Indonesia.
Mari kita maknai proses pemulihan ini dengan semangat untuk tidak hanya pulih secara kuantitatif, tetapi berkembang menjadi lebih baik secara kualitatif. Kita sambut bersama tahun 2023 sebagai awal era baru pariwisata Indonesia dengan praktik pariwisata berkelanjutan yang didasarkan literasi dan numerasi yang diperlukan untuk aplikasi pembangunan berkelanjutan secara utuh, melalui praktik-praktik yang bertanggung jawab oleh semua pemangku: birokrat, pengusaha, masyarakat serta keterlibatan para pihak lain untuk mendukung tanggung jawab tersebut.
Myra P Gunawan, Pemerhati Geopark dan Ketua Tim Penyusun Rencana KSPN Toraja