Selama ini beberapa partai politik bisa mempertahankan jumlah suara yang didapat, bukan karena kampanye yang menarik dan berkualitas. Kebanyakan mendulang suara dari para pendukung partai yang setia.
Oleh
Samesto Nitisastro
·3 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Warga melihat daftar calon tetap yang tertempel di luar Tempat Pemungutan Suara 29 Kelurahan Cibodasari, Cibodas, Tangerang, Banten dalam Pemilu 2019, Rabu (17/4/2019).
Sejak pemilihan umum diadakan lagi tahun 1971 era Orde Baru, sampai terakhir tahun 2019 era Reformasi, satu hal pernah berubah: rendahnya kualitas kampanye partai-partai.
Kampanye selalu identik dengan pengumpulan massa disertai hiburan musik dangdut, peragaan pencoblosan tanda gambar partai, pawai kendaraan bermotor, menebar sembako dan kaus, memasang baliho dan foto calon anggota legislatif. Bukan penyampaian program dan rencana kerja sebagai janji kepada rakyat jika menang.
Program dan rencana kerja seharusnya menjadi prioritas utama selama melakukan kampanye, tetapi justru tidak terkomunikasikan kepada calon pemilih.
Seharusnya partai-partai politik mampu menarasikan programnya, termasuk menjelaskan bagaimana cara mencapai tujuan. Kalau perlu mengikat kesepakatan agar janji ditepati. Karena pada kenyataannya, program dan rencana kerja partai politik selalu tenggelam oleh hiruk-pikuk kampanye. Setelah kampanye terlupakan.
Selama ini beberapa partai politik bisa mempertahankan jumlah suara yang didapat, bukan karena kampanye yang menarik dan berkualitas. Kebanyakan mendulang suara dari para pendukung partai yang setia. Kelompok loyalis seperti ini tidak peduli program dan rencana kerja partai. Salah satu hal yang membuat demokrasi di negeri kita tidak pernah menjadi cerdas dan dewasa.
Kampanye calon presiden dan wakil presiden juga tidak jauh berbeda dari segi kualitas. Lebih banyak hal normatif yang disampaikan, bahkan cenderung berlebihan tanpa mempertimbangkan kendala dalam pelaksanaannya.
Dalam acara debat calon presiden dan calon wakil presiden, partisipasi publik seharusnya tidak perlu dibatasi. Apabila perlu, debat dilaksanakan di banyak kota besar di seluruh Indonesia agar calon pemilih yang tinggal jauh dari ibu kota bisa mengenal calon yang akan mereka pilih. Tidak sekadar menonton debat di televisi.
Beberapa partai mempunyai semacam lembaga pendidikan yang bisa memberikan pembekalan kepada para calon anggota parlemen. Banyak para ahli independen yang bisa dimanfaatkan kepakarannya untuk memberikan pembekalan. Semoga ini menghasilkan kampanye berkualitas dan dihadiri calon pemilih yang berkualitas.
Tahun 1961, saya bertiga dengan rekan saya, Peter Soedojo dan Harry Yohannes, datang dari UGM ke Lembaga Tenaga Atom (LTA) di Pasar Jumat, Jakarta. Kami mengikuti pelatihan teknik radioisotop.
Di depan Gedung LTA kami dicegat penjaga tinggi besar berseragam biru tua. Tanpa basa-basi, ia memperkenalkan diri, ”Beta sekuriti.”
Untuk pertama kali saya mendengar kata sekuriti. Yang lazim saya dengar ialah kata atau istilah penjaga.
Kemudian ”penjaga” menjelma—dan mantap—menjadi ”satpam”. Begitu akrabnya kita, hingga lupa asal-usulnya dari akronim ”satuan pengamanan”. Kelupaan itu hemat saya baik, bisa memperkaya kosakata bahasa Indonesia.
Namun, akhir-akhir ini ”sekuriti” menguat lagi, bisa menggusur ”satpam”. Dalam pemberitaan perkara Sambo, bolak-balik muncul ”sekuriti”.
Di koran dan TV Kompas, kata ”wartawan” diganti dengan ”jurnalis”. Padahal, ”wartawan” dan ”wartawati” lebih sedap didengar.
L WilardjoKlaseman, Salatiga
Boneka Unyil
Boneka si Unyil yang pernah populer di stasiun TVRI menjadi koleksi Museum Wayang yang berada di komplek Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat, Kamis (6/8/2020). Tiga museum di kawasan tersebut yaitu Museum Wayang, museum Seni Rupa dan Keramik, serta Museum Sejarah Jakarta telah dibuka bagi pengunjung di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Namun demikian, Kawasan Taman Fatahillah masih tertutup untuk dikunjungi sehingga berimbas pada tingkat kunjungan di tiga museum tersebut. Kompas/Priyombodo (PRI)06-08-2020
”Hom pim pah. Unyil kucing!” Demikian kalimat pembuka serial boneka Unyil.
Generasi 1980-an pasti mengenal serial yang ditayangkan tiap Minggu di Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Terima kasih kepada Kompas yang memuat infografik ”Boneka-boneka Legendaris Pak Raden” (30/10). Meskipun gambarnya berbayang, Kerinduan terobati.