Tanjakan Sejarah
Salah satu tugas mulia Presiden adalah menyelenggarakan pemilu berkualitas, jujur, adil, dan transparan. Agar kereta besar Indonesia bisa lulus menaiki tanjakan sejarah sehingga pada usia seabad nanti bisa berdiri tegak.
Sejak tiga dasawarsa terakhir, negara-negara maju di Barat yang juga dikenal sebagai model demokrasi modern semakin merasakan berkembangnya kemajemukan warganya dari sisi etnis, bahasa, dan agama. Hal itu terutama dipicu arus imigrasi.
Pluralitas identitas etnis, yang semula menjadi kebanggaan sebagai negara demokrasi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal, oleh beberapa kelompok disikapi secara negatif sehingga membangkitkan sentimen ultranasionalis yang antiimigran kulit berwarna. Para imigran kulit berwarna ini menuntut hak yang sama, baik sebagai sesama manusia maupun sebagai warga negara yang sah.
Namun, dalam waktu yang sama, identitas etnis, budaya, dan bahasa kian mengemuka sehingga menimbulkan pengelompokan dan segregasi sosial. Perkembangan teknologi digital membuka ruang kebebasan bagi siapa pun untuk menyampaikan aspirasi dan mengenalkan identitas diri dan kelompoknya. Situasi ini juga kian mendorong munculnya politik identitas di beberapa negara, masing-masing memperjuangkan pengakuan politik (political recognition) yang dikaitkan dengan harga diri (dignity).
Yasha Mounk dalam The Great Experiment: Why Diverse Democracies Fall Apart and How They Can Endure (2022) mengingatkan, pluralitas etnis jika tidak diantisipasi dan disikapi dengan bijak akan melahirkan benturan-benturan sosial politik yang akan menghambat kemajuan sebuah bangsa dan negara.
Baca juga : Turbulensi Politik 2023
Baca juga : Politik Identitas dan Keadaban Publik
Ketika muncul ancaman yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan krisis ekonomi akibat perang, tokoh-tokoh perdamaian meneriakkan perlunya membangun kesadaran dan persaudaraan baru berdasarkan identitas bersama (common identity) sebagai penduduk planet Bumi yang sama, matahari yang sama, dan makhluk Tuhan yang sama.
Akan tetapi, teriakan itu sering dipandang sebagai pandangan utopis dan romantis mengingat konflik dan perebutan sumber daya alam serta persaingan kekuasaan yang muncul dari perbedaan etnis, agama, dan bangsa mudah melupakan persamaan dan solidaritas kemanusiaan.
Keberagaman model Indonesia
Sekitar lima dekade lalu, tulis Yascha Mounk, kalau kita bertanya kepada penduduk Stockholm, Vienna, atau Tokyo, siapa yang disebut warga negara, jawaban yang muncul adalah mereka yang berbicara dengan bahasa yang sama, bahasa warisan nenek moyang mereka. Jadi, bahasa merupakan identitas dan pengikat nasionalitas sebuah bangsa.
Namun, saat ini homogenitas etnis dan bahasa bagi sebuah negara sulit dipertahankan. Di AS, misalnya, terdapat sekian banyak komunitas imigran yang berbicara dengan bahasa asalnya. Banyak orang China di AS yang tidak bisa berbahasa Inggris. Begitu pun di Jerman, Perancis, dan Inggris, banyak warga imigran yang tetap menjaga bahasa, tradisi, dan agama leluhurnya. Implikasi lebih lanjut, kelompok etnis ini cenderung bersikap eksklusif, enggan, dan sulit melebur ke dalam kelompok mayoritas atau arus utama (mainstream).
Dari sekian bangsa yang majemuk dari aspek suku, bahasa, dan agama, Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang mestinya bisa dijadikan model dan kontribusi pada masyarakat dunia. Sejak awal negara ini didirikan, masyarakat Nusantara sudah majemuk dan kemajemukan itu disikapi secara positif, dipandang sebagai modal sosial yang mesti dirawat sehingga muncul moto: Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan etnis itu, masing-masing memiliki kearifan lokal (local wisdom) sangat tinggi yang jadi fondasi kohesi sosial, sekaligus memperkaya peradaban Indonesia.
Sayangnya, modal sosial yang sangat kaya ini tergerogoti oleh berbagai faktor baru, antara lain oleh deru modernisasi yang kapitalistik dan perilaku politisi yang manipulatif untuk kepentingan kelompoknya semata untuk meraih jabatan politik sesaat dengan memperdaya simbol-simbol agama.
Pluralitas sosial yang tumbuh dan terbentuk di Indonesia sangat jauh berbeda dari yang berkembang di negara- negara Barat. Realitas sosial bangsa Indonesia sudah plural sejak zaman pra- kemerdekaan dan pluralitas ini justru merupakan semacam DNA bangsa ini sehingga untuk jadi warga Indonesia mereka tidak perlu melakukan imigrasi seperti yang terjadi di negara Barat.
Mungkin yang termasuk imigran adalah kelompok etnis Arab dan China yang kemudian melebur jadi warga dan bangsa Indonesia. Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah apakah yang menjadi pengikat bangsa dan masyarakat Indonesia yang sangat plural ini?
Pluralitas sosial yang tumbuh dan terbentuk di Indonesia sangat jauh berbeda dari yang berkembang di negara- negara Barat.
Salah satunya pengalaman dan ingatan kolektif betapa pahitnya hidup di bawah penjajahan. Ingatan kolektif ini kemudian memunculkan dorongan kuat untuk memiliki negara bangsa yang berdaulat, sejahtera, adil, dan makmur. Cita- cita historis yang mulia ini mesti ditu- runkan dari generasi ke generasi sebagai janji kemerdekaan dan pengikat keindo nesiaan yang secara filosofis dan konstitusional dirumuskan ke dalam Pancasila. Ibarat rumah besar, Pancasila ini sebagai fondasi yang menyangga bangunan Indonesia yang sangat plural masyarakatnya. Pintu, jendela, dan ornamen rumah boleh diganti. Namun, jika fondasi dibongkar, bangunan akan roboh. Tak akan ada lagi negara yang bernama Indonesia.
Mengapa republik
Pengertian paling populer dari sebuah negara ”republik” adalah pemerintahnya dipilih dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Kaidah yang baku ini menjadi fondasi dan acuan untuk melihat proses dan aktualisasi politik sebuah negara yang menganut sistem republik, termasuk Indonesia. Dipilihnya sistem republik bagi Indonesia bukan karena desakan dan pengaruh negara Barat yang telah lebih dahulu mempraktikkannya.
Sistem ini dipilih berangkat dari kondisi obyektif dan perjalanan panjang masyarakat Nusantara yang pernah hidup menderita di bawah penjajah asing dan hidup di bawah kendali kerajaan yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara.
Dengan kata lain, dulu pemerintahan yang muncul bukan dipilih oleh rakyat dan kekayaan alamnya pun bukan kembali untuk rakyat, melainkan diangkut keluar oleh kekuatan asing dan untuk melayani sekelompok penguasa.
Ketika para sultan dan penguasa daerah sepakat mendukung pembentukan Negara Republik Indonesia, ini sebuah keputusan besar yang visioner dan keluar dari jiwa besar mereka yang disertai keyakinan dan harapan besar agar negara baru yang dibentuk dengan menerapkan sistem ”re-publik” ini benar-benar pemerintahannya menempatkan kepentingan publik sebagai tujuan utamanya. Semua kekayaan alam dan hasil pembangunan harus kembali ke publik, dinikmati oleh publik yang sangat majemuk dan tersebar di ratusan pulau Nusantara, karena hakikatnya mereka pemilik negara ini.
Setelah 75 tahun merdeka, janji dan cita-cita kemedekaan ini mendesak untuk digaungkan kembali agar siapa pun yang memegang kekuasaan negara dan pemerintahan tidak terjatuh sebagai pengkhianat amanat kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh rakyat dalam rentang waktu ratusan tahun.
Jadi, kata ”republik” yang melekat pada sistem negara kita memiliki muatan amanat agung yang mengkristal dari sebuah perjuangan panjang yang berdarah-darah untuk memiliki negara merdeka yang adil, sejahtera, dan untuk menyelamatkan kekayaan alam Indonesia dari pemerasan negara asing dengan berbagai cara dan bentuknya.
Kita berharap pada Presiden Joko Widodo bisa meletakkan fondasi kuat untuk kemajuan Indonesia ke depan agar semakin mendekati cita-cita dan amanat kemerdekaan.
Mendaki tanjakan sejarah
Sebuah negara besar mesti dinavigasi oleh pikiran besar dan infrastruktur yang kuat. Ibarat kendaraan besar, jalan ke depan yang mau ditempuh oleh bangsa ini dihadang oleh tanjakan naik dan kadang berliku. Jika Indonesia diibaratkan kereta api dengan gerbong yang besar dan panjang, ketika jalan menanjak, sementara kapasitas lokomotif dan masinisnya tak seimbang dengan beban gerbong yang tengah ditarik, maka kereta justru akan terseret mundur ke belakang atau terjungkal.
Demikianlah, kita memasuki dekade peralihan generasi menuju seabad Republik Indonesia. Namun, kondisi politik dan ekonomi dunia tampak suram. Sementara itu, partai politik yang menjadi aktor dan pilar tegaknya demokrasi kondisinya tidak baik-baik saja. Begitu pun lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk kepolisian Republik Indonesia, prestasinya kurang membanggakan.
Kita berharap pada Presiden Joko Widodo bisa meletakkan fondasi kuat untuk kemajuan Indonesia ke depan agar semakin mendekati cita-cita dan amanat kemerdekaan. Salah satu tugas mulia Presiden adalah menyelenggarakan pemilu berkualitas, jujur, adil, dan transparan sehingga bisa menghasilkan wakil rakyat dan presiden baru yang benar-benar mengabdi untuk rakyat.
Agar kereta besar Indonesia bisa lulus menaiki tanjakan sejarah sehingga pada usia seabad nanti bisa berdiri tegak masuk dalam jajaran lima besar negara maju di dunia yang kemakmurannya dirasakan oleh rakyat secara merata, bukan oleh sekelompok golongan saja. Ingat, rakyat mendukung berdirinya republik itu pesan abadinya agar kemajuan Indonesia kembali ke publik dan dinikmati oleh publik.
Komaruddin Hidayat Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)