Tiada partai atau koalisi meraih kursi mayoritas di parlemen hasil pemilu di Malaysia. Butuh kelenturan berpolitik tanpa mengorbankan kepentingan rakyat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hingga Senin (21/11/2022), karena tak ada partai atau koalisi yang mengumpulkan kursi mayoritas di parlemen, pemerintahan hasil pemilu belum bisa dibentuk. Dibutuhkan minimal 112 dari 222 kursi parlemen bagi partai atau koalisi untuk membentuk pemerintahan di negeri jiran itu.
Pakatan Harapan (PH), koalisi multietnis pimpinan Anwar Ibrahim, meraih kursi terbanyak, yakni 82 kursi. Menyusul di peringkat kedua, Perikatan Nasional (PN), aliansi Muslim Melayu berhaluan konservatif, dengan 73 kursi. Adapun blok Barisan Nasional (BN), yang dimotori Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), mendapatkan 30 kursi. Sisanya, Gabungan Parti Sarawak (22 kursi), partai-partai lain, dan calon perseorangan.
Perikatan Nasional pimpinan Muhyiddin Yassin mengklaim telah mengamankan dukungan koalisi partai lebih kecil dan mengumpulkan 101 kursi. Dari peta perolehan kursi, Anwar dan Muhyiddin bersaing ketat. Namun, mereka butuh dukungan koalisi lain, yakni Barisan Nasional.
Di sinilah negosiasi politik antarblok atau koalisi terjadi. Meski raihan kursinya lebih kecil, Barisan Nasional memegang kartu truf penentu siapa yang berhak membentuk pemerintahan dan menjadi perdana menteri (PM): Anwar atau Muhyiddin. Raja Malaysia Yang Dipertuan Agung XVI memperpanjang batas waktu negosiasi itu hingga Selasa siang ini.
Menarik mencermati bagaimana kubu Anwar menjajaki peluang koalisi dengan BN, yang didominasi UMNO. Lantaran butuh tambahan kursi, Anwar (75) yang lama mengidamkan jabatan PM berkompromi dengan lawan politik. Apakah akan tercapai persekutuan politik Anwar-UMNO adalah hal yang sama menariknya untuk dicermati. Selain faktor rivalitas, banyak perbedaan tentang platform politik mereka. Anwar berjanji, jika koalisi itu terwujud, ia tak akan mengorbankan kepentingan rakyat.
Namun, sambil menanti buah negosiasi politik itu, menarik pula untuk dicermati hasil perolehan kursi partai dan koalisinya. Perolehan kursi Partai Islam Se-Malaysia (PAS) yang berhaluan konservatif dengan 49 kursi dan Partai Aksi Demokrat (DAP) yang meraih 40 kursi—dua partai teratas dalam perolehan kursi—disebut pengamat sebagai ”babak baru politik” di Malaysia yang semakin terbelah dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Melejitnya perolehan kursi PAS, apalagi jika dikontraskan dengan raihan BN (30 kursi)—anjlok dari 79 kursi pada pemilu 2018—meminjam ungkapan Profesor James Chin, dosen Asian Studies di University of Tasmania, ”menggambarkan pergeseran mendasar dalam politik Malaysia”.
Ada yang menyebut hal itu menandai kebangkitan konservatisme politik negeri jiran. Namun, ada pula yang melihat sebagai protes pemilih terhadap BN, yang citranya tercoreng oleh skandal korupsi, dengan mengalihkan dukungan kepada PAS. Entah mana yang benar, sepertinya citra yang ternoda akibat korupsi yang dialami BN sulit dimaafkan rakyat Malaysia.