Alhasil, kekuasaan model ini tidak hanya hidup di kalangan penguasa, tetapi sebagai konsep juga hidup di benak yang dikuasai. Pihak yang dikuasai ini, diupah atau tidak, mengeroyok siapa saja yang menggugat penguasa.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
DIDIE SW
.
”Sindrom Mataram”. Telah dipakai berulang kali, termasuk dalam kajian akademis, istilah sindrom Mataram bagi saya tidak lain hanya berasosiasi pada kekuasaan yang mutlak, tak memberi celah setitik pun pada negasi terhadapnya. Pemikiran dasarnya adalah penguasa mengemban kekuasaan semata-mata karena yang bersangkutan memiliki kekuasaan tersebut—yang bisa jadi diperoleh dari langit—oleh karenanya harus disembah-sembah, tidak boleh dicela, apa pun yang mereka lakukan dalam bahasa medsos dikomentari ”top”, ”mantul”, ”oye”.
Benedict Anderson melalui esai klasiknya yang terkenal, ”The Idea of Power in Javanese Culture” dalam buku Language and Power (Cornell University, 1990) menguraikan beberapa ciri kekuasaan semacam itu. Berbeda dibandingkan konsep kekuasaan modern (Eropa), kekuasaan yang ini memiliki ciri, antara lain, bahwa kekuasaan tersebut sifatnya konkret, sumbernya homogen, jumlah atau entitasnya dalam alam semesta tetap, serta tak mempersoalkan keabsahan.
Gampangnya, bagi mereka yang kurang familiar dengan political sciences, penguasa seperti itu mendapatkan mandatnya bukan berdasar kontrak sosial, melainkan laku dirinya yang memang hebat, orang baik, sederhana, mungkin juga gemar puasa, jarang tidur, punya keris sakti, dan seterusnya. Dalam pengertian modern, Anderson membandingkan dengan pengertian Max Weber tentang karisma.
Alhasil, kekuasaan model ini tidak hanya hidup di kalangan penguasa, tetapi sebagai konsep juga hidup di benak yang dikuasai. Pihak yang dikuasai ini, diupah atau tidak diupah, mengeroyok siapa saja yang menggugat penguasa. Mereka seperti gerombolan raseksa-raseksi, buta lanang-buta wedok dari Alas Purwa menyerang individu yang berjalan masuk hutan sendirian. Otonomi individu dilibas kalau tidak oleh kekuasaan negara, ya agama.
Bagi para pendukung dan pemuja, penguasa mereka adalah penguasa nan murbeng wisesa anyakrawati (artinya penguasa dunia). Bukan hanya satu, dua, atau dua puluh negara, bahkan pimpinan seribu negara telah tunduk (raja sewu negara nungkul).
Dalam relasi antara penguasa dan yang dikuasai seperti digambarkan di atas, alangkah mulia dan agung kekuasaan. Kekuasaan semata-mata dicurigai sebagai serba baik, mengayomi, memikirkan kepentingan rakyat berabad-abad ke depan, meski karpetnya tak boleh diinjak kaki rakyat yang berlumpur, dan berjemur seribu hari di depan istana belum tentu kalian disapa. Tak ada prasangka bahwa kekuasaan sejatinya cenderung korup dan manipulatif.
Tentang manipulasi ini ada istilah yang tak kalah terkenal, yakni Potemkin Village (Desa Potemkin). Istilah itu merupakan alegori dalam kajian politik-ekonomi, tentang penguasa Rusia bernama Grigory Potemkin yang mencoba membenahi desanya tatkala kaisar dan para tamu negara hendak mengunjungi desanya.
Dengan papan-papan besar bergambar lukisan desa yang tertata, indah, dahsyat, ia tutupi keadaan desa yang sebenarnya kusut, miskin, amburadul. Papan dipasang di sepanjang jalan yang hendak dilewati kaisar dan para tamu agung.
Ya, bisa dibayangkan repotnya Grigory Potemkin. Andaikata ia hidup pada zaman ini, niscaya dia tak perlu repot-repot mengerahkan para pelukis realis, menggerakkan pasukan untuk memindah-mindahkan papan yang hendak dilalui rombongan kaisar untuk menutupi kenyataan gembel desanya. Pada era ini tersedia teknologi digital yang kita puja-puja bak berhala. Jangankan memoles wajah desa, bahkan desa, kota, ibu kota yang belum ada bisa terlihat ada, lebih nyata daripada yang nyata. Namanya metaverse. Silakan yang hendak pindah, mumpung harga belum naik.
Istilah-istilah di atas, seperti sindrom Mataram, digunakan semata-mata karena dekat dengan kita, untuk memudahkan kita berasosiasi. Secara historis, kekuasaan Mataram ataupun kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa kuno lainnya pada kenyataannya tidaklah sepi dari perlawanan.
Sebutlah Ken Arok, Rangga Lawe, Arya Panangsang, Trunajaya, Ki Ageng Mangir, dan lain-lain. Masing-masing melakukan perlawanan terhadap Kediri, Majapahit, Pajang, dan seterusnya. Mau bagaimanapun sejarah memosisikannya, mereka dicintai rakyat di daerah masing-masing sampai sekarang.
Selain menggemari Guns N Roses, terutama lagunya ”November Rain” dan ”Sweet Child O’ Mine”, terus terang saya bersimpati pada nama-nama yang saya sebut tadi, yang bukan penggembira kekuasaan, sebaliknya berani bilang tidak terhadap kekuasaan.