Merajut Integrasi Kebatinan
Semua paradigma developmentalisme yang diulas para ahli tak akan berjalan dalam praksis jika kita absen dalam membangun integrasi kebatinan sebagai sebuah entitas bernama “bangsa”.
Dalam sebuah diskusi tentang daerah otonom baru (DOB) di Papua, ada yang bertanya bagaimana memastikan akselerasi pembangunan akan beriringan dengan penguatan nasionalisme.
Saya kira, semua paradigma developmentalisme yang diulas para ahli tak akan berjalan dalam praksis jika kita absen dalam membangun integrasi kebatinan sebagai sebuah entitas bernama “bangsa”.
Integrasi kebatinan mengacu pada proses sekaligus realitas penyelarasan pada ranah komitmen hati dan kesadaran moral semua penanda yang membedakan dalam masyarakat yang multikultural demi terwujudnya “hidup bersama” yang serasi secara fungsional. Sederhananya, suku, agama, bahasa, ras, dan golongan mesti dilihat sebagai potensi yang memperkaya kebersamaan dalam semangat “satu nusa, satu bangsa”.
Dalam konteks pemekaran Papua, integrasi kebatinan merupakan conditio per quam, syarat mutlak, bagi terbentuknya suatu identitas komunal baru yang dibangun di atas kesamaan cita-cita “kesejahteraan bersama” dengan tetap menjunjung tinggi jati diri sebagai “orang Papua” yang khas—yang dengannya ikut memperkaya konsep diri sebagai negara- bangsa bernama “Indonesia”.
Bung Karno sejak awal mengadopsi sebagian konsepsi nasionalisme Otto Bauer (1881- 1938) bahwa Indonesia merupakan satu bangsa yang diikat oleh “kesamaan nasib dan cita-cita”. Dulu, kita sama-sama dijajah dan sama-sama bercita-cita membangun kehidupan yang gemah ripah loh jinawi.
Dalam konteks itu, gagasan Ernest Renan (1823-1892) memperkuat keyakinan Bung Karno bahwa “kita memiliki kemauan untuk bersatu sebagai sebuah negara-bangsa”. Bung Karno menambahkan wawasan geopolitik “dari Sabang sampai Merauke” untuk mempertegas secara teritorial bahwa bumi Indonesia terbentang dari Aceh hingga Papua.
Bung Karno menambahkan wawasan geopolitik “dari Sabang sampai Merauke” untuk mempertegas secara teritorial bahwa bumi Indonesia terbentang dari Aceh hingga Papua.
Merawat masa depan
Di tengah gonjang-ganjing menuju 2024, paguyuban relawan Presiden Joko widodo menggelar “Gerakan Nusantara Bersatu” di Stadion Utama Gelora Bung Karno (26/11/2022).
Dalam acara itu, Presiden menekankan pentingnya keberlanjutan pembangunan. Intensi sentral dari omongan Jokowi itu sesunguhnya perihal bagaimana merawat masa depan. Indonesia sedang bergerak naik—apalagi KTT G20, sebagai bukti kita dipandang dunia, sudah terselenggara sukses!
Terlepas dari kritik terhadap kehadirannya di acara itu, Presiden ingin menghidupkan lagi ingatan kolektif masyarakat bahwa kepemimpinan merupakan instrumen politik yang berorientasi pada keselamatan rakyat sebagai tujuan fundamental dari proses kekuasaan.
Siapapun yang jadi presiden selanjutnya mesti merefleksikan kondisi batin dan hidup seluruh rakyat Indonesia. Diksi “rambut putih” atau “jidat berkerut” hanyalah sinyal sederhana dari gagasan dan harapan besar Jokowi bahwa Indonesia ke depan harus terus dipimpin oleh pelayan rakyat yang meletakkan seluruh motivasi dan tujuan teleologisnya pada kemaslahatan rakyat.
Ia ingin menegaskan kepemimpinan sejati mesti lahir dari rahim rakyat, bukan dari kandungan elitisme yang membentang jarak atas-bawah antara pemimpin dan yang dipimpin. Frase “lahir dari rahim rakyat” mengandung denotasi adanya integrasi kebatinan yang utuh antara pemimpin dan rakyat.
Revitalisasi keindonesiaan
Ekosistem politik kebangsaan kita sesungguhnya kompleks dan problematis. Kompleks karena faksionalisasi di ranah elite yang asimetris dengan kehendak rakyat menyisakan keraguan tentang adanya pengelompokan politik yang kongruen dengan nurani publik. Padahal, roh demokrasi sejatinya melekat secara inheren dengan masyarakat (Diamond, 2009).
Problematis karena residu persaingan politik masa lalu masih menyisakan jurang konfliktual yang menganga di tengah masyarakat. Segregasi “cebong vs kampret” masih hidup dalam benak banyak orang. Pemakaian secara kurang bijak dan tidak proporsional simbol-simbol kelompok (baca: SARA) memunculkan potensi ancaman yang mencabik-cabik jubah keindonesiaan.
Politik identitas berbasis apapun—agama, gender, ras, atau yang lain—yang sejatinya bermaksud memulihkan martabat manusia yang tercabik oleh ketidakadilan struktural (Fukuyama, 2018) kini menjadi modal elektoral yang murah dan mudah dimanfaatkan para pecundang untuk mobilisasi politik. Faktum sosial-politik macam ini pekerjaan rumah serius—yang untuk itu Indonesia harus mendapatkan pemimpin yang tepat di masa mendatang.
Diskursus televisi dan wacana warung kopi ramai mempersoalkan pemakaian istilah “politik identitas”. Kelompok proponen dari agenda itu berargumen demokrasi menjamin adanya politik identitas. Bahwa, politik identitas juga bagian dari identitas dan dinamika demokrasi.
Sebaliknya, grup oposisi menilai penggunaan politik identitas berbasis agama secara berlebihan berpotensi melahirkan konflik horizontal, sekaligus menghancurkan citra agama per se karena agama hanya dijadikan kuda Troya untuk pragmatisme politik.
Pada kedalaman tertentu, glorifikasi identitas kelompok melemahkan gairah komunal untuk selalu membayangkan diri sebagai satu keluarga besar bernama “bangsa Indonesia”.
Pesan baik dari tesis imagined communities (1983)-nya Ben Anderson bahwa keindonesiaan kita merupakan identitas konstruktif yang bertahan selama kita berniat dan berupaya terus membayangkan diri sebagai satu bangsa.
Pesan baik dari tesis imagined communities (1983)-nya Ben Anderson bahwa keindonesiaan kita merupakan identitas konstruktif yang bertahan selama kita berniat dan berupaya terus membayangkan diri sebagai satu bangsa. Politisasi identitas kelompok dalam pemilu langsung merupakan antitesis yang mematahkan gerak linear pembayangan itu—yang ujung-ujungnya nasionalisme keindonesiaan dipertaruhkan!
Refleksi
Realisme politik hari ini mengajak kita untuk dengan bijak melihat momentum 2024 melampaui urusan pemilu.
Sebaliknya, di balik keragaman preferensi politik dan kesengitan kontestasi elektoral, kita diundang untuk bersama-sama merawat integrasi kebatinan sebagai satu komunitas besar “Indonesia”.
Implikasi dari ide integrasi kebatinan adalah adanya ikatan tak terlihat antarkita yang dengannya kita saling menghormati, saling melindungi, dan saling merawat. Apapun pilihan politiknya, kita semua terikat dalam satu batin keindonesiaan. Untuk itu, agenda kandidasi, penentuan narasi politik, dan model mobilisasi dukungan perlu mempertimbangkan efek bola salju terhadap keutuhan sosial dan integrasi bangsa.
Demokrasi niscaya meletakkan pemilu sebagai mekanisme peralihan kekuasaan, tetapi demokrasi tak pernah membenar- kan logika Machiavellian atau mengungkung dirinya dalam perspektif pragmatis Laswellian. Harold Lasswell (1902-1978) memang melihat politik sebagai “seni kemungkinan” sehingga orientasi politik adalah siapa mendapatkan apa.
Tetapi, sebagai sistem politik yang mengusung kebaikan, demokrasi tak bisa dibatasi pada urusan elektoral semata. Demokrasi sejatinya membuka lebar ruang kontestasi untuk menjamin integrasi. Prinsip kebebasan demokratik mengandung prasyarat dasar: kebebasan demokratik bermaksud menjamin kebebasan tiap individu.
Dengan kata lain, prinsip kebebasan dalam kontestasi demokratik bermaksud menjamin adanya integrasi sosial. Karena, dalam integrasi itu, seluruh cita-cita keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kemanusiaan yang menjadi prinsip pokok demokrasi an sich dapat terwujud secara utuh.
Boni Hargens Analis Politik Indonesia; Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)