Indonesia harus menunjukkan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonomi. Berkomitmen menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon.
Oleh
KHALISAH KHALID
·4 menit baca
Komitmen Indonesia terkait aksi iklim telah disampaikan oleh Wakil Presiden RI yang memimpin delegasi Indonesia dalam pertemuan COP27 di Mesir.
Wapres menegaskan kembali komitmen global Indonesia untuk menaikkan kontribusi target penurunan emisi (Enhanced Nationally Determined Contribution) menjadi 31,89 persen dengan kemampuan sendiri, dan 43,20 persen dengan dukungan internasional, diselaraskan dengan kebijakan di dalam negeri sebagai bentuk implementasi atas komitmen itu.
Tantangan nasional
Pada COP27, loss and damage yang menjadi ancaman nyata bagi kehidupan makhluk bumi menjadi isu krusial yang dibahas, termasuk aspek pembiayaannya. Dengan tingkat bencana hidrometeorologi yang tinggi, Indonesia seharusnya bisa lebih keras bersuara untuk mendesak tanggung jawab negara-negara industri yang memiliki utang ekologis (ecological debt) terhadap negara-negara berkembang dan miskin.
Namun desakan itu tak bisa berjalan sendiri, tanpa adanya akselerasi yang progresif pada kebijakan dalam negeri. Terlebih tawaran yang disampaikan Wapres dalam pidatonya, masih didominasi solusi-solusi palsu (false solutions), yang justru akan kian menjebak Indonesia dalam lingkaran krisis iklim yang lebih parah.
Sebut saja B40 yang dikhawatirkan akan menaikkan potensi deforestasi guna pemenuhan produksi. Analisis Greenpeace menunjukkan biodiesel level blending 30 persen (B30) perlu 5,2 juta hektar (ha) lahan di atas 16 juta ha perkebunan sawit yang sudah ada. Jika menggunakan skenario tambahan blending 50 persen (B40-B50), maka defisit CPO mencapai 100 juta ton, dan butuh tambahan lahan sekitar 9 juta ha di 2025.
Ini belum dilihat dampak buruk lainnya seperti pelanggaran terhadap HAM. Solusi ini justru akan terus menjebak kita dalam perangkap ekonomi yang rentan krisis iklim dan krisis global lainnya. Padahal deforestasi yang menyebabkan Indonesia masuk dalam negara penyumbang emisi besar di dunia.
Langkah menggenjot biodiesel B40 juga memiliki kerentanan lain secara ekonomi, yang mengakibatkan kerugian negara, karena membuka ruang penyelewengan dana pemulihan ekonomi pada subsidi minyak bumi dan kegiatan ekstensifikasi lahan bagi industri berbasis kelapa sawit atau biomassa.
Subsidi kembali akan dinikmati oleh polluters dan korporasi skala besar, sementara komunitas rakyat di tingkat akar rumput yang telah melahirkan beragam ekonomi alternatif atau ekonomi tanding yang berkeadilan dan berkelanjutan, kerap kali diabaikan.
Paradigma developmentalisme, ekstraktivisme, dan dominasi “gurita” oligarki menjadi warna yang kuat dalam kebijakan nasional.
Kepemimpinan Indonesia
Yang menarik dari COP27 adalah pada saat yang hampir bersamaan berlangsung penyelenggaraan KTT G20 di Bali. Sebagai forum global yang terpisah, COP27 dan G20 tak bisa dipisahkan satu sama lain. Terlebih G20 sebagai forum ekonomi, secara khusus membahas komitmen transisi energi sebagai salah satu problem krusial dari tantangan krisis iklim yang semakin nyata di depan mata.
Pada forum KTT G7 sebelumnya, G7 telah meluncurkan program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) untuk negara-negara berkembang, termasuk kolaborasi dengan Indonesia. Pendanaan ini diarahkan untuk mereformasi kebijakan energi dengan mendekarbonisasi sistem energi dan meningkatkan efisiensi energi.
Berbasiskan kesepakatan ini, Indonesia tak lagi bisa menunjukkan kepemimpinannya hanya dalam kata-kata, melainkan menjalankan janjinya untuk mengakhiri energi kotor.
Indonesia juga harus menunjukkan kepemimpinan dengan menegaskan dan mendorong lahirnya kesepakatan akselerasi transisi energi fosil ke energi bersih dan terbarukan yang berkeadilan, inklusif, dan demokratis dengan tata kelola yang baik dengan pelibatan partisipasi publik yang bermakna dan dibukanya ruang demokrasi.
Indonesia harus menunjukkan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonomi.
Sebagai presidensi G20, jika Indonesia ingin menunjukkan kepemimpinannya dalam percaturan politik ekonomi global dalam forum COP27 dan G20, maka selain desakan kepada para pemimpin negara anggota G20, Indonesia juga harus dapat menyelesaikan pekerjaan rumah dalam negerinya dengan tantangan yang tak kalah beratnya.
Indonesia harus menunjukkan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonomi. Berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu dan semu.
Dunia butuh demokratisasi energi, dan para pemimpin G20 tak bisa lagi menunda atau menawar kebijakan transisi energi yang berkeadilan. Kepemimpinan Indonesia diuji dari sejauh mana pemerintah bisa memastikan komitmen aksi iklim para pemimpin negara G20 disepakati dalam komunike yang akan dihasilkan G20 dan pada akhirnya diimplementasikan. Tentu ini tidak mudah, mengingat sebelumnya komunike transisi energi gagal disepakati.
Jared Diamond dalam Collapse, telah menuliskan dengan sangat baik dan semakin relevan dengan tantangan global saat ini, bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kelestarian dan keruntuhan peradaban-peradaban dunia, di antaranya kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim.
Khalisah Khalid Public Engagement & Action Manager Greenpeace Indonesia