Sastrawan adalah pahlawan yang menempuh jalan sunyi. Mereka memperjuangkan pemaknaan terhadap nilai-nilai dalam hidup. Sesuatu yang subtil dan sulit diukur dalam konteks "pembangunan" dan "kemajuan" yang umum dipahami.
Oleh
PANDU WIJAYA SAPUTRA
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Hampir semua negara punya "Pahlawan Nasional" masing-masing. Pengakuan seseorang sebagai pahlawan nasional merupakan bentuk apresiasi tinggi negara atas kontribusi mereka serta agar perjuangannya terus diingat dan diwariskan ke generasi berikutnya.
Di Indonesia, pada awalnya penentuan pahlawan cenderung melihat kontribusi mereka pada kemerdekaan atau rintisan kemerdekaan. Beberapa nama memang seorang pendidik seperti Ki Hajar Dewantara, RA Kartini dan Dewi Sartika. Namun, konteks gerakan mereka tetaplah perjuangan kemerdekaan, tetapi melalui jalan sosial budaya.
Dalam perkembangannya, kontribusi di bidang sosial budaya pun diakui. Kita punya pahlawan di bidang sosial keagamaan seperti Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, Hamka, hingga bidang kesehatan seperti Dokter Sardjito, bahkan tokoh perfilman yakni Usmar Ismail.
Tahun 1790, George Washington mengatakan kepada senat dan parlemen Amerika bahwa kebijakan sains dan sastra wajib didukung. Pernyataan presiden pertama Amerika yang menyebut aspek kesusastraan tersebut menarik. Ia tentu tidak main-main mengatakannya. Berkaca kepada Eropa, kemajuan peradaban benua biru itu memang ditandai dengan berkembangnya kesusastraan.
Amerika kemudian mengakui beberapa sastrawan mereka sebagai pahlawan nasional seperti Mark Twain, Edgar Allan Poe, David Thoreau hingga Ernest Hemingway.
KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA
Makam pahlawan nasional Ismail Marzuki. Semasa hidupnya, Ismail Marzuku berjuang melalui musik. Lagu-lagu gubahannya terkenal berani dan mampu membakar semangat para pejuang kemerdekaan melawan penjajah.
Indonesia memang baru merdeka jauh setelah Amerika. Namun, kesusastraan di Indonesia sudah berusia sangat tua. Di Indonesia, hampir semua teks sejarah adalah karya sastra, berbentuk babad atau serat. Bahkan, pada abad ke-13 orang Bugis sudah bisa membuat sastra masterpiece, yaitu I La Galigo.
Artinya, sejak dahulu banyak masyarakat kita yang mampu membuat karya sastra tinggi. Bahkan, tradisi lisan berupa dongeng kerap dituangkan dalam babad atau serat. Sebaliknya, syair dalam serat kerap dialihwahanakan menjadi tradisi lisan berbentuk tembang yang diajarkan turun temurun. Bahkan, bagi masyarakat jawa karya sastra seringkali menjadi panduan hidup karena berisi ajaran-ajaran penting, misal Serat Wulangreh dan Serat Wedhatama.
Namun, meski akar kesusastraan kita kuat dan memiliki sejarah panjang, apresiasi negara terhadap sastra masih minim. Dalam konteks pahlawan, kita belum punya pahlawan nasional bidang kesusastraan.
Meski akar kesusastraan kita kuat dan memiliki sejarah panjang, apresiasi negara terhadap sastra masih minim. Dalam konteks pahlawan, kita belum punya pahlawan nasional bidang kesusastraan.
Pahlawan pertama kita, Abdoel Moeis, adalah seorang sastrawan. Namun, tidak pernah ada alasan pasti kenapa Presiden Soekarno memilihnya. Meski novel karya Abdoel Moeis, Salah Asuhan (1928), merupakan novel populer dan penting pada masanya, tetapi sebagian besar hidup Abdoel Moeis dicurahkan dalam dunia politik. Kepahlawanan Abdoel Moeis lebih mungkin karena peran-perannya selama di Sarekat Islam, Volksraad, dan pergerakannya melawan penjajah.
Kita pun punya pahlawan nasional seorang sastrawan, yaitu Raja Ali Haji. Namun, tokoh Melayu itu dikukuhkan sebagai pahlawan bukan spesifik karena kontribusi sastranya, melainkan kontribusinya membangun fondasi bahasa Indonesia melalui karya fenomenalnya Gurindam Dua Belas dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI
Kompleks makam tokoh-tokoh Kerajaan Riau-Lingga berlokasi di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. DI kompleksi ini dimakamkan antara lain pujanga kerajaan Raja Ali Haji yang mashyur dengan tulisan Gurindam Dua Belas. Foto diambil pada Kamis (17/10/2019).
Membela kemanusiaan
Pahlawan bukan hanya mereka yang gugur membela kemerdekaan atau melawan penjajah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, setiap orang yang selama hidupnya menghasilkan prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara bisa menjadi pahlawan.
Istilah “pembangunan” dan “kemajuan" ini tampak kurang bersahabat dari sudut pandang sastra. Pembangunan dan kemajuan cenderung dilihat dari ukuran fisik, ekonomi, teknologi, dan berbagai macam indeks yang terukur. Sementara sastra tidak pernah menjadikan ukuran tertentu sebagai tujuan.
Pernyataan sastrawan Tiongkok, Mo Yan, dalam pidato nobelnya dapat menjadi sebuah gambaran bagaimana posisi sastra. Dia mengatakan bahwa seorang pengarang berhak mempunyai pendirian dan pandangannya sendiri. Namun, ketika menulis ia harus berpihak pada kemanusiaan. Sastrawan Ahmad Tohari pun berkata bahwa sastranya bertujuan untuk mengetuk kesadaran bahwa ada hal-hal yang melanggar nilai dan keadaban hidup.
Istilah “pembangunan” dan “kemajuan" ini tampak kurang bersahabat dari sudut pandang sastra. Pembangunan dan kemajuan cenderung dilihat dari ukuran fisik, ekonomi, teknologi, dan berbagai macam indeks yang terukur.
Artinya, sastra bekerja untuk kemanusiaan, maka yang diperjuangkan oleh sastra adalah pemaknaan terhadap nilai-nilai dalam hidup. Sesuatu yang subtil dan sulit diukur dalam konteks "pembangunan" dan "kemajuan" yang umum dipahami.
Barangkali, keniskalaan dari tujuan sastra inilah yang membuatnya jauh dari radar prioritas negara. Karena itu, negara kita belum memandang sastra sebagai karya yang berdampak bagi bangsa.
Padahal, kita punya banyak contoh perubahan sosial budaya yang penting ketika sastra berhasil menyentuh kesadaran kemanusiaan. Kita bisa menyebut Multatuli dengan Max Havelaar-nya yang mampu menggugah orang di dalam negeri maupun di negeri Belanda terhadap diskriminasi rakyat Indonesia kala itu, atau Marah Rusli dengan Siti Nurbaya yang menyadarkan orang terhadap adat yang membelenggu kaum perempuan.
Di sisi lain, sastrawan hampir tidak pernah memikirkan pengaruh karyanya terhadap apa-apa di luar dirinya. Sebagaimana yang disampaikan Roland Barthes bahwa pengarang mati setelah karya mereka selesai.
Berbeda dengan sektor lain, kesusastraan juga tidak selalu mendapat sorotan. Sastrawan Alice Munro menggambarkan bahwa pengarang adalah seorang yang terpaksa teralienasi dari riuh redam dunia. Jika guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka kita bisa menyebut sastrawan adalah pahlawan yang menempuh jalan sunyi.
Negara harus turun, meneroka dan menempatkan sastra pada posisinya yang proporsional. Jika merujuk pada pandangan George Washington, sastra bahkan perlu ditempatkan sejajar dengan sains. Jasa seorang pahlawan nasional pun bukan hanya berupa kontribusi pada pembangunan dan kemajuan namun juga kemanusiaan.
Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban besar hanya bisa dicapai dengan pengadaban manusia. Suka tidak suka, sastra menjadi salah satu medium yang mampu mewujudkan itu karena ia bisa mencapai hingga pada titik kesadaran manusia.
Pandu Wijaya Saputra, Peminat Kajian Sosial Budaya; Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek