Penyempitan ruang sipil saat ini berisiko berdampak kepada gerakan advokasi lingkungan di Indonesia. Ini juga berpotensi menghasilkan "chilling effect", masyarakat enggan mengemukakan pendapat.
Oleh
JUSTITO ADIPRASETIO
·5 menit baca
Penghadangan tim pesepeda Chasing the Shadow Greenpeace merupakan rambu-rambu bahaya bagi demokrasi kita. Ancaman terhadap aktivitas kampanye tersebut beresonansi dengan berbagai gejala penyempitan ruang sipil (shrinking civic space) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pencekalan beberapa akademisi usai menulis artikel tentang konservasi orangutan, kriminalisasi aktivis karena kritik terhadap pemerintah, serta berbagai ancaman digital merupakan bentuk upaya untuk mengebiri advokasi terhadap isu lingkungan di ruang sipil.
Studi Scheidel dkk (2020), Environmental conflict and defenders: A global overview menunjukkan bahwa para aktivis lingkungan yang berurusan dengan sektor lingkungan cenderung berhadapan dengan tingkat intimidasi, pencekalan, dan bahkan kriminalisasi. Hal ini disebabkan permasalahan lingkungan selalu berkaitan dengan sektor sumberdaya alam. Dalam sektor ini terdapat ketidakseimbangan antara kendali kuat kelompok oligarkis yang mengakumulasi kekuasaan secara multi-sektor dengan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan.
Ancaman terhadap aktivis lingkungan juga bekerja melalui berbagai pasal, di mana pencemaran nama baik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi senjata yang paling sering digunakan. UU ITE misalnya, sempat digunakan untuk membendung kritik keras Greenpeace terhadap praktik deforestasi kepada pemerintahan Presiden Jokowi.
Ancaman terhadap aktivis lingkungan dan akademisi berpotensi menghasilkan chilling effect, efek yang menyebabkan masyarakat enggan mengemukakan pendapat dan melakukan tindak penyensoran diri.
Tak sedikit aktivis lingkungan dengan berbagai latar belakang yang pernah merasakan digertak dengan tuntutan pasal yang tersemat dalam UU ITE, seperti yang dialami oleh aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti pada awal 2022. Aturan tersebut acapkali difungsikan sebagai orang-orangan sawah untuk menakut-nakuti mereka yang lantang bersuara pada sektor sumber daya dan lingkungan.
Ancaman terhadap aktivis lingkungan dan akademisi berpotensi menghasilkan chilling effect, efek yang menyebabkan masyarakat enggan mengemukakan pendapat dan melakukan tindak penyensoran diri (self-censorship). Hal yang akan menghambat diskusi dan debat publik terkait berbagai permasalahan lingkungan hidup yang kita hadapi.
Pelanggaran HAM
Lokataru Foundation dalam laporan komparatif yang dikeluarkan pada 2021 terkait penyempitan ruang sipil di Indonesia dan Thailand menyebutkan bahwa ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berasosiasi menempati peringkat pertama pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Penangkapan demonstran RUU Omnibus Law yang memuat UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), penangkapan warga penolak tambang, persekusi terhadap masyarakat adat, kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga Wadas, Jawa Tengah adalah contoh bagaimana upaya penyempitan terhadap ruang sipil terkait isu lingkungan terjadi secara eskalatif.
Tidak hanya itu, ancaman terhadap ruang sipil juga melebar pada ekosistem digital, yang menjadi ekstensifikasi dari ruang sipil. Selain dengan mengandalkan klausul pencemaran nama baik melalui UU ITE, teknik represi lain dilakukan untuk menghantam mereka yang lantang bersuara, seperti penyadapan terhadap pimpinan organisasi masyarakat sipil lingkungan juga serangan siber berupa peniruan akun (impersonation) dan pengumbaran identitas (doxing).
Ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berasosiasi menempati peringkat pertama pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Setidaknya terdapat tiga indikator untuk mengukur kebebasan ruang sipil menurut studi Giada Negro dan Filip Pazderski (2021) yaitu: lingkungan pengaturan terkait ruang masyarakat sipil, hak untuk berpartisipasi, dan ruang yang aman untuk masyarakat sipil. Pada praktiknya, setiap ancaman terhadap ruang sipil, tidak pernah benar-benar mengarah pada satu elemen saja. Apa yang menimpa aktivis, organisasi masyarakat sipil lingkungan dan elemen masyarakat di akar rumput menunjukkan bagaimana ancaman terhadap ruang sipil cenderung bersifat sistemik dan memiliki konsekuensi jangka panjang pada peneguhan kekuasaan.
Parameter demokrasi
Ruang sipil merupakan bagian integral, yang bersinggungan dengan setiap elemen dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, upaya untuk membatasi kebebasan berbicara, atau 'menyempitkan’ ruang bagi masyarakat sipil – atau menjaga ruang tersebut pada tingkat yang sangat minimal – perlu dibaca dan dipahami sebagai bagian sistemik dari terjadinya kemunduran dalam sistem demokrasi kita.
Gejala-gejala penyempitan ruang sipil di berbagai negara selalu berkaitan dengan peningkatan otoritarianisme elektoral, membesarnya kekuasaan oligarki, dan kemunduran praktik demokrasi secara umum.
Tidak hanya representasi dari pemerintah, non-state actor seperti korporasi juga acapkali terlibat dalam upaya menyempitkan ruang sipil demokratis. Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) merupakan praktik dengan mengandalkan hukum pidana atau perdata, yang kerap dilakukan korporasi untuk membungkam mereka yang mengkritik atau melakukan perlawanan terhadap aktivitasnya.
Supremasi hukum yang semestinya dapat digunakan oleh masyarakat sipil untuk menundukkan pemegang kekuasaan, serta mencari pengakuan hak dan memperoleh ganti rugi atas segala pelanggaran, jauh dari idealisasi tersebut. Studi yang saya lakukan bersama tim peneliti dari Universitas Padjadjaran, melihat bahwa dari 61 peristiwa penyempitan ruang sipil yang diberitakan media pada periode 2020-2021, 39 di antaranya diaktori oleh aparat keamanan. Terbit iba saya ketika melihat bagaimana hukum digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, dan memukul aktor-aktor ruang sipil yang menjadi tulang punggung demokrasi.
Melawan untuk keberlanjutan lingkungan
Secara normatif ruang sipil yang bebas dan terbuka menjadi sasana yang seharusnya dapat diandalkan untuk menjadi tulang punggung demokrasi. Ruang sipil menjadi tempat di mana literasi masyarakat dipupuk, dan juga menjadi ruang advokasi sehingga harapannya mempengaruhi pengambilan kebijakan yang akan berdampak sektor lingkungan.
Pada konteks tersebut pengawalan terhadap ruang sipil mendapatkan signifikansinya, dan menjadi mendesak.
Menimbang situasi tersebut diperlukan diskursus publik yang kuat untuk dapat mengawasi dan mengantisipasi ancaman yang akan terus menghantui kita untuk tahun-tahun mendatang. Intensi para akademisi, aktivis dan organisasi masyarakat sipil dalam mengawal isu lingkungan harus dilihat sebagai salah satu upaya mengawal kesadaran, transparansi, dan akuntabilitas dari ragam aktivitas yang berisiko mengancam keberlanjutan kehidupan manusia.
Menjadi katalisator dapat dimaknai berbareng-bergerak dalam meningkatkan awareness di level lokal, regional, maupun nasional. Khususnya, pada isu lingkungan yang selama ini cenderung tidak mendapatkan fokus yang layak. Narasi-narasi langsung, orang pertama dari akar rumput, tidak hanya memberikan diskursus baru di ruang sipil, namun juga menawarkan counter-hegemony dari perspektif pembangunan yang dominan diambil dari lensa makro.
Melawan penyempitan ruang sipil merupakan tanggung jawab bersama, di mana perspektif yang ditawarkan tidak bisa terbatas pada isu politik elite semata, namun harus mengakomodir advokasi-advokasi terhadap harkat hidup orang banyak khususnya pada aspek lingkungan.
Pemerintah sendiri harus menjalankan komitmennya pada visi demokrasi yang telah diperjuangkan bersama pasca-reformasi, apabila kita tidak ingin mundur ke belakang lebih jauh lagi.
Justito Adiprasetio, Peneliti Pusat Studi Media dan Budaya Universitas Padjadjaran