Perdagangan aset kripto di Indonesia memasuki fase ”musim dingin” meskipun tidak seakut yang terjadi pada kancah global. Hal ituditandai fenomena berulang jerat pidana yang menimpa sejumlah afiliator aset digital,
Oleh
KRISTIANUS JIMY PRATAMA
·4 menit baca
DIDIE SW
ilustrasi
Perdagangan aset kripto secara global sempat mengalami ”musim semi” dengan tumbuh pesatnya jumlah pengguna dan valuasi aset kripto dalam beberapa tahun terakhir. Namun, saat ini perdagangan aset kripto tengah berada pada fase ”musim gugur”, bahkan ”musim dingin”.
Hal ini setidaknya dipertegas dengan jatuhnya pasar aset kripto di tengah pengajuan kepailitan FTX sebagai salah satu pelaku besar cryptocurrency exchange. FTX memasuki fase krisisnya sejak 11 November 2022.
Jika dicermati secara saksama, perdagangan aset kripto di Indonesia juga mulai memasuki fase ”musim dingin” meskipun tidak seakut yang terjadi pada kancah global.
Fase ”musim dingin” perdagangan aset kripto nasional sendiri mulai ditandai dengan fenomena berulang jerat pidana yang menimpa sejumlah afiliator aset digital, terakhir melalui model robot trading.
Belum terselenggaranya mekanisme bursa aset kripto secara mapan oleh regulator sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Perbappebti) Nomor 8 Tahun 2021 memiliki implikasi tidak langsung berupa menjamurnya ”bursa-bursa ilegal” yang berpotensi mengulang fenomena para afiliator sebelumnya.
Belum usai permasalahan tersebut, ”rumah pengawasan” aset kripto saat ini direncanakan berpindah.
Merujuk ketentuan Pasal 205, Pasal 207, dan Pasal 208 RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), pengaturan dan pengawasan aset kripto akan ”berpindah rumah” dari Bappebti ke Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dua batu uji
Apakah sudah tepat ”perpindahan rumah” tersebut?
Setidaknya terdapat dua batu uji untuk mengujinya. Batu uji yang pertama adalah apakah aset kripto adalah benar inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) seperti yang diatur dalam RUU P2SK atau komoditas seperti yang diatur oleh Perbappebti No 3/2019.
Hal ini menjadi penting untuk dapat secara logis menempatkan aset kripto pada ruang lingkup yang benar-benar sesuai dengan karakteristiknya.
Perlu untuk digarisbawahi bahwa aset kripto tidak sama dengan aset hasil digitalisasi sehingga tidak benar untuk mempersamakan aset fisik dengan aset kripto itu sendiri.
Ilustrasi
Pada RUU P2SK, definisi ITSK adalah produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis yang menggunakan teknologi inovatif dalam ekosistem keuangan digital. Apabila dicermati, terdapat kekeliruan pada definisi tersebut untuk aset kripto.
Kekeliruan yang dimaksud adalah bahwa berbicara tentang aset kripto tidak hanya berbicara mengenai bentuk pertukaran nilai pada ekosistem keuangan digital, tetapi juga aset yang memiliki valuasi non-keuangan seperti halnya non-fungible tokens.
Sehingga, berbicara definisi, tentu definisi ITSK hanya dapat menjangkau cryptocurrency, salah satu bentuk aset kripto, dan tidak menjangkau aset kripto pada umumnya.
Berbicara aset kripto pada perspektif UU No 32/1997 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No 10/2011 dan merujuk ketentuan Perbappebti No 3/2019, aset kripto digolongkan sebagai komoditas, yaitu semua barang, jasa, hak, dan kepentingan lainnya, dan setiap derivatif dari komoditas yang dapat diperdagangkan dan menjadi subyek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan/atau kontrak derivatif lainnya.
Apabila dicermati definisi tersebut, aset kripto sendiri lebih tepat untuk dikelompokkan sebagai komoditas karena memiliki derivatif-derivatif yang antar-derivatif berbeda karakteristiknya. Jadi, berbicara definisi, pengaturan yang telah ada lebih menggambarkan aset kripto itu sendiri.
Namun, saat ini perdagangan aset kripto tengah berada pada fase ”musim gugur”, bahkan ”musim dingin”.
Kekeliruan baru
Batu uji kedua adalah apakah BI dan OJK ”rumah regulasi dan pengawasan” yang tepat untuk aset kripto atau hanya terbatas pada mata uang kripto?
Apabila merujuk pada ketentuan yang mengatur BI dan OJK, tujuan BI adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah, sedangkan fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Mengacu pada pengaturan yang ada, apabila ”rumah regulasi dan pengawasan” aset kripto berpindah dari Bappebti ke BI dan OJK, tidaklah tepat kecuali RUU P2SK menjelaskan bahwa aset kripto yang dimaksud hanya terbatas pada mata uang kripto.
Menjadi tidak relevan bagi BI dan OJK untuk turut campur pada pengaturan dan pengawasan cakupan aset kripto lainnya yang tak terkait dengan ekosistem keuangan digital.
Hal ini berbeda dengan Bappebti sebagai lembaga pemerintah yang melakukan pembinaan, pengaturan, pengembangan, dan pengawasan perdagangan berjangka yang saat ini mencakup aset kripto juga.
Dari dua batu uji tersebut di atas jelas bahwa penggunaan diksi aset kripto pada RUU P2SK justru menciptakan kekeliruan baru dalam penataan regulasi aset kripto di Indonesia.
Oleh karena itu, apabila model penataan regulasi aset kripto demikian tidak dibenahi, bukan tidak mungkin fase ”musim dingin” pasar aset kripto akan berubah menjadi ”musim dingin” penataan regulasi aset kripto.
Kristianus Jimy Pratama Peneliti Center for Law, Technology, RegTech & LegalTech Studies UGM