Bukankah BPOM bertugas mengawasi produksi dan peredaran obat? Apakah BPOM tidak bertindak proaktif memeriksa obat yang beredar untuk memenuhi standar dan persyaratan mutu, keamanan, khasiat, manfaat, dan mutu?
Oleh
Pangeran Toba P Hasibuan
·3 menit baca
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM Penny K Lukito seusai bertemu denganJaksa Agung ST Burhanuddin di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Rabu (16/11/2022).
Gangguan ginjal akut menelan korban jiwa hampir 200 anak. Kasus diduga akibat obat sirop dengan kandungan etilen glikol dan dietilen glikol melebihi batas aman.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan, cemaran etilen glikol dan dietilen glikol mencapai 52-90 persen yang seharusnya hanya 0,1 persen. Penyelidikan saat ini masih berlangsung sehingga masyarakat diimbau tidak mengonsumsi obat sirop dulu (Kompas, 10/10/2022).
Publik melihat penanganan kasus belum menyentuh akar persoalan, memunculkan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah kita memiliki BPOM yang khusus mengawasi obat? Mengapa ada anak yang tidak mengalami gejala meski mengonsumsi obat sirop yang tercemar? Sebaliknya, mengapa ada korban meninggal dengan gejala sama meski tidak mengonsumsi obat yang dimaksud?
Menteri Kesehatan sebagai pemangku kebijakan muncul di publik, memberikan penjelasan sangat terbatas, melalui wawancara doorstop. Sebaliknya, BPOM bersikap lebih reaktif ”membela diri” dengan menunjuk industri farmasi yang harus bertanggung jawab.
Menurut Ketua BPOM, industri farmasi sebagai pemegang izin produksi dan izin edar obat wajib memantau khasiat, keamanan dan mutu obat, kemudian melaporkan hasilnya ke BPOM (Kompas, 18/11/2022). Publik pun bingung dengan pernyataan tersebut.
Bukankah BPOM bertugas mengawasi produksi dan peredaran obat? Apakah BPOM tidak bertindak proaktif memeriksa obat yang beredar untuk memenuhi standar dan persyaratan mutu, keamanan, khasiat, manfaat, dan mutu sesuai Perpres No 80/2017 Pasal 3?
Komunikasi publik pejabat tampaknya perlu ditingkatkan. Dalam beberapa kasus besar, pejabat lebih banyak tampil dalam kejadian yang menggembirakan saja. Seyogianya pemangku kebijakan tampil dalam kejadian yang tidak menggembirakan, meminta maaf atas yang terjadi, dan menginformasikan apa langkah selanjutnya.
Meskipun keluarga korban pasrah anaknya tiada, tetap perlu ada pertanggungjawaban, mengapa membeli obat resmi di tempat resmi bisa berdampak fatal?
Pangeran Toba P HasibuanSei Bengawan, Medan 20121
Klaim Asuransi
Kami pemilik polis Prudential nomor 33237469 sejak tahun 2009. Setelah melahirkan anak ke-3, Maret 2021, istri saya sering mengeluh sakit kepala dan badan tidak fit.
Akhirnya opname di RS Siloam Medan, 11 November 2021, dirawat dr MT, SpS. Diagnosis sakit kepala akibat kelelahan pascamelahirkan.
Sebelumnya, setelah berkas klaim dilengkapi, dalam dua minggu manfaat opname sudah dibayarkan. Kali ini Prudential minta riwayat pengobatan epilepsi di klinik rawat jalan Dr IB, SpS tahun 2016. Sudah sembuh 2018.
Prudential terus meminta rekam medis dari klinik Dr IB, SpS sebagai syarat proses klaim walaupun kami sudah menyatakan keberatan karena itu melanggar Permenkes 269 Tahun 2008 Pasal 9 bahwa rekam medis di klinik rawat jalan hanya bisa disimpan selama dua tahun.
Setelah kami lengkapi, datang surat balasan dari Prudential, 8 September 2022. Isinya, opname sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari epilepsi tidak ditanggung dan memaksa kami menyetujui syarat tersebut sebelum 6 Oktober 2022 untuk melanjutkan proses klaim.
Diagnosis rawat inap tidak berhubungan dengan penyakit terdahulu. Hal ini diperkuat surat keterangan dari dr MT, SpS yang menyebutkan, sakit kepala istri murni akibat keletihan fisik, bukan epilepsi.
Sudah lewat sebulan, tidak ada kabar dari Prudential. Sesuai UU, perusahaan asuransi wajib membayar klaim 30 hari sejak ada kesepakatan sesuai Pasal 40 Ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 69/POJK.05/201627.