Natal menjadi satu dari sekian banyak peristiwa dalam hidup untuk memantapkan sinodalitas (jalan bersama) "sensus ecologicus", yaitu bersama-sama menjaga, merawat dan memelihara bumi.
Oleh
AGUSTIAN GANDAPUTRA SIHOMBING
·4 menit baca
Dalam bukunya At Home on Earth: Foundations for a Catholic Ethic of the Environment (1989), Charles M Murphy menuliskan, ”The earth was made to be the home of God”. Bumi menjadi pilihan Allah untuk tempat tinggal-Nya. Dalam bumi Allah bertemu dengan seluruh ciptaan-Nya; terkoneksi dengan semua.
Kehadiran Allah di bumi sungguh nyata lewat kelahiran Yesus Kristus secara historis di Betlehem dan secara teologis di seluruh bumi. Inilah yang dimengerti oleh orang Kristen dengan inkarnasi melalui peristiwa natal (kelahiran).
Dengan kehadiran Yesus Kristus ke dunia, Allah ingin agar manusia semakin menyadari dinamika penyelenggaraan ilahi dalam pentas sejarah hidupnya bersama alam semesta sebagai tempat tinggal bersama (common home). Melalui inkarnasi, Allah menyatakan solidaritas-Nya tak hanya kepada manusia, melainkan juga kepada seluruh alam semesta yang diciptakan-Nya dari ketiadaan (creation ex nihilo).
Peristiwa Natal sungguh menjadi momentum untuk merefleksikan kasih Allah yang peduli dengan manusia dan alam semesta. Kesadaran dan sensus ecologicus yang ditunjukkan-Nya menjadi satu cermin bagi manusia–terutama yang hidup di tengah ”keapatisan ekologis”–untuk siap menata dan memperlakukan lingkungan hidup sebagai ”saudara se-Pencipta”.
"Sensus ecologicus”
Penulis melihat sisi persaudaraan manusia dengan alam terjalin dalam relasi yang ilahi, bukan sekadar duniawi. Sehingga, relasi tersebut sungguh kompleks sekaligus integral. Sebab, semua saling terhubung dan berkaitan satu sama lain dengan Sang Ilahi.
Sebagai makhluk yang paling sempurna–dengan rasionalitas (ratio) dan perasaan (sensus)–manusialah yang harus lebih bertanggung jawab meningkatkan kualitas dan martabat hidup bersama. Hal seperti ini juga telah disinggung oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ (2015).
Paus Fransiskus mengajak umat manusia untuk semakin meninggalkan rasionalitas dan perasaan yang keliru terhadap ekologi.
Paus Fransiskus mengajak umat manusia untuk semakin meninggalkan rasionalitas dan perasaan yang keliru terhadap ekologi. Segala degradasi moral, budaya, politik, dan sosial yang merugikan baik terhadap sesama manusia maupun lingkungan hidup harus diperbaiki. Sehingga, peradaban manusia terarah kepada pola pikir dan merasa yang integral serta holistik di ”rumah bersama”.
Manusia perlu belajar untuk peka merasakan kehadiran yang ilahi dalam diri masing-masing ciptaan (panentheisme). Betapa besar dosa manusia, apabila merusak sistem kehidupan dasar di bumi yang pada awalnya adalah baik (bonum), indah (pulchrum), dan benar (verum).
Sinodalitas
Usaha untuk mencapai sensus ecologicus yang integral dan holistik tersebut tentu memiliki dua sisi: di satu sisi mudah dan di sisi lain sulit. Dikatakan mudah, apabila seluruh elemen manusia telah memiliki paradigma ekologis yang baik dan benar serta mau memberikan sumbangsih satu sama lain; baik berupa materi, ide, tenaga, dan bahkan waktu.
Sebaliknya, usaha ekologis tersebut akan menjadi sulit untuk diwujud-nyatakan apabila belum ada kesatuan dari masing-masing pihak. Terutama, apabila tindakan ekologis justru menjadi penghalang dalam mencapai kenikmatan dan kemewahan hidup.
Usaha untuk mencapai sensus ecologicus yang integral dan holistik tersebut tentu memiliki dua sisi: di satu sisi mudah dan di sisi lain sulit.
Untuk itu, gerakan ”jalan bersama” (sinodalitas) dari tiap-tiap orang diperlukan. Paus Fransiskus pada November 2022 menyatakan bahwa dalam mencapai kemajuan persaudaraan universal, diperlukan sinodalitas.
Dalam sinodalitas, ada tiga dimensi yang harus dimengerti. Pertama, semua umat manusia hidup dalam persekutuan (communion). Tidak ada seorang pun yang dapat hidup secara individual dan terpisah dari komunitas.
Kedua, semua umat manusia harus terlibat atau berpartisipasi (participation) dalam tugas-tugas pewartaan yang didasarkan pada cinta kasih dan persaudaraan universal baik dengan sesama, alam semesta, maupun Tuhan.
Ketiga, semua umat manusia harus bermisi (mission). Dalam konteks ekologi, misi manusia adalah menjaga alam semesta agar tidak rusak dan punah dengan meningkatkan kepekaan dan kesadaraan ekologis di seluruh lapisan masyarakat.
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa Natal menjadi satu dari sekian banyak peristiwa dalam hidup untuk memantapkan sinodalitas sensus ecologicus. Kita berharap agar mentalitas dan gaya hidup baru dipahami dengan sungguh-sungguh sebagai misi dalam persekutuan dan partisipasi tiap umat manusia.
Sehingga, alam semesta menjadi tempat ziarah yang mengagumkan dan manusia mampu bertemu dengan Sang Pencipta yang Maha Rahim. Ia telah memilih bumi menjadi tempat tinggal-Nya. Untuk itu, tugas kita adalah menjaga, merawat, dan memelihara bumi yang juga dihuni oleh Allah dalam sinodalitas dengan siapa saja tanpa batas. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC); Divisi Keutuhan Lingkungan Hidup Kapusin Medan; Mahasiswa Magister Filsafat Konsentrasi Etika Pastoral Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara