”Pre-test” dan ”Post-test” Setiap Pembelajaran untuk Kualitas Pendidikan
Pendidikan yang berkulitas mensyaratkan kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang berkualitas. Pemantik agar tiga hal ini berkualitas ada pada pentingnya ”pre-test” dan ”post-test” di setiap tatap muka pembelajaran.
Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
·5 menit baca
Deklarasi G20 Bali tentang pendidikan antara lain menekankan bahwa kata kunci menuju Education for Sustainable Development (ESD) terletak pada adanya kepastian tentang kualitas pendidikan dan pelatihan yang inklusif dan setara. Karena dengan memastikan hal tersebut, akan menjamin terbentuknya sistem pendidikan yang tangguh, berteknologi, mudah diakses, dan efektif.
Terkait erat dengan hal itu, ada pertanyaan spesifik untuk guru dan dosen. Bagaimana secara guru dan dosen dalam setiap pembelajarannya sungguh memastikan betapa diri mereka adalah ”penjaga gawang” kualitas pendidikan?
Pertanyaan dan tantangan bagi setiap individu guru dan dosen tersebut manakala dibingkai dengan penegasan lanjut Deklarasi G20 Bali menjadi semakin agitatif karena dalam setiap pembelajarannya, guru dan dosen selayaknya mampu (a) menghapus hanbatan-hambatan (mikro) di bidang pendidikan, (b) meningkatkan pengajaran dan pembelajaran lingkungan, dan (c) mendukung transisi terutama terkait kebijakan (makro) terhadap anak dan perempuan.
Guru dan dosen boleh gagap administrasi, bahkan gagap teknologi; tetapi sama sekali tidak boleh gagap tentang kurikulum, pembelajaran, dan asesmen. Bagaikan sebuah segitiga: kurikulum, pembelajaran, dan asesmen saling menopang, menguatkan, dan mengondisikan sehingga pelajar atau mahasiswa dapat terlayani secara optimal.
Sering ada pendapat, ”apa pun kurikulumnya, yang terpenting pembelajarannya”. Namun, pendapat itu ternyata menjadikan guru dan dosen semata-mata terfokus kepada pembelajarannya saja sehingga kehilangan kompas/arah, dan pasti akan menyebabkan asesmennya kurang berkualitas.
Dalam konteks ini, yang disebut kualitas pendidikan berarti segitiga kurikulum, pembelajaran, dan asesmennya benar-benar berkualitas. Dengan kata lain, segitiga itu pasti akan goyah manakala hanya satu atau dua sudut saja darinya yang digenjot kualitasnya.
Kurikulum berkualitas, pembelajaran berkualitas, dan asesmennya juga harus berkualitas. Artinya, rancangannya bagus, itulah kurikulum; penerapan rancangannya berkualitas, inilah pembelajaran; dan hasilnya nanti pasti juga bagus, dan inilah asesmen. Pemantik agar kurikulum berkualitas, pembelajaran bagus, dan asesmen berkualitas ada pada pentingnya dilakukan pre-test dan post-test di setiap tatap muka pembelajaran.
Bagaimana pelaksanaannya? Seorang dosen mata kuliah dasar-dasar pengembangan masyarakat, contohnya, pasti telah memiliki rancangan perkuliahan selama 14-16 kali tatap muka, seperti misalnya akan ada dua tatap muka dijadwalkan untuk ujian tengah semester dan ujian semester. Tatap muka pertama sebagian besar waktunya pasti akan dipakai untuk membicarakan hal-hal teknis perkuliahan; dan itu berarti akan ada 12 kali saja untuk tatap muka paling efektif.
Dalam konteks ini, yang disebut kualitas pendidikan berarti segitiga kurikulum, pembelajaran, dan asesmennya benar-benar berkualitas.
Di sinilah pre-test dan post-test untuk setiap kali tatap muka dapat dilaksanakan. Artinya, akan ada 12 kali pre-test dan 12 kali post-test atas topik-topik pembelajarannya yang akan efektif selama 12 kali tatap muka itu. Kalau pada tatap muka kedua dosen ini menyampaikan topik ”apa itu masyarakat”, penjajakan kompetensi awal mahasiswa tentang masyarakat diramu dalam pre-test dan kompetensi akhirnya pada post-test. Begitu seterusnya pre-test dan post-test atas topik-topik bahasan dilaksanakan sampai dengan tatap muka ke-12.
Pre-test dan post-test dalam setiap tatap muka dengan sendirinya memberikan bukti langsung atas capaian kompetensi mahasiswa, tetapi juga bukti langsung tentang kualitas pembelajaran dosen. Semakin bagus hasil post-test, berarti baguslah kualitas pembelajaran dosen. Begitu sebaliknya kalau hasil post-test kurang lebih sama dengan hasil pre-test, apalagi lebih jelek, dosen mata kuliah dasar-dasar pengembangan masyarakat ini tidak berkualitas.
Mengapa ada kesimpulan seberani itu? Karena pre-test menggambarkan kompetensi awal tingkat pemahaman mahasiswa sebelum menerima pembelajaran dosen, sedangkan post-test menunjukkan capaian kompetensi akhir dalam arti menunjukkan tingkat penguasaan materi setelah menerima pembelajaran dosen.
Kalau mahasiswa tingkat penguasaan materinya rendah padahal dosen baru saja selesai memberikan pembelajarannya, patut diduga hal itu disebabkan kurang berkualitasnya pembelajaran dosen. Artinya, dalam pembelajaran topik ini, dosen gagal melakukan transformasi pemahaman tentang suatu topik bahasan.
Benarkah hanya pihak dosen yang gagal jika hasil post-test jelek? Selalu di pihak yang benarkah mahasiswa? Harus jujur penuh kerendahan hati dosen yang bersangkutan mengakui gagal, sejauh dosen (dan guru) sejak awal senantiasa memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pre-test dan post-test setiap pembelajaran. Inti penjelasan tentu berkaitan dengan substansi pokok pre-test dan post-test, yakni berupa soal atau pertanyaan yang sama.
Kualitas asesmen
Hasil pre-test dan post-test di setiap tatap muka (pembelajaran) sudah barang tentu dapat dimanfaatkan oleh guru dan dosen untuk meningkatkan kualitas asesmen. Bahkan, karena dilakukan di setiap kali tatap muka, berlangsunglah yang disebut continuous assessment, asesmen berkesinambungan yang pasti akan besar sekali manfaatnya untuk pemetaan kompetensi daya serap atau penguasaan materi pelajar dan mahasiswa secara lebih luas.
Pre-test dan post-test setiap pembelajaran, apabila dijalankan secara konsisten, tentulah memberikan kepastian dan jaminan tentang akan semakin membaiknya hasil asesmen karena guru dan dosen membuat soal-soalnya semakin berkualitas. Jika hasil post-test semakin baik, hasil asesmen juga semakin berkualitas. Alhasil, segitiga kurikulum, pembelajaran dan asesmen semakin kokoh untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Oleh karena itu, pre-test dan post-test setiap pembelajaran penting diyakini dapat meningkatkan kualitas asesmen dan hasil asesmen akhir nanti akan terhindar dari asesmen sulapan karena mungkin ada saja invisible hand untuk ”mengatrol” nilai asesmen akhirnya. Jujur harus diakui, masih sangat banyak dosen dan guru yang hanya terfokus pada asesmen akhir. Jika waktunya sangat mendesak, digunakanlah invisible hand-nya dalam pemenuhan syarat melakukan asesmen akhir.
Jadi, pekerjaan besar ke depan bagi para guru dan dosen untuk dapat berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pendidikan ialah mari kita tingkatkan kesediaan dan kerendahan hati untuk berkenan melaksanakan pre-test dan post-test setiap pembelajaran. Bermodal kesediaan dan kerendahan hati itu, kita yakin akan terjadinya peningkatan kualitas dalam penyusunan kurikulum, kualitas pembelajarannya, dan tentu saja kualitas continuous assessment-nya.
JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik Soegijapranata Semarang; Pengajar Sekolah Pascasarjana untuk Mata Kuliah Pengembangan Masyarakat