Mendorong Akselerasi Aksi Iklim
Sependapat dengan apa yang disampaikan Paus Fransiskus. Respons terhadap degradasi lingkungan dan perubahan iklim tak hanya dapat ditentukan oleh sains, teknologi, atau ekonomi, tetapi juga merupakan kewajiban moral.
Jika tak ada aral melintang, saya akan menjalankan amanat Presiden Joko Widodo untuk mewakili Indonesia dalam KTT PBB untuk Perubahan Iklim (Conference of the Parties/COP) Ke-27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, 6-18 November 2022.
Posisi Indonesia dalam COP27 cukup strategis karena selain sebagai presiden G20, pada 2023 Indonesia akan menjadi ketua ASEAN. Sebelumnya, melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC), kita sudah mengajukan kontribusi dan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sampai 2030 sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri atau hingga 43,2 persen jika tersedia bantuan internasional.
Namun, secara global kita memahami, satu tahun sejak COP26 di Glasgow tak ada kemajuan global yang signifikan. Implementasi berbagai komitmen masih stagnan. Di sisi lain, berbagai tantangan global yang saat ini sedang terjadi, seperti ketegangan geopolitik, krisis energi dan pangan, inflasi dan resesi, berpotensi menyebabkan terdegradasinya prioritas dan komitmen dalam memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Namun, secara global kita memahami, satu tahun sejak COP26 di Glasgow tak ada kemajuan global yang signifikan.
Lebih dari 230 ilmuwan dunia dari 64 negara yang tergabung dalam Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) mengingatkan bahwa pemanasan global di atas 2 derajat celsius akan membawa kepada krisis iklim dengan konsekuensi tak akan pernah kembali ke keadaan normal. Secara alamiah tutupan es di kutub utara dan selatan akan semakin berkurang, semakin tinggi frekuensi dan amplitudo cuaca ekstrem, serta berkurang keanekaragaman hayati.
Apabila aksi pengurangan emisi GRK tak dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, niscaya upaya untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata Bumi 1,5-2,0 derajat celsius hingga akhir abad ini tidak akan tercapai.
Sebagai negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara, tentu Indonesia menjadi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan banjir dan kekeringan, kenaikan permukaan air laut, pergeseran pola curah hujan, dan peningkatan suhu akan menjadi lebih sering terjadi dalam beberapa dekade ke depan.
Dampak-dampak ini akan dirasakan secara nasional dan dapat menelan biaya 2,5 persen sampai 7 persen dari produk domestik bruto kita.
Dari Glasgow menuju Sharm el-Sheikh
Untuk mencapai target pengurangan emisi ini, banyak hal telah kita lakukan.
Di sektor energi, misalnya, kita secara proaktif melakukan pengembangan energi terbarukan, termasuk pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030. Selain itu, pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) B30 yang saat ini juga sudah ditingkatkan menjadi B40, co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan biomassa, serta pemanfaatan langsung biomassa dan biogas untuk pembangkit listrik off-grid.
Kita juga mendorong efisiensi energi, implementasi kendaraan listrik, dan ekosistem pendukung, pemanfaatan bahan bakar rendah emisi, serta pemanfaatan teknologi batubara bersih dan gas.
Untuk bidang industri ditempuh melalui pengurangan emisi GRK yang dihasilkan langsung oleh proses produksi (Scope 1), pengurangan emisi GRK tak langsung melalui pembangkit energi yang dibeli oleh produsen (Scope 2), dan emisi GRK yang dihasilkan dari aktivitas rantai pasok dan distribusi (Scope 3).
Sementara berbagai langkah yang telah ditempuh untuk sektor berbasis lahan adalah penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan yang tak terencana dan yang terencana, rehabilitasi lahan melalui penghijauan, penanaman kembali, dan melalui program perkebunan berbasis kayu, pengelolaan lahan gambut dengan mempertahankan ketinggian air di lahan gambut, restorasi lahan gambut serta potensi perluasan kawasan mangrove menjadi 756.000 hektar.
Baca juga: Indonesia Rentan Perubahan Iklim, Diminta Lebih Ambisius Turunkan Emisi
Baca juga: Kekhawatiran Publik Menghadapi Perubahan Iklim
Pengurangan emisi GRK dalam kegiatan pertanian dilakukan melalui produksi dan pemanfaatan pupuk berbasis Nitrogen Inhibitors, penggunaan pupuk biru dan pupuk hijau, memperkenalkan teknologi pertanian presisi, daur ulang limbah organik di lahan pertanian.
Sejak COP26 hingga awal Oktober 2022, Indonesia telah melakukan langkah-langkah penting sebagai tindak lanjut, di antaranya memprioritaskan transisi energi berkelanjutan dalam agenda presidensi G20 Indonesia, mendorong operasionalisasi dari rencana (Forestry and Other Land Use/FOLU) net-sink 2030, dan meluncurkan country platform untuk pendanaan transisi energi. Di sektor energi, kita sudah mengembangkan peta jalan menuju pencapaian net zero emission (NZE) pada 2060.
Beberapa regulasi penting juga sudah kita siapkan, termasuk Perpres Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur perdagangan karbon, Perpres Percepatan Pengembangan EBT (Energi Baru Terbarukan) dan Pengakhiran Operasional PLTU, dan Inpres Implementasi Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Namun, terlepas dari apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia dan dunia, komitmen dalam bentuk NDC sejumlah negara yang telah ada masih jauh dari ideal dalam mencapai target 1,5 derajat celsius. Sekalipun semua negara pihak telah memperbaiki NDC, termasuk Indonesia, masih akan terjadi kesenjangan target penurunan emisi 19-23 GtCO2e di 2030. Berdasarkan analisis komitmen yang telah ada itu akan terjadi peningkatan suhu rata-rata hingga 2,4 derajat celsius dan bahkan skenario paling optimistis sekalipun masih akan mencapai 1,8 derajat celsius. Artinya, peningkatan suhu rata-rata masih akan terjadi bahkan jika emisi GRK berhasil diturunkan.
Untuk memastikan peningkatan suhu tak melebihi target yang disepakati, keseluruhan emisi GRK yang masih terjadi harus diserap. Ini yang dikenal sebagai konsep NZE. Tahun lalu Indonesia telah mengajukan strategi jangka panjang yang mengeksplorasi peluang di jalur menuju NZE pada 2060, atau lebih cepat. Terkait upaya menuju NZE ini, selain berkomitmen menjadikan sektor kehutanan dan berbasis lahan lainnya (FOLU) menjadi net-sink, pada 2030 kita menargetkan untuk mencapai puncak emisi (peak emission) GRK nasional melalui transisi energi serta berusaha agar dapat mencapai NZE lebih cepat sebelum 2060.
Namun, tantangannya tentu sangat besar, terutama dalam menjaga keseimbangan pengurangan emisi GRK dengan pertumbuhan ekonomi, keadilan, dan pembangunan ketahanan iklim. Di sisi lain, upaya adaptasi terhadap perubahan iklim juga masih harus diperbaiki, termasuk di dalamnya adaptasi dalam hal ketahanan pangan, ketahanan ekosistem, ketahanan air, kemandirian energi, kesehatan, permukiman perkotaan dan perdesaan, serta adaptasi spesifik untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Saya akan melanjutkan pesan penting Presiden Joko Widodo di COP26 Glasgow terkait komitmen Indonesia untuk terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim, dan bahkan dapat berkontribusi lebih cepat bagi NZE dunia.
Visi Indonesia dalam COP27
Saya memandang COP27 memiliki peran sangat penting. Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum ini, tak hanya untuk menyerukan ambisi, tetapi juga mendorong implementasi nyata, termasuk pemenuhan dukungan dari negara maju ke negara berkembang.
Saya akan melanjutkan pesan penting Presiden Joko Widodo di COP26 Glasgow terkait komitmen Indonesia untuk terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim, dan bahkan dapat berkontribusi lebih cepat bagi NZE dunia. Namun, komitmen Indonesia dan negara berkembang lainnya harus mendapat dukungan komitmen negara maju dalam hal pembiayaan maupun transfer teknologi. Ini penting karena selama ini negara maju yang telah mendapat banyak keuntungan dari kegiatan yang menghasilkan emisi GRK.
Terkait pembiayaan aksi iklim, saya juga memandang bahwa Indonesia perlu mendesak negara-negara maju untuk setidaknya menggandakan penyediaan pendanaan iklim kolektif mereka untuk adaptasi kepada negara berkembang dengan peta jalan yang konkret, termasuk pengaturan pendanaan pada kerugian dan kerusakan (loss and damages) yang akan didirikan di bawah UNFCCC.
Sebagai ahli dan praktisi dalam keuangan Islam, saya ingin mendorong dunia untuk memanfaatkan peluang pembiayaan green recovery dan aksi iklim melalui skema pembiayaan dan keuangan Islam. Saya berharap Indonesia dapat memimpin dengan memberi contoh.
Ilustrasi
Sebagai presiden G20 dan pada 2023 menjadi ketua ASEAN, Indonesia dapat menjadi memimpin yang memberi contoh. Sebagai presiden G20, Indonesia berhasil mendorong beberapa poin penting untuk perubahan iklim dan transisi energi. Dalam transisi energi, meski tak berhasil mencapai komunike, G20 Indonesia berhasil menghasilkan kesepakatan Bali Compact, yang bertujuan mempercepat transisi energi menuju energi bersih yang berkelanjutan.
Visi kita sebagai anggota ASEAN adalah menjadi pemimpin kawasan dalam mempercepat realisasi aksi iklim di tataran yang lebih nyata. Melalui kemitraan dengan Australia dan negara Asia lain, Indonesia juga akan memimpin upaya pengurangan emisi GRK dengan mempercepat transisi pemanfaatan energi terbarukan bukan saja untuk Indonesia, melainkan juga untuk Asia dan kawasan sekitarnya. Indonesia akan dapat berperan sebagai sumber utama energi bersih bagi wilayah Asia. Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese juga telah menyepakati kemitraan infrastruktur transisi energi dan ketahanan iklim.
Sebagai negara berkembang, posisi Indonesia juga sangat penting dalam mendorong semua transisi terkait perubahan iklim, termasuk transisi energi, agar dilakukan secara berkeadilan (just transition). Sebagai contoh, transisi energi sering lebih mengutamakan keberlangsungan pasokan energi untuk sektor ekonomi strategis yang berujung pada kepentingan skala besar, tetapi melupakan kelompok miskin dan rentan.
Pernyataan Paus Fransiskus ini jadi dorongan global untuk makin memperhatikan isu menjaga Bumi sebagai bagian dari ajaran agama dalam aksi iklim.
Transisi energi yang berkeadilan harus juga memperhatikan kesetaraan akses energi terbarukan bagi kelompok miskin dan rentan. Ketidaksetaraan akses pada gilirannya akan mengurangi kesempatan kelompok miskin dan rentan menikmati hasil aksi iklim, serta hanya menguntungkan kelompok yang lebih mampu.
Kelompok miskin dan rentan juga paling terdampak perubahan iklim seperti bencana hidrometeorologi. Untuk itu perlu upaya adaptasi, termasuk menata program perlindungan sosial agar lebih dapat memberikan perlindungan dan dukungan pada kelompok ini dari risiko kesejahteraan yang diakibatkan.
Kita perlu mendesak dunia agar aksi iklim mengambil langkah afirmatif untuk memastikan inklusivitas dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat miskin dan terpinggirkan, termasuk memastikan akses ke manfaat aksi iklim.
Indonesia dan dunia harus secara aktif melibatkan masyarakat yang selama ini terpinggirkan, termasuk kelompok perempuan, generasi muda, masyarakat pesisir hutan dan pantai, maupun masyarakat adat agar menjadi bagian penting dalam aksi iklim.
Bagi saya, aksi iklim juga tanggung jawab umat beragama. Alam dipercayakan kepada kita untuk dikelola dengan baik dan kewajiban kita bersama untuk melindunginya dari kerusakan.
Baca juga : Panggilan Pertobatan Laudato Si
Baca juga : Solidaritas Baru Menjaga "Ibu Bumi"
Sebagai pemimpin agama dan mewakili negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, saya sependapat dengan apa yang disampaikan Paus Fransiskus melalui Encyclical Letter ”Laudato Si” of The Holy Father Francis on Care for Our Common Home pada Juni 2015, bahwa respons kita terhadap degradasi lingkungan dan perubahan iklim tak hanya dapat ditentukan oleh sains, teknologi, atau ekonomi, tetapi juga merupakan kewajiban moral.
Pernyataan Paus Fransiskus ini jadi dorongan global untuk makin memperhatikan isu menjaga Bumi sebagai bagian dari ajaran agama dalam aksi iklim. Saya ingin mengundang para pemimpin agama di seluruh dunia untuk melawan perubahan iklim, karena darurat iklim mengharuskan kita semua mengambil tindakan segera untuk menyelamatkan planet ini terlepas dari keyakinan kita.
Semoga kehadiran kita dalam COP27 dapat mendorong tindakan nyata, memperkuat kolaborasi berdasarkan dialog untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Ma’ruf Amin,Wakil Presiden Republik Indonesia