Pendidikan perempuan memang telah meningkat, tetapi belum sepenuhnya mendorong percepatan emansipasi perempuan. Karena itu, kurikulum pendidikan pada berbagai tingkatan harus diubah agar tidak bias jender.
Oleh
BUDI RAJAB
·6 menit baca
Saat usia Kartini menginjak 12 tahun, tahun 1881, dan telah menyelesaikan ELS (Europeesche Lagere School, Sekolah Dasar Belanda), dia memohon kepada ayahnya, waktu itu Bupati Jepara, agar diizinkan pergi ke Semarang untuk meneruskan sekolah. ”Ia berlutut di hadapan Ayahnya… ia menanti jawaban Ayahnya… dan perlahan-lahan tetapi pasti keluar dari mulutnya: ’tidak!’ (Lihat, Kartini, Surat-Surat kepada Ny R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1987, halaman 14).
Pupuslah keinginan Kartini untuk melanjutkan sekolah. ”Ia merasa masih kanak-kanak sekali dan ia memang masih anak juga, tetapi adat menggolongkannya tanpa ampun sebagai orang dewasa… Dia yang tidak pernah berjalan, tetapi selalu melonjak-lonjak seperti anak kuda lincah di padang rumput; sekarang harus tenang… Permata bagi gadis Jawa ialah diam, tak bergerak, seperti boneka kayu” (halaman 15-16).
Kartini harus menjadi perempuan ningrat Jawa, tidak mungkin bisa seperti beberapa teman perempuannya yang berkulit putih yang bisa meneruskan sekolah ke negeri Belanda; atau seperti kakak laki-lakinya yang dapat melanjutkan sekolah ke Semarang. Ya, dia mesti tinggal di rumah keluarganya yang besar, yang halamannya luas, dengan tembok-tembok tinggi dan tebal yang melingkunginya, seperti burung dalam sangkar.
Kartini meyakini, sekolah adalah salah satu lembaga untuk emansipasi perempuan. Melalui dan di dalam sekolah intelektual perempuan akan terasah, dapat berpikir rasional, bisa mewujudkan potensi dan kreativitasnya, memiliki motivasi untuk maju dan membuat prestasi, berkarir, serta memperoleh martabat layaknya laki-laki. Sekolah adalah pembuka jalan yang memungkinkan perempuan berkiprah di dunia yang luas dan dapat mengikuti perubahan yang terus berlangsung.
Mungkin pemikiran Kartini ini sedikit mirip dengan konsepsi John Dewey, filsuf pendidikan Amerika, meskipun arah pemikiran Dewey tidak dikhususkan untuk perempuan, yang menyatakan pendidikan berfungsi sebagai alat transformasi sosial. Bagi Dewey, sifat transformasi itu dimungkinkan karena melalui pengajaran di sekolah yang terorganisasikan manusia akan bisa mengenali kemampuan dirinya dan terdorong untuk mencari kebenaran. Di sekolah diajarkan bagaimana manusia harus berani mempertahankan kebenaran ketika kebenaran dipersoalkan, bagaimana agar kebenaran menjadi lebih persuasif dan meluas, serta bagaimana ”menggempur” distorsi atau penyimpangannya.
Sekolah adalah pembuka jalan yang memungkinkan perempuan berkiprah di dunia yang luas dan dapat mengikuti perubahan yang terus berlangsung.
Arah pendidikan, menurut Dewey, ditujukan untuk mengembangkan potensi manusia agar dapat tumbuh menjadi manusia yang bebas dan berpikir kritis. Dapat memberi penilaian atas berbagai kondisi yang dihadapi dan menjadikannya landasan untuk membentuk realitas baru. Pendidikan tidak hanya mendorong manusia menyesuaikan diri dengan realitas, tetapi juga dapat merekonstruksi, bahkan mendekonstruksinya, sehingga memungkinkan manusia hidup dalam tatanan kemasyarakatan yang demokratis dan adil, yang menyediakan peluang dan kesempatan yang sama bagi tiap orang tanpa kecuali.
Karena itu, bagi Dewey, setiap warga negara harus mempunyai akses untuk memperoleh pendidikan dasar dalam rangka pengembangan intelektual dan menanamkan pengetahuan yang diperlukan untuk memperkuat kesejajaran semua kelompok dalam mendapatkan kebebasan. Kurikulum dasar sekolah mesti terfokus pada kelangsungan masyarakat bebas dan menjaga kontinuitasnya dari ancaman ambisi kekuasaan. Pelajaran yang diberikan pada siswa harus mempertajam pemahaman mengenai apa itu masyarakat bebas, tanggung jawab yang diembannya, kesempatan yang ada di dalamnya, beban, dan bahaya yang dihadapinya.
Pencapaian dan kendala
Hingga awal abad ke-21 ini, lebih seabad setelah Kartini meyakini betapa pentingnya sekolah bagi perempuan, ditemukan fakta yang mengesankan.
Politik negara mengenai peningkatan peran perempuan tampaknya meletakkan pendidikan sekolah sebagai sarana yang diprioritaskan. Demikian pula apabila melihat pada anggapan masyarakat umum mengenai emansipasi perempuan, mereka juga banyak mempercayakan kepada pendidikan sekolah.
Implementasi dari pendekatan yang menempatkan pendidikan sebagai wahana utama bagi peningkatan peran perempuan memang menampakkan adanya pencapaian, menunjukkan adanya perubahan, umpamanya jumlah perempuan yang bersekolah kian bertambah dan jenjang pendidikan yang dialami perempuan juga semakin tinggi. Selain itu, kaum perempuan lulusan sekolah tersebut banyak pula yang telah dapat bekerja di sektor publik dan privat dengan berbagai profesi dan jabatan.
Namun, ditemukan pula fakta sebaliknya, di beberapa wilayah Nusantara ini tetap terjadi kesenjangan jender pada pendidikan ini, bahkan sebagian besar penduduk yang buta huruf adalah perempuan. Selain itu, tingkat sekolah perempuan secara umum lebih rendah daripada laki-laki dan semakin tinggi tingkat sekolah, kian rendah rasio jendernya, semakin tinggi tingkat sekolah, kian sedikit proporsi perempuan bersekolah.
Kiranya ada beberapa alasan mengapa perbedaan dalam kuantitas dan jenjang pendidikan ini masih tetap ada.
Pertama, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia. Umpamanya, sekolah dasar (SD) terdapat di hampir semua desa di Indonesia, maka seorang murid SD tidak perlu keluar desa untuk pergi sekolah.
Namun, seorang murid harus menempuh perjalanan yang lebih jauh bila ia bersekolah di SLTP (sekolah lanjutan tingkat pertama), apalagi untuk tingkat SLTA dan perguruan tinggi yang umumnya terkonsentrasi di kota-kota. Banyak orangtua yang enggan apabila anak perempuan mereka pergi ke sekolah yang jauh karena akan kehilangan bantuan kerja di rumah tangga.
Kedua, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan. Besarnya ongkos sekolah ini menjadi hambatan, terutama untuk mereka yang miskin dan pada keluarga miskin orangtua lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki, tenaga perempuan lebih banyak dibutuhkan di rumah tangga.
Bukan perkembangan
Selain itu, hingga kini stereotipe jender pada pendidikan sekolah tidak hilang. Kurikulum pendidikan masih cukup kental memisahkan peran perempuan dan laki-laki, perempuan tetap digambarkan dengan kegiatan-kegiatan kerumahtanggaan dan prasangka kerendahdiriannya. Demikian pula dengan pilihan jurusan dan spesialisasi keilmuan, kurikulum dan praktik pendidikan sekolah tetap mendorong perempuan supaya memilih jurusan dan ilmu yang dianggap sesuai dengan karakter keperempuanannya.
Di sektor publik memang perempuan yang bekerja telah cukup banyak jumlahnya dan meluas pada berbagai bidang pekerjaan. Namun, profesi dan jabatan yang diberikan dan diduduki perempuan masih banyak yang berhubungan dengan stereotipe keperempuanan itu dan jenis-jenis pekerjaan subsistensi.
Perubahan itu tampaknya masih tetap berada di bawah bayang-bayang sistem dan nilai patriarki, belum menunjukkan terjadinya transformasi struktural atas dasar jender.
Karena itu, tampak peran pendidikan tidak sepenuhnya mendorong pada percepatan emansipasi perempuan. Meski dalam perjalanan waktu tampak ada peningkatan jumlah perempuan bersekolah dan jenjangnya semakin tinggi, perbandingannya dengan laki-laki masih jauh dari setara. Selain itu, pendidikan sekolah itu belum dapat mengeliminasi stereotipe jender, malah kecencenderungnya mempertahankan dan memperkuatnya karena ia dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan itu sendiri.
Dalam konteks ini, pendidikan sekolah itu bahkan turut membantu menyebarluaskan ideologi yang bias jender, bukannya mengubahnya. Sudah tentu implikasinya menjadi jauh, sistem dan nilai patriarki, yang menempatkan laki-laki lebih superior daripada perempuan, tetap bercokol karena saluran sosialisasinya bertambah, yaitu lewat pendidikan sekolah, di samping tetap ditanamkan dalam keluarga dan lingkungan pergaulan sehari-hari.
Penambahan jumlah, peningkatan jenjang pendidikan, dan perluasan pekerjaan perempuan di sektor publik katakanlah merupakan indikator terjadinya perubahan peran perempuan. Namun, perubahan itu tampaknya masih tetap berada di bawah bayang-bayang sistem dan nilai patriarki, belum menunjukkan terjadinya transformasi struktural atas dasar jender.
Perubahan peran perempuan tersebut boleh dikatakan hanya pada tataran kuantitas, bukan pada tingkatan kualitas. Suatu perubahan yang memang menunjukkan pertumbuhan, tetapi bukan perkembangan (growth without development), atau sekadar perubahan bentuk, bukan perubahan substansial.
Perlu diperhatikan, agar posisi perempuan terlihat berubah secara substansial, bukan hanya bagaimana pendidikan sekolah mesti membuka diri untuk menerima perempuan, melainkan yang tak kalah penting adalah mengubah kurikulum pendidikan pada berbagai tingkatan agar tidak bias jender, tidak menempatkan perempuan sebagai kelompok yang inferior.
Budi Rajab, Pengajar di Jurusan Antropologi, FISIP Universitas Padjadjaran Bandung