Aktivitas ekonomi kelautan menggunakan bahan bakar fosil memicu melonjaknya emisi gas rumah kaca. Indonesia mesti mengembangkan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim “genuine” Indonesia untuk aktivitas kelautan.
Oleh
MUHAMAD KARIM
·5 menit baca
Pada 6-18 November 2022 berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of the Parties/COP) 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. KTT ini membahas beragam agenda dan mengukuhkan komitemen semua negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (EGRK)-nya hingga 2030.
Apakah perhelatan tersebut bakal menghasilkan keputusan memuaskan atau sebaliknya bergantung hasil negosiasi? Penulis mengikuti KTT tersebut lewat media digital, nyaris semua negara berkembang dan sedang berkembang kesannya meminta uluran tangan negara maju. Skemanya bisa utang, surat utang, atau mengonversi utang dengan sumberdaya alam (debt-for-nature swap) lewat konservasi.
Penulis menyoroti kontribusi sektor kelautan terhadap EGRK di atmosfir. Selama ini kita tak menyadari bahwa penangkapan ikan, budidaya perikanan, dan tranportasi laut menggunakan bahan bakar fosil berkontribusi menaikkan EGRK. Karena itu, berbagai negara saat ini memikirkan cara efektif mengurangi EGRK sektor kelautan. Apa saja aktivitas kelautan sebagai sumber EGRK?
Aktivitas ekonomi kelautan pemicu melonjaknya EGRK, pertama, Parker et al, (2018) menemukan bahwa tahun 2011 total pendaratan ikan di dunia mencapai 80 juta ton. Proses penangkapan ikan menghabiskan 40 miliar liter bahan bakar dan memproduksi 179 juta ton CO2 ekuivalen gas rumah kaca ke atmosfer. Konversi per kg ikan dan invertebrata setara 2,2 kg CO2. Negara pemilik armanda dan penyumbang emisi terbesar adalah China, Indonesia, Vietnam, Amerika Serikat, dan Jepang.
Kedua, Greer et al (2019) mengalisis total emisi CO2 dan intensitas emisi (emisi CO2 per unit tangkapan) akibat pembakaran BBM dalam sektor perikanan laut secara global. Lalu, mereka bandingkan dengan intensitas penggunaan BBM secara regional tahun 2011 menggunakan data time series 1950-2016. Hasilnya, pada 2016 industri perikanan memproduksi total emisi CO2 159 juta ton, nyaris empat kali lipat dibandingkan pada 1950 yang sebesar 39 juta ton. Sebaliknya, perikanan skala kecil memproduksi emisi CO2 48 juta ton pada 2016 dan hanya 8 juta ton (16,7 persen) pada 1950.
Pada 2016 industri perikanan memproduksi total emisi CO2 159 juta ton, nyaris empat kali lipat dibandingkan pada 1950 yang sebesar 39 juta ton.
Perkiraan intensitas emisi CO2 dari industri perikanan 2,0 ton CO2 per unit tangkapan (tcatch−1) tahun 2016. Sedangkan, perikanan skala kecil intensitas emisi CO2-nya 1,8 ton CO2 per unit tangkapan (tcatch−1). Penelitian tahun 2011 dengan metode berbeda, perkiraan emisi CO2 global dari perikanan tangkap mencapai 112 juta ton.
Fakta ini membuktikan bahwa perikanan skala industri memproduksi emisi CO2 lebih besar ketimbang perikanan skala kecil selama 66 tahun (1950-2016). Perikanan industri melonjak emisi CO2-nya selama 66 tahun sebesar 120 ton sedangkan perikanan skala kecil sebesar 40 juta ton (33 persen).
Ketiga, transportasi laut. Studi International Maritime Organization (IMO) keempat (2020) memperkirakan EGRK dari total pengiriman lewat transportasi laut melonjak dari 977 juta ton (2012) menjadi 1.076 juta ton (2018) atau naik 9,6 persen. Pemicunya yaitu meningkatnya perdagangan maritim global secara berkelanjutan. Konsekuensinya, pangsa emisi pengiriman dalam EGRK antropogenik global juga melonjak dari 2,76 persen (2012) menjadi 2,89 persen (2018) (Cullinane & Yang 2022).
Keempat, secara global akuakultur menyumbang sekitar 0,49 persen dari EGRK antropogenik tahun 2017, nilainya setara dengan emisi produksi domba (MacLeod, 2020). China adalah negara produsen perikanan budidaya terbesar di dunia dengan kontribusi 57,93 persen tahun 2018 dan 62,77 persen tahun 2020 (FAO, 2020, 2022). Menariknya, riset Xu et al (2022) yang menghitung jejak karbon perikanan budidaya darat dan laut China menemukan bahwa total EGRK-nya mencapai 112 Mt setara 109 kg CO2.
Kelima, salah satu armada perikanan komersial dunia paling besar ialah penangkapan tuna lepas pantai di Samudera Hindia. Tahun 2009, konsumsi BBM-nya sebesar 2,5 Mt dan memproduksi 9 Mt EGRK setara 9 juta kg CO2. Nilainya menyumbang 4,5-5 persen emisi armada penangkapan ikan global. Sebagian besar teknologi penangkapannya mengoperasikan kapal purse seine. Sepanjang 2015-2019 saja mengkonsumsi BBM sekitar 160.000 ton dan menghasilkan EGRK 590.000 ton setara CO2 setiap tahunnya (Chassot et al, 2021).
Di arena forum KTT perubahan iklim, Indonesia telah berkomitmen mengurangi EGRK sebesar 29 persen (mandiri tanpa syarat) dan 41 persen (dukungan internasional) hingga 2030. Faktanya, pembangunan kelautannya menampilkan wajah sebaliknya.
Pertama, Indonesia justru mengusung kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota di wilayah pengelolaan perikananannya dan pertambakan intensif ala shrimp estate. Keduanya dipayung paradigma ekonomi biru (blue economy). Padahal sejatinya ekonomi berbasis utang dengan instumen pendanaan biru (blue finance) dan surat utang (blue bond). Kebijakan ini pun berorientasi industrialisasi perikanan komersial boros BBM dan memproduksi emisi CO2. Intinya, perikanan skala kecil terpinggirkan.
Indonesia justru mengusung kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota di wilayah pengelolaan perikananannya dan pertambakan intensif ala shrimp estate.
Kedua, ekstraksi tambang dan perampasan lahan di pulau kecil marak. Hal ini mengancam flora dan fauna endemik, sumber mata air, dan merampas sumber kehidupan rakyatnya. Contoh, Pulau Sangihe, Wawoni, dan Pulau Pari. Ketiga, konversi hutan mangrove di Pulau Bali untuk terminal LNG. Keempat, lahirnya PP No 27/2021, turunan UU Cipta Kerja No 11/2020 memperbolehkan mengubah zona inti kawasan konservasi menjadi pemanfataan strategis nasional.
Kelima, akibat kenaikan permukaan air laut lebih 12.000 desa pesisir Indonesia terancam tenggelam. Sepanjang 2017-2020 lebih dari 5.416 desa pesisir tenggelam akibat banjir rob (Ridwanuddin, 2022).
Sekelumit fakta tersebut menimbulkan pertanyaan apakah kita hendak mengurangi EGRK atau sebalilknya?
Paradigma alternatif
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mestinya mengembangkan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim “genuine” Indonesia untuk aktivitas kelautan. Indonesia tak bisa hanya membebek agenda-agenda neoliberal lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia dan ADB) dan NGO internasional yang menyediakan utang konservasi, investasi berlabel biru (blue investment), hingga konservasi utang berbasis sumber daya alam.
Penulis mengusulkan Indonesia mengkonstruksi model-model kearifan lokal Indonesia berbasis adat, budaya, agama, dan pengetahuan lokal dengan paradigma alternatif yang berkembang di berbagai belahan dunia. Diantaranya, pertama, keadilan biru (bue justice) sebagai model “governability” lewat mekanisme pengembangan kelembagaan (right institutions) transdisiplin/terintegrasi, partisipatif, dan holistik (Jentoft, 2022).
Kedua, komunitas biru (blue communities) yang mendahulukan kesejahteraan, keadilan sosial, dan ekologi ketimbang pertumbuhan ekonomi. Ketiga, degrowth biru mengoreksi kegagalan pertumbuhan dalam menciptakan kesejahteraan, keadilan, sekaligus keberlanjutan sumberdaya alam dan ekologinya (Ertör & Hadjimichael, 2020). Keempat, ekonomi donat (doughnut economics) yang memfokuskan proses regeneratif dan keadilan distributif dalam pengelolaan sumberdaya kelautan.
Intinya, pokok kesejahteraan sosial dan batas ekologi planet bumi tak boleh dilampaui siapa pun hingga di antara keduanya tercipta ruang aman dan adil buat penghuninya (Raworth 2012). Hal ini akan melahirkan model mitigasi dan adaptasi perubahan iklim “hybrid” khas Indonesia tanpa utang, beresilensi tinggi hingga mampu mengatasi krisis ekologi.
Muhamad Karim, Dosen Universitas Trilogi; Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim