Komitmen Bersama Menjaga Bumi
Kita masih perlu ”berbuat sekali lagi” terutama dalam menjaga bumi ini. Usaha untuk memperbaiki dan menjaga bumi sudah ada. Hanya, usaha itu masih bersifat spontan, kurang disadari, kurang dimaknai, dan kurang ditekuni.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas: ”Benarkah Manusia Gagal Menjaga Bumi?” tayang pada 18 Oktober 2022. Sebelum membaca tulisan secara menyeluruh, saya sudah memiliki asumsi dasar bahwa jawaban yang didapat pastilah benar.
Setelah membaca dengan sungguh telilti, asumsi saya ternyata tepat. Dari responden yang ditanyai, 68,6 persen menjawab setuju, 26,3 persen menjawab tidak setuju, dan 5,1 persen menjawab tidak tahu.
Artinya, mayoritas responden menjawab bahwa manusia gagal menjaga bumi. Dan, cukup menarik perhatian saya bahwa para responden berasal dari generasi muda bangsa Indonesia dengan usia 17-35 tahun.
Dikatakan gagal karena manusia belum mampu mempraktikkan kebiasaan hidup yang ekologis atau ramah lingkungan. Padahal, manusia merupakan makhluk yang potensial untuk mengubah situasi tersebut menjadi lebih baik.
Baca juga: Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Benarkah Manusia Gagal Menjaga Bumi?
Langkah awal
Sebelum lebih dalam, kepada kita perlu disampaikan pertanyaan ini, apa yang kita rasakan setelah membaca hasil jajak pendapat tersebut? Bagaimana kita memosisikan diri saat ini di tengah realitas yang dihadirkan dalam tulisan tersebut? Dan, langkah preventif apa yang seharusnya digiatkan demi membalikkan keadaan menjadi lebih baik?
Jawaban atas pertanyaan tersebut sesungguhnya menjadi motivasi bagi kita, sebagai langkah awal untuk mengubah mindset yang nonekologis menjadi ekologis. Sekaligus, kita diarahkan untuk tidak hanya berpendapat, tetapi beraksi dengan gigih.
Kita perlu jujur di hadapan alam dan lingkungan semesta bahwa di dalam perasaan kita, ada penyesalan dan kesedihan atas apa yang tengah terjadi di alam. Kita gagal memosisikan diri sebagai representasi Sang Pencipta (Kej 1:27-28) untuk menjaga dan merawat alam dengan keterkaitan dan keterikatan ilahi.
Kita lebih senang menghidupi paham warisan bahwa ”manusia adalah tuan (signore) atas ciptaan” dengan segala privilese khususnya. Kita telah lama menjadikan diri sebagai pusat (antroposentrisme) segala proses di bumi. Sementara, makhluk nonhuman adalah elemen pelengkap dan pendukung yang kurang bernilai.
Akhirnya, kita terlibat dalam ”penghancuran diri” (selbstzertoerung). Kita merusak alam-bumi tanpa tahu batas yang sejatinya memiliki proyeksi pada penghancuran kita sendiri. Rasio kita menjadi semakin sempit dan moralitas menjadi semakin tumpul.
Teknologi memaksa kita untuk mengeksploitasi dan mengeruk alam. Teknologi menjadi tuan atas kita ( gestell).
Apalagi, ketika kita tidak mampu menahan diri untuk tidak tergoda kepada hedonisme dan konsumerisme yang menguras isi bumi. Hal ini menjadi semakin ngeri ketika kemajuan teknologi tidak digunakan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ekologis.
Teknologi memaksa kita untuk mengeksploitasi dan mengeruk alam. Teknologi menjadi tuan atas kita (gestell). Di hadapan kemajuan itu, kita menjadi pembawa realitas kemungkinan kepada aktualitas dunia dengan mengatur, menguasai, dan mengontrol alam untuk dieksploitasi. Nilai intrinsik dalam alam semakin diabaikan.
Atas keadaan tersebut, langkah awal yang harus kita perjuangkan dengan sangat serius adalah membarui pola pikir dan gaya hidup sebagai ”tuan/penguasa” menuju kesadaran ”saudara seciptaan” dan sepencipta. Kita juga harus mampu mengubah posisi dari hamba teknologi menjadi tuan atas teknologi (gelassenheit) serta menghargai nilai intrinsik ciptaan.
Pendalaman spiritualitas
Setelah mindset diperbarui, kita perlu membarui spiritualitas dalam konteks ekologis. Apalagi, sebagai makhluk yang rohaniah, kita memiliki potensi untuk peka terhadap apa yang terjadi di luar diri.
Dari segi iman, kita memiliki kekuatan dalam membangun kelestarian bumi. Iman menuntun kita mengenal Sang Pencipta dalam diri ciptaan-Nya. Sang Pencipta telah membentuk bumi dan segala isinya dengan baik dan manusia adalah ciptaan yang sungguh amat baik (masterpiece). Baik manusia maupun ciptaan lainnya ditempatkan oleh Sang Pencipta di dalam bumi yang satu dengan relasi yang harmonis.
Kepada manusia, Sang Pencipta menyerahkan alam ini untuk dikelola dengan baik. Ini agar alam semesta ini dapat berkembang dan maju serta menjadi manifestasi ilahi yang tidak berkesudahan sehingga banyak manusia dapat menikmati tujuan spiritual tersebut.
Baca juga: Kewarganegaraan Ekologis
Namun, justru banyak dari kita yang menyatakan diri beriman tidak mengindahkan prinsip tersebut. Iman tergerus dan relasi harmonis dengan alam rusak terjadi karena kita mampu ditunggangi oleh impian mengejar keuntungan material-kapitalistis.
Akibatnya, kita lebih nyaman tinggal dalam budaya konsumtif dan materialis. Kita mengejar kepuasan jasmani dan mengabaikan kepuasan rohani. Kita juga semakin tuli mendengar apa yang hendak disampaikan alam kepada kita.
Mau tak mau, kita harus bergabung dengan komunitas alam. Kita mesti menumbuhkembangkan spiritualitas peka lingkungan yang memadukan sistem kehidupan dengan komunitas alam. Hingga, kita dengan semua bioregion dalam alam-bumi saling bergantung sama lain.
Komitmen yang mesti ditumbuhkan adalah pergerakan dari sebuah spiritualitas alienasi menuju spiritualitas yang intim dengan alam. Sebab, alam-bumi merupakan satu komunitas yang kudus dan integral karena hadir Sang Pencipta dalam setiap ciptaan-Nya (panentheisme).
Perubahan lewat ekopedagogi
Komitmen-komitmen di atas harus digiatkan dan sebagai satu tawaran, dapat dioptimalkan lewat pendidikan. Secara khusus, Paulo Freire (1921-1997) menawarkan satu istilah, yakni ekopedagogi, yang berupaya melibatkan banyak pihak (khususnya kaum akademisi) dalam upaya menjaga keutuhan ciptaan.
Dalam ekopedagogi, orang-orang terdidik diberikan misi untuk mengembangkan apresiasi kuat terhadap potensi manusia (individu dan kolektif) dalam visi ekologis. Orientasi pendidikan semacam ini adalah menentang globalisasi paham eksploitasi demi kesenangan.
Secara khusus, kepada kaum muda bangsa, pendidikan seperti ini sudah urgen agar keadilan lingkungan dan sosial semakin mendapat perhatian yang serius dan masif. Hal ini mengingat urgensitas pembaruan demi perawatan bumi semakin tinggi pula.
Setidaknya ada enam prinsip dasar yang diperoleh lewat pendidikan ekologis. Pertama, pendidikan diselenggarakan demi keadilan sosial, ekologis, dan iklim sehingga percepatan kerusakan alam-bumi dapat diperlambat.
Baca juga: Urgensi Sekolah Melek Ekologi
Dalam ekopedagogi, orang-orang terdidik diberikan misi untuk mengembangkan apresiasi kuat terhadap potensi manusia (individu dan kolektif) dalam visi ekologis.
Kedua, peserta didik diedukasi untuk menanggapi pengalaman hidup dengan refleksi kritis dan mengambil langkah preventif untuk menyelamatkan Planet Bumi. Ketiga, pendidikan berpusat pada aktivisme terkait isu yang sungguh aktual.
Keempat, pendidikan yang diberikan berlangsung dalam konteks warga Planet Bumi. Bahwa, di bumi ini, semua saling terkait. Rasa kebersamaan dan tanggung jawab universal dilatih. Kelima, pendidikan dilakukan dengan tendensi kepada nilai seni yang terpatri di dalam alam semesta.
Keenam, pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian ekologis. Kepeduliaan tersebut dapat memperkuat keadilan, kedamaian, dan keutuhan makhluk ciptaan.
Kualitas hidup generasi sekarang akan menentukan masa depan. Untuk itu, generasi muda harus sungguh dipersiapkan dengan cepat dan matang.
Kita semua perlu memberi perhatian yang serius. Komitmen harus dipegang dan diwujudnyatakan agar alam-lingkungan hidup terjaga. Juga, global warming yang tengah terjadi tidak berubah menjadi global warning bagi kita.
Baca juga: Ekopedagogik dan Upaya Menanggulangi Pencemaran Citarum
Berbuat sekali lagi
Sebagai penutup tulisan ini, saya teringat akan ungkapan yang pernah disampaikan oleh Fransiskus dari Assisi yang berbunyi: ”Mari kita berbuat sekali lagi sebab sampai sekarang kita belum berbuat apa-apa”.
Kita masih perlu ”berbuat sekali lagi” terutama dalam menjaga bumi ini. Usaha untuk memperbaiki dan menjaga bumi sudah ada. Hanya, usaha itu masih bersifat spontan, kurang disadari, kurang dimaknai, dan kurang ditekuni.
Untuk itu, sudah saatnya kita menyatukan diri dengan alam-bumi. Alam bukanlah obyek kekuasaan, kesenangan, dan foya-foya. Jauh lebih mulia, alam adalah saudara-saudari bagi kita yang ”sekali lagi” harus kita jaga dan hargai eksistensinya.
Hingga, secara perlahan, kita mampu membalikkan jawaban atas jajak pendapat yang mendahului tulisan ini. Bahwa manusia berhasil menjaga alam-bumi dengan indikator atau indeks prestasi yang baik. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Divisi Keutuhan Lingkungan Hidup Kapusin Medan; Mahasiswa Magister Filsafat Konsentrasi Etika Pastoral Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara; Biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan (OKPM)