Patriotisme Prof Subroto
Sebagai akademisi, di dalam berbagai Sidang Dewan Guru Besar FEUI, Pak Broto sering memperingatkan para ekonom neoliberal kita, yang telah keliru memilih Adam Smith sebagai “nabi”-nya Ilmu Ekonomi.
Pada 20 Desember 2022 lalu, kita kehilangan seorang tokoh nasionalis patriotik, Prof Dr Subroto, wafat di usia 99 tahun.
Sebagai tokoh teknokrat ekonomi dari Universitas Indonesia di zaman Presiden Soeharto, Subroto satu tim dengan Prof Widjojo Nitisastro, Prof Mohamad Sadli, Prof Sarbini Somawinata, Prof Ali Wardana, Prof Emil Salim, Prof Radius Prawiro, Prof Barli Halim, dan Prof Harun Zain.
Dilahirkan di Solo, 19 September 1923, nama Subroto memang diidamkan ayahandanya, nDoro Nggung atau Raden Tumenggung Sinduredjo, Bupati Anom, priayi Kampung Sewu, Solo. Nama Su artinya lebih, Broto artinya topo broto (menjalani laku bertapa), demi melakukan pengabdian memayu-hayuning bawono (kemaslahatan orang banyak di dunia).
Apa yang jadi keinginan ayahandanya terkabul, mengharum kan nama kedua orangtuanya. Subroto meninggalkan seorang istri, Trisnawati; dan tiga anak.
Baca juga : Semangat ”The Wise Minister” yang Tak Padam hingga Akhir Hayat
Patriotik
Sejak usia muda Subroto sudah patriotik. Selepas SMA (dulu SMT) dan setelah gagal masuk PETA, ia masuk Akademi Militer Yogyakarta hanya dua bulan setelah Indonesia Merdeka. Pada November 1945, sebagai kadet, Subroto sempat menerima tawaran Akademi Militer ikut menjadi sukarelawan perang di Surabaya.
November 1945 itu Subroto ikut merebut meriam Jepang di Surabaya. Di bawah komando Gubernur Akademi Militer Mayjen Soewardi, Subroto ikut menembakkan meriam ke arah pasukan dan kapal-kapal Inggris. Perang 10 November 1945 adalah peristiwa besar dan sangat penting bagi Indonesia. Di situ kita menang terhadap pemenang Perang Dunia II, tentara sekutu terusir dari Surabaya.
Subroto termasuk angkatan pertama Akademi Militer yang dilantik Presiden Soekarno, November 1948. Teman seangkatannya antara lain Wiyogo, Soesilo Soedarman, Himawan Soetanto, Ali Sadikin, Yogi Supardi dan Sayidiman Suryohadiprodjo. Mereka ikut berperan dalam kemerdekaan.
Subroto lulus Sarjana Muda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) tahun 1955 dan lulus doktor dari Mc Gill University Montreal di 1958. Dalam pemerintahan Soeharto, Subroto pernah menjabat Menteri ESDM, Presiden Konferensi OPEC dan Sekjen OPEC. Subroto tercatat sebagai seorang ilmuwan, Guru Besar FEUI dan pernah menjabat sebagai rektor Universitas Pancasila.
Subroto menyandang berbagai penghargaan dari berbagai negara, antara lain: The 1st Class of Our Most Noble Order of the Crown of Thailand dari Raja Bhumipol Adulyadej, Das Grosse Verdienskreus Mit Stern und Schulterbrand dari Kanselir Jerman Karl Karsten, Grand Cordon of the Order of Al-Istiqal Independence”.
Selain itu, berbagai penghargaan dari dalam negeri: Bintang Maha Putra Adipradana II, Satyalencana Peristiwa Perang Kemerdekaan Ke-1 dan Satyalencana Peristiwa Perang Kemerdekaan Ke-2, Tanda Jasa Pahlawan (dalam gerilya membela kemerdekaan negara) dari Presiden Soekarno, dan lain-lain.
Pak Broto merasakan munculnya ketimpangan yang mencemaskan kehidupan berbangsa dan bernegara
Bintang Jasa Wirakarya Adhitama yang disampaikan sebagai penghargaan dari FEUI kepada Pak Broto pada 14 Desember 2015 di Auditorium Dekanat FEUI, adalah penghargaan penutup dari karier Subroto, yang dikenal sebagai "Pak Broto yang berdasi kupu-kupu".
Awal Orde Baru
Awal 1966 telah sangat dirasakan perlunya penanggulangan terhadap penderitaan ekonomi parah yang menimpa rakyat. Untuk itu diperlukan konsepsi dan pokok-pokok pikiran untuk penanggulangan problem ekonomi, kelak setelah PKI dibubarkan. Forum seminar diadakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) FEUI, 10-20 Januari 1966. Forum ini merupakan peristiwa besar.
Dalam forum ini Subroto dan tokoh-tokoh FEUI berbicara tentang “The Leader, The Man and The Gun” untuk melaksanakan perubahan dan mewujudkan “Sosialisme Indonesia” serta keluar dari kemerosotan ekonomi yang parah.
FEUI pada forum 1966 itu berperan sebagai “the man behind the gun”. Dari sini tokoh-tokoh FEUI, termasuk Pak Broto menggariskan “Tracee Baru” untuk mengawali “Ekonomi Orde Baru”.
Perlu dicatat di sini sebagai berikut. Pak Broto merasakan munculnya ketimpangan yang mencemaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini dirasakannya sebagai der Zeitgeist. Maka, pada 1998, Pak Broto mendukung gerakan sekelompok tokoh ILUNI pimpinan Hariadi Darmawan dkk untuk menuntut perubahan.
Didukung beberapa tokoh ikatan alumni universitas-universitas negeri lain, Pak Broto diangkat sebagai Ketua Presidium Gerakan Reformasi Nasional (GRN). Pada 18 Mei 1998, Pak Broto memimpin GRN mendatangi DPR dan memberi kesempatan kepada Romo Mangun untuk menghujat DPR.
Hingga sekarang Pak Broto berperan sebagai ketua Presidium GRN. Prof Koesnadi Hardjasoemantri (alm) sebagai wakil ketua, Dr Hariadi Darmawan sebagai ketua eksekutif, Sri Edi Swasono dan Haryono Kartohadiprodjo sebagai wakil-wakil ketua, serta Prof Dimyati Hartono dan Ir Indradjid (alm) sebagai sekretaris. Banyak tokoh penting menjadi “anggota” dan pendukung GRN.
Terus terang, peran GRN, khususnya dari kalangan UI, sangat besar dalam “lengser keprabon”-nya Presiden Soeharto.
Sayangnya, alumni FEUI justru menolak bergabung dengan GRN. Terus terang, peran GRN, khususnya dari kalangan UI, sangat besar dalam “lengser keprabon”-nya Presiden Soeharto. Orang-orang GRN pada umumnya bersikap mikul duwur mendhem jero terhadap Presiden Soeharto. Namun jalannya reformasi salah arah. Dan ini mengecewakan Pak Broto.
Pak Broto juga tokoh Barisan Nasional (BARNAS), Pak Broto diajak oleh Letjen Kemal Idris, ketua BARNAS untuk menduduki posisi wakil ketua BARNAS, dan BARNAS memosisikan diri sebagai moral force, melakukan koreksi dan menjadi pressure group terhadap pemerintah agar melaksanakan tugasnya sesuai dengan cita-cita para Pendiri Bangsa. Di sini pun Pak Broto mengakui tidak puas dengan performa BARNAS, karena tidak mencapai apa yang dicita-citakan sebagai reformis.
Peringatan Pak Broto
Sebagai akademisi, di dalam berbagai Sidang Dewan Guru Besar FEUI, Pak Broto sering memperingatkan para ekonom neoliberal kita, yang telah keliru memilih Adam Smith sebagai “nabi”-nya Ilmu Ekonomi.
Di sinilah sebenarnya kita diingatkan Pak Broto bahwa kita punya Pancasila, kita punya pesan-pesan Konstitusi, kita punya konsensus nasional tentang Demokrasi Ekonomi Indonesia, yang harus kita pedomani.
Saya menduga Pak Broto membaca lagi akan datangnya der Zeitgeist.
Sri-Edi SwasonoGuru Besar FEB UI