logo Kompas.id
OpiniMenggagas Sindrom Mataram dan ...
Iklan

Menggagas Sindrom Mataram dan Desa Potemkin

Alhasil, kekuasaan model ini tidak hanya hidup di kalangan penguasa, tetapi sebagai konsep juga hidup di benak yang dikuasai. Pihak yang dikuasai ini, diupah atau tidak, mengeroyok siapa saja yang menggugat penguasa.

Oleh
Bre Redana
· 3 menit baca
.
DIDIE SW

.

”Sindrom Mataram”. Telah dipakai berulang kali, termasuk dalam kajian akademis, istilah sindrom Mataram bagi saya tidak lain hanya berasosiasi pada kekuasaan yang mutlak, tak memberi celah setitik pun pada negasi terhadapnya. Pemikiran dasarnya adalah penguasa mengemban kekuasaan semata-mata karena yang bersangkutan memiliki kekuasaan tersebut—yang bisa jadi diperoleh dari langit—oleh karenanya harus disembah-sembah, tidak boleh dicela, apa pun yang mereka lakukan dalam bahasa medsos dikomentari ”top”, ”mantul”, ”oye”.

Benedict Anderson melalui esai klasiknya yang terkenal, ”The Idea of Power in Javanese Culture” dalam buku Language and Power (Cornell University, 1990) menguraikan beberapa ciri kekuasaan semacam itu. Berbeda dibandingkan konsep kekuasaan modern (Eropa), kekuasaan yang ini memiliki ciri, antara lain, bahwa kekuasaan tersebut sifatnya konkret, sumbernya homogen, jumlah atau entitasnya dalam alam semesta tetap, serta tak mempersoalkan keabsahan.

Editor:
DAHONO FITRIANTO
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699