Guru Layak Mengajar
Kualitas guru di Indonesia stagnan. Perlu ada terobosan baru untuk membuat para guru semakin layak mengajar. Cara pandang terhadap guru harus lebih pada cara pandang memberdayakan daripada memperdaya.
Secara nasional, rapor pendidikan Indonesia ada pada kategori nilai merah untuk ranah literasi dan numerasi. Dari hasil Asesmen Nasional (AN), hanya 30 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi dan numerasi. Artinya, setidaknya 70 persen siswa masih tak paham apa yang dibaca.
Kenyataan itu semakin meneguhkan studi internasional yang menyebutkan bahwa indeks literasi bangsa kita memang sangat rendah. Hulu dari semua ini tentu tak bisa dilepaskan dari kompetensi guru Indonesia. Lantas, ada apa sebenarnya dengan demografi guru Indonesia?
Pertanyaan di atas sangat reflektif karena negara tetangga, Malaysia, yang dahulu mengimpor guru dari Indonesia, faktanya kini jauh lebih unggul daripada Indonesia. Pertanyaan logis untuk disampaikan adalah: apakah kualitas guru Indonesia tidak meningkat sejak itu?
Baca juga: Saatnya Peduli Kualitas Guru
Masing-masing kita punya opini yang sah untuk menjawabnya. Namun, mengekor pada hasil studi OECD melalui tes PISA, hasil literasi pada 2018 nyatanya sama persis dengan pencapaian ketika kita resmi masuk sebagai anggota OECD, yaitu 371. Berbeda dengan Malaysia yang hasilnya meningkat.
Dalam hal ini, wajar kita curiga bahwa kualitas guru di Indonesia memang stagnan untuk tidak mengatakan buruk. Sebab, dalam data Neraca Pendidikan Daerah (2019), rata-rata nilai uji kompetensi guru berada pada angka 57 dari skala 100. Walau demikian, jika mengekor pada standar pemerintah (55), sesungguhnya guru Indonesia sudah kompeten (57).
Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah kompetensi ini sudah mencerminkan kelayakan guru untuk mengajar? Jikalau sudah layak, mengapa mereka tak jua mampu mendorong kemampuan siswa dari tahun ke tahun, malah kita justru semakin tertinggal?
Empat faktor
Pada artikel ini, saya akan membahas beberapa kemungkinan yang membuat kelayakan guru mengajar jadi terbengkalai. Pertama, kurangnya kemerdekaan guru. Dalam hal ini, kemampuan guru secara profesionalisme tak perlu diragukan. Namun, karena kemerdekaan mereka digerus, guru akhirnya tak bisa memaksimalkan potensi dan kompetensinya. Kurangnya kemerdekaan guru bisa bermula dari kaburnya standar pendidikan. Semua berebut nilai paling tinggi sehingga lupa pada kebermaknaan dari proses pembelajaran.
Kedua, buruknya skema rekrutmen guru. Sebagai dampaknya, kita menerima banyak guru yang direkrut tanpa mempertimbangkan kompetensi. Data tahun lalu (2021), misalnya, menyebutkan bahwa rasio guru adalah 1:17. Artinya, satu guru untuk 17 siswa.
Rasio guru tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 bahwa rasio harus pada angka 1 guru untuk 15-20 siswa. Faktanya, rasio guru tak mencerminkan kualitas. Di beberapa daerah di luar Pulau Jawa, rasio guru lebih baik daripada di Jawa. Nyatanya, dari hasil AN, perolehan rapor pendidikan terbaik daerah di luar Pulau Jawa konon sama dengan perolehan rapor pendidikan terburuk di Jawa.
Kurangnya kemerdekaan guru bisa bermula dari kaburnya standar pendidikan. Semua berebut nilai paling tinggi sehingga lupa pada kebermaknaan dari proses pembelajaran.
Ketiga, terkungkungnya mental mengabdi guru menjadi mental kuli. Kesungguhan guru untuk mendidik turun kastanya menjadi sekadar mengajar. Mereka bukan lagi pendidik, melainkan karyawan. Hal itu buntut dari terancamnya guru ketika melaksanakan tugasnya.
Sudah sering kita mendengar guru dihukum lantaran menegur siswa. Kehormatan dan wibawa mereka sudah tidak ada lagi. Hanya menegur supaya tidak ribut, misalnya, guru sering berujung pada masalah. Bahkan, ada guru yang berakhir pada kematian. Karena itu, guru sering bersikap acuh tak acuh tanpa memastikan siswa memperhatikan atau tidak.
Keempat, buruknya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai mesin produksi guru. Kian tahun, apalagi setelah sertifikasi disahkan, LPTK memang berkembang dan bermunculan dengan sangat deras. Namun, kualitasnya semakin terabaikan. Turunannya, kualitas guru kita pun terancam. Dengan sangat ironis, misalnya, kualitas guru dari LPTK kalah dari kualitas guru yang berasal dari PT umum yang tidak khusus mencetak guru (Kompas, 19/7/2018). Masalah makin laten karena pendidikan sertifikasi juga jauh dari cerminan untuk mendongkrak kualitas.
Buktinya, persentase ketidaklulusan Uji Kompetensi Guru (UKG) mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) ulang pada periode Desember 2017 di 24 LPTK mencapai angka fantastis: 62 persen. Jika harus dikaji, masih banyak faktor lainnya. Namun, kiranya, dari empat faktor di atas, dalam pikiran saya, yang membuat kualitas guru kita cenderung buruk lebih dominan adalah karena buruknya manajemen LPTK. Artinya, hulu dari buruknya kualitas guru bermula dari LPTK.
Baca juga: Menanti Episode Guru Merdeka
Kita bisa mengibaratkannya dengan seorang manusia yang kehausan di tengah laut. Di laut, ada banyak air, tetapi tak bisa memuaskan dahaga. Memang, ada air tawar yang meluncur dari sungai dan hujan. Namun, banyaknya air laut membuat air tawar itu menjadi asin seketika. Dalam hal ini, ada juga LPTK yang terjamin kualitasnya. Namun, buruknya rekrutmen guru membuat ”guru air tawar” menjadi asin. Sebab, semua orang tanpa kompetensi dan passion bisa menjadi guru. Apalagi pada faktanya, banyak oknum yang memasukkan keluarganya sebagai guru tanpa mempertimbangkan kebutuhan.
Sebagai akibatnya, kita tak usah terkejut dengan hasil seleksi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) belum lama ini, yaitu hampir 90 persen tak memenuhi passing grade. Melihat pada tingginya data ketidaklulusan itu, kita tentu sah mengatakan bahwa para guru honorer, termasuk juga PNS, memang tak layak mengajar. Karena itu, kita perlu membuat terobosan baru untuk membuat para guru semakin layak mengajar. Bagaimanapun, guru saat ini, tetaplah aset yang bisa diberdayakan. Maksudnya, cara pandang kita terhadap guru harus lebih pada cara pandang memberdayakan daripada memperdaya.
Baca juga: Guru Berjiwa Tangguh
Berbasis aset
Saya jadi teringat pada materi dalam modul guru penggerak. Metode demikian disebut pola pikir berdasarkan aset, bukan berdasarkan masalah. Artinya, guru harus dipandang sebagai aset. Sebagai aset, guru tentu bisa diberdayakan dan dimaksimalkan. Ini persis sama seperti yang dilakukan Kementerian Pendidikan Singapura pada rentang 2016-2019: Exploring the Designing of a Growth Mindset Curriculum in a Singaporean School. Tujuan dari program ini adalah mengimplementasikan kurikulum berbasis growth mindset. Hal itu sejalan dengan rekomendasi OECD.
Sebagai informasi, setelah bertahun-tahun melakukan studi melalui PISA, konon ada kecenderungan bahwa pertukaran peringkat papan atas selalu dihuni oleh negara yang sama. Demikian juga sebaliknya. OECD kemudian berhipotesis bahwa ini erat kaitannya dengan pola pikir (mindset). Negara maju cenderung berorientasi aset (growth mindset), sementara negara papan terbawah mandek di fix mindset. Artinya, Kemendikbudristek punya kerja besar untuk menularkan semangat berbagi pengetahuan dan pengalaman pada para pendidik di Nusantara.
Baca juga: Jalan Panjang Memartabatkan Guru
Selain itu, Kemendikbudristek juga punya tanggung jawab untuk menyejahterakan para guru. Walau demikian, yang tak kalah penting, selain ”mengahlikan guru”, Kemendikbudristek sudah harus menata ulang manajemen LPTK. Bukan rahasia lagi bahwa sangat banyak LPTK kita yang kualitasnya jeblok. Apabila perlu, kita bisa mencontoh Korea Selatan. Korsel adalah simbol dari negara yang cepat melejit. Faktanya, di balik melejitnya kualitas pendidikan di Korea Selatan, mereka juga menjaga iklim pendidikan dengan sangat baik.
Investasi pendidikan dari masyarakat digalang habis-habisan sehingga pendanaan untuk bantuan operasional sekolah maksimal dalam menunjang kreativitas guru. Sudah pasti, Pemerintah Korsel juga memandang guru sebagai profesi penting. Karena itu, mereka membuat kebijakan passing grade minimal untuk calon guru. Dan, calon gurunya pun berasal dari sekolah-sekolah terbaik. Dengan begitu, guru terpilih adalah guru layak mengajar. Saya selalu berpikir, pendidikan kita akan segera maju jika para gurunya memang guru yang benar-benar layak mengajar sesuai dengan bidang profesinya.
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Guru Penggerak Humbang Hasundutan; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan; Koordinator P2G Humbang Hasundutan