Makna Natal kali ini secara teologis dirumuskan secara tepat di dalam teologi pembebasan. Teologi pembebasan mengajarkan agar agama harus berkontribusi untuk menciptakan perubahan-perubahan sosial.
Oleh
OTTO GUSTI MADUNG
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Tema pesan Natal bersama Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tahun ini diambil dari Injil Matius, 2:12: “… pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.”
Para cendikiawan dari Timur datang menyembah Tuhan yang menjelma menjadi bayi miskin. Mereka membawa emas, kemenyan, dan mur sebagai persembahan. Mereka menemukan Tuhan di dalam diri bayi mungil yang lahir di kandang hewan di Betlehem karena mereka taat mengikuti tuntunan cahaya bintang.
Agama dan nalar
Bintang adalah simbol untuk cahaya nalar dan kejernihan hati nurani. Agama hanya menjadi locus pencarian dan perjumpaan dengan Tuhan jika ia tetap memberi ruang bagi pancaran cahaya akal budi dan kebeningan hati nurani. Tanpa nalar dan nurani, agama akan terjerumus menjadi institusi kekuasaan yang menindas, intoleran, dan diskriminatif.
Dialog antara warga religius dan masyarakat ilmiah-sekuler urgen bukan saja karena tuntutan masyarakat plural, tetapi juga karena memiliki nilai epistemik. Dengan demikian hidup bersama yang toleran dan bebas diskriminasi bisa dibangun dalam masyarakat kita yang berbineka.
Bagi umat beragama, keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan modern dapat menciptakan kesadaran religius modern. Kesadaran tersebut memampukan warga religus menemukan cara menyelaraskan klaim-klaim kebenaran doktrin agamanya dengan pluralitas doktrin lainnya yang memiliki klaim kebenaran serupa tetapi inkompatibel.
Umat beragama juga harus belajar membangun relasi yang harmonis antara otoritas ilmu pengetahuan alam dengan klaim-klaim kosmologis doktrin agama (Habermas, 2005). Warga religius harus menginternalisasi prinsip-prinsip keadilan sekuler dengan menempatkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam pandangan hidup dan orientasi nilai mereka. Dengan demikian agama tidak terperosok ke dalam kesalehan ritualistik sempit tanpa komitmen solidaritas sosial.
Bagi umat beragama, keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan modern dapat menciptakan kesadaran religius modern.
Dengan taat pada tuntunan cahaya bintang akal budi, para ilmuwan dari Timur akhirnya menempuh jalan lain pulang ke negerinya. Bayi Yesus pun luput dari ancaman pembunuhan Raja Herodes yang haus kuasa. Sosok Allah yang miskin ini menjadi ancaman bagi kekuasaan Herodes.
Natal dan pembebasan
Makna Natal sebagai “jalan pulang melalui jalan lain” adalah gugatan terhadap gambaran Allah yang triumfalistik, intoleran, dan menindas. Natal menghadirkan Allah yang berbela rasa dan berpihak kepada kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan.
Bela rasa dan belas kasih adalah prinsip dasar karya Allah dalam diri Yesus. Natal mendorong umat manusia untuk menghadirkan Allah di tengah dunia lewat praksis berbela rasa (compassion), belas kasih (mercy) dan perjuangan mewujudkan keadilan (justice).
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Santa Klaus mengunjungi anak-anak yang kurang beruntung untuk memberi nasihat dan hadiah dalam acara makan siang Natal di panti asuhan Vincentius Putra, Kramat, Jakarta Pusat, Rabu (25/12/2019). Makan siang Natal ini dihadiri oleh 374 anak dari 11 panti asuhan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Makan siang Natal merupakan semangat berbagi dan melayani bagi mereka yang kurang beruntung di hari istimewa ini.
Makna Natal ini secara teologis dirumuskan secara tepat di dalam teologi pembebasan. Teologi pembebasan adalah “refleksi krits atas praktis historis dalam terang cahaya iman“ (Gustavo Gutierrez 1976, hlm. 26).
Teologi pembebasan mengajarkan agar agama harus berkontribusi untuk menciptakan perubahan-perubahan sosial. Agama-agama tidak cukup hanya berkontemplasi tentang kebenaran yang transenden, tetapi harus mampu menyalakan api kesadaran untuk transformasi sosial yang membebaskan.
Pembebasan di sini memiliki tiga makna. Pertama, pembebasan sosio-politis dari kelas-kelas sosial dan bangsa-bangsa yang tertindas. Kedua, pembebasan historis manusia dalam arti emansipasi manusia yang terus maju dalam bentuk sebuah revolusi budaya yang permanen. Ketiga, pengertian pembebasan sebagai keselamatan lewat Yesus Kristus sebagai pembebsan dari dosa pribadi di hadapan Allah yang merupakan akar terdalam dari kehancuran persatuan di antara umat manusia dan juga berdampak kepada realitas ketidakadilan dan penindasan Gustavo Gutierrez (1973).
Pembebasan dipahami sebagai proses komprehensif yang bertujuan menyelamatkan manusia dari semua bentuk dosa, perbudakan, kemiskinan, dan penindasan. Pemahaman tentang dosa tidak saja bersifat individual dalam kaitan dengan perintah Allah, tetapi mencakupi struktur sosial yang bertentangan dengan kodrat manusia dan menghalanginya untuk berbuat baik. Dosa sosial adalah struktur ketidakadilan yang meminggirkan dan mendehumanisasi manusia.
Dosa individual dan struktural adalah hambatan bagi umat manusia untuk mencapai tujuan persekutuan yang sempurna dengan Allah. Karena itu, umat manusia membutuhkan pembebasan yang total di mana pemenuhan eskatologisnya dijanjikan kepada kita dalam karya penyelamatan. Dan itulah makna Natal. Allah peduli dengan nasib manusia dan masuk ke dalam sejarah manusia untuk mengangkat harkat manusia dan seluruh ciptaan demi tujuan pembebasan.
Otto Gusti Madung, Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores; Dosen Filsafat dan Alumnus Program Doktoral dari Hochschule fur Philsophie Munchen, Jerman