Tipu Sultan dituduh sebagai muslim intoleran. Kebohongan tentang Tipu Sultan berasal dari buku-buku sejarah yang dipalsukan. Pemalsuan sejarah itu, dimulai sejak masa kolonialisme Inggris.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Pada 6 November 2015, Hindustan Times memberitakan sejumlah ormas Hindu menolak rencana pemerintah negara bagian Karnataka merayakan ulang tahun ke-265 Tipu Sultan, raja Mysore di akhir abad ke-18. Tipu Sultan dituduh sebagai muslim intoleran: gemar merusak kuil Hindu dan gereja Katolik selama ia berkuasa. Tuduhan itu ahistoris dan menyulut polemik nasional.
Markandey Katju, seorang Hindu, mantan hakim agung, dan ketua Dewan Pers India, mencemaskan dampak tuduhan tersebut. Ia menolak kebohongan meracuni India lalu menulis tentang Tipu Sultan di weblog-nya pada 10 November 2015. Di masa Tipu Sultan berkuasa banyak menteri dan pejabat tinggi penting adalah orang Hindu. Ia rutin menyumbang untuk 156 kuil. Ia memimpin pasukannya mengalahkan pasukan Jenderal Parshuram Bhau dari Kerajaan Hindu Maratha yang membunuh warga, menjarah biara, dan merusak kuil Hindu di Bednur, Karnataka.
Katju berpendapat kebohongan tentang Tipu Sultan berasal dari buku-buku sejarah yang dipalsukan. Pemalsuan sejarah itu, katanya, dimulai sejak masa kolonialisme Inggris, “Sejarawan-sejarah Inggris dan para pengikut setia India merekalah yang telah melakukan kejahatan ini.” Menurut Katju, Tipu Sultan dibenci karena konsisten melawan penjajah.
Tulisan Katju tentang Tipu Sultan dan sejarah yang dipalsukan mengingatkan saya kepada Batin Tikal, pemimpin perjuangan rakyat Bangka melawan kolonialisme Belanda, dari 1819 sampai 1851.Ia dijadikan tokoh antagonis oleh sejarawan-sejarawan kolonial dan pengikut setia Indonesia mereka.
Pada 2018, salah satu surat kabar di Pulau Bangka menerbitkan cerita penangkapan Amir, putra Batin Bahrin, dan “Batin Tikal dari Bukit” dikisahkan menerima 100 gulden dari pemerintah kolonial Belanda untuk ikut menangkap Amir. Namun, tidak satu pun dokumen sejarah membuktikan “Batin Tikal dari Bukit” terlibat penangkapan Amir. Batin Tikal dari Bukit adalah tokoh fiktif. Penerima imbalan 100 gulden itu “Batin Awal dari Bukit”. Otoritas tertentu dengan sengaja mengubah nama Batin Awal dari Bukit menjadi Batin Tikal dari Bukit untuk disebarkan di media, di lembaga akademis, dan digunakan untuk tujuan keji sampai hari ini.
Residen BangkaH.J. Severijn Haesebroeck menyebut Amir datang menyerahkan diri dalam suratnya kepada pemerintah di Batavia pada 8 Januari 1851. Pemberontakan Amir terbilang singkat, antara 1848 sampai 1851. Dalam laporan itu Haesebroeck juga menjelaskan pasca penangkapan Amir ia akan mencari “penggerak pemberontak utama”. Dengan demikian, pemberontak utama bukan Amir. Surat-surat Haesebroeck dapat diakses di Arsip Nasional Republik Indonesia.
Willem Adriaan van Rees, seorang perwira Belanda, mengisahkan Amir hidup senang selama pembuangan di Kupang dalam bukunya, Wachia, Taykong en Amir of het Nederlandsch-Indisch leger in 1850 (1859). Keluarganya di Kupang menuturkan Amir menjadi kolaborator loyal Belanda, digaji setiap bulan, dan berjasa menangkap Baki Koi, pejuang Timor antikolonial. Berbeda dengan Amir, Batin Tikal menolak berkompromi dengan pemerintah kolonial di pembuangannya.
Meskipun Van Rees menulis Batin Tikal adalah “harapan terakhir Amir”, ia amat membenci pejuang panutan itu. Ia mengejek cerita rakyat tentang rambut kepang Batin Tikal terbuat dari tembaga.
Sikap Van Rees mencerminkan mentifak kolonial, yang meliputi gagasan, nilai, norma, dan perilaku pihak penjajah dalam memandang masyarakat jajahan. Sementara itu rakyat Bangka memercayai hal-hal ajaib sebagai sosiofak dan bagian dari memori kolektif serta kebanggaan dari masa perlawanan.
Pasca kemerdekaan Indonesia, pemalsuan dan penggandaan sosok Batin Tikal terus terjadi. Akibatnya, Batin Tikal berjumlah 27 orang.
Batin Tikal sejati bernama asli Ahmad atau Syeh Ahmad, pelanjut nasab Syeh Yusuf Al Makassari, sesuai hasil penelitian Erwiza Erman, profesor riset bidang sejarah LIPI, yang diterbitkan menjadi buku Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung (2009). Ia disebut Van Rees “Batin Tikal dari Pemjampar” dan “Batin Tikoe dari Pemjampar “. Pemjampar nama kampung di Bangka Selatan, yang kini sudah tiada. Ia juga bergelar “Pemenggal Smissaert”. Keberadaan relik rambutnya di Kampung Gudang membuat ia dikenal sebagai “Batin Tikal dari Gudang”. Karena benteng perlawanannya di Bangka Kota, ia dinamai “Batin Tikal dari Bangka Kota”. Wilayah perjuangannya meliputi Bangka-Belitung dan Sumatera Selatan, dengan pasukan multibangsa.
Batin Tikal kedua bernama Fatih Krio Panting, yang disebut keturunannya putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Faktanya, Sultan Mansyur tidak mempunyai putra bernama Fatih Krio Panting. Makam Krio di Bangka Selatan. Jelas ia bukan Ahmad atau Syeh Ahmad, yang dihukum buang seumur hidup ke Manado oleh pemerintah Belanda.
Batin Tikal ketiga dinyatakan keturunannya sebagai orang hebat. Anak-anaknya bekerja untuk pemerintah kolonial. Pasca pembuangan Ahmad atau Syeh Ahmad ke Manado, anak-anak Batin Tikal pro kolonial itu diangkat menjadi depati dan kepala opas di Bangka.
Dua tahun lalu keturunan seorang gindo (kepala desa) di Gasing, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, mengaku kakeknya adalah anak kandung Batin Tikal. Ia menyatakan Batin Tikal tinggal bersama keluarganya di Gasing sampai meninggal. Batin Tikal yang dimaksud tentu bukan Ahmad atau Syeh Ahmad.
Penggandaan ini berpotensi mengaburkan kebenaran, tetapi juga membuktikan resonansi perjuangan Batin Tikal.
Sebagaimana kebencian mendalam kolonial Inggris dan pengikutnya terhadap Tipu Sultan, begitu pula dendam kesumat kolonial Belanda dan pengikutnya berurat berakar terhadap Batin Tikal asli dan keturunannya. Namun, memori rakyat merekam sosoknya sebagai pahlawan melampaui dua abad.