Suntik "Setengah" Mati TV Analog
Pemerintah akan mematikan TV analog dan menghidupkan TV digital secara nasional. Ini merupakan pembaruan teknologi penyiaran televisi, yang digadang-gadang sejak beberapa tahun lalu. Sayang, belum bisa berjalan mulus.
Pada 2 November 2022 dini hari akan berlangsung sejarah baru pertelevisian Indonesia. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah akan mematikan TV analog dan menghidupkan TV digital secara nasional.
Bisa dikatakan, ini merupakan ”suntik mati analog” melalui program ”Analog Switch Off” atau ASO.
Tahap pertama, menurut rencana, diberlakukan pada 56 wilayah di 166 kabupaten/kota, di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Papua Barat.
Ini merupakan pembaruan teknologi penyiaran televisi, yang digadang-gadang sejak beberapa tahun lalu. Sayang, belum bisa berjalan mulus. Optimisme bahwa pada 2 November merupakan batas akhir operasional TV analog belum dapat direalisasikan karena berbagai kendala. Dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia, yang benar-benar siap ASO baru 222 lokasi, 292 lokasi lain menunggu distribusi STB (set top box).
Digitalisasi penyiaran memberikan manfaat maksimal bagi keberlangsungan dunia televisi, selain dapat memecah sistem monopoli, juga menghindari persaingan pada praktik penyelenggaraan penyiaran tidak sehat, yang ujungnya dapat mengganggu proses demokrasi.
Program ASO akan menghilangkan ketimpangan akibat dominasi pola kepemilikan media, jauh dari praktik konglomerasi oleh sekelompok pemodal. Dengan demikian, sudah selayaknya jika semua pihak mendukung pemerintah mewujudkan generasi baru siaran televisi digital di Tanah Air.
Baca juga : Siaran TV Digital: Teknologi, Tahapan, dan Proses Migrasi Siaran Televisi Digital
Baca juga : Respons Publik pada Digitalisasi Penyiaran
Memang, untuk mengubah sistem analog ke digital butuh dana cukup besar. Bagi stasiun televisi berskala lokal, ASO menjadi persoalan serius, terutama dalam menyiapkan biaya penyediaan infrastruktur. Sementara untuk televisi pemegang simulcast yang puluhan tahun sudah beroperasi secara analog terancam kerugian sebab sebagian peranti menjadi tak berfungsi. Itu sebabnya, Jepang dalam menerapkan perubahan pola analog ke digital tidak langsung ”cut off”.
Meski ada keharusan digitalisasi, Pemerintah Jepang langsung tidak mematikan semua televisi analog. Bahkan, Pemerintah Jepang membagikan decoder gratis atau semacam STB kepada masyarakat yang masih menerima siaran televisi analog. Peraturan digitalisasi harus diimbangi dengan anggaran yang cukup.
Cara bijak Jepang sesungguhnya juga dilakukan Indonesia. Pemerintah bertahun tahun mengulur waktu pelaksanaan ASO, menyediakan ruang diskusi, dan membagikan STB. Namun, ruang terbuka untuk kompromi dan negosiasi itu tetap harus ada batas waktu, dan penerapan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 sesungguhnya merupakan tenggat yang tidak boleh ditawar. Agar ”suntik mati” ASO tidak menjadi ”suntik setengah mati”.
Landasan hukum ASO
Dasar hukum untuk menghentikan TV analog tahap 1 adalah UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 60 A Ayat 1 menyebutkan, penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital. Pasal 2, migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud Ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat dua tahun sejak UU Cipta Kerja mulai berlaku.
Karena amanat UU, implementasi harus berjalan dengan segala konsekuensi. Kemenkominfo terus mengampanyekan ”suntik mati” televisi analog ini kepada masyarakat.
Dengan adanya landasan UU Cipta Kerja, seharusnya tidak boleh ada alasan apa pun untuk menjustifikasi bahwa transisi berjalan pelan. Perumusan peta jalan penyiaran digital menjadi strategis dan penting dalam mewujudkan digitalisasi penyiaran.
Desain kebijakan digitalisasi siaran televisi juga harus dilengkapi dengan pemetaan kondisi faktual, termasuk tantangan yang dihadapi, sehingga semua instrumen dan proses implementasi kebijakan berjalan tanpa kesalahpahaman yang bisa jadi batu sandungan.
Membangun industri penyiaran modern berbasis digital perlu pemetaan strategi industri ke depan, tetapi tetap dalam konteks melindungi kepentingan masa kini dan kebutuhan publik. Dukungan insentif dari pemerintah pusat dan daerah serta institusi nonpemerintah daerah sangat diperlukan. Kemenkominfo perlu ditemani untuk melewati jembatan transisi ini.
Perumusan peta jalan penyiaran digital menjadi strategis dan penting dalam mewujudkan digitalisasi penyiaran.
Sebagai bagian penataan frekuensi emas (golden frequency) dengan sumber daya bernilai tinggi tetapi terbatas, ASO harus menjamin keberlangsungan transisi. Menghasilkan penghematan frekuensi, perluasan akses internet di wilayah blank spot, peningkatan internet kecepatan tinggi 5G, serta dividen baru dalam bentuk keuntungan kanal yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan nasional lain. Misalnya, layanan penanganan mitigasi bencana dan pengembangan digitalisasi sektor pendidikan nasional sekaligus mendukung Indonesia masuk era ”digital economic”. Sisanya, 40 MHz, untuk kebutuhan penyiaran masa depan.
Digitalisasi penyiaran merupakan proses pengalihan dan kompresi sinyal analog menjadi kode biner, dengan menawarkan sistem frekuensi yang lebih efisien ketimbang teknologi analog. Efisiensi penggunaan pita frekuensi menjadi digital advantege dari peralihan analog ke digital akan membuahkan multiplier effect.
Perhitungan efisiensi seperti ini. Penggunaan frekuensi modul analog lebar pita frekuensi 8 MHz memancarkan 1 siaran, sementara pada modul digital 8 MHz memancarkan 5 siaran TV kualitas high definition atau 13 siaran TV kualitas standar definition. Dengan begitu, siaran resolusi HDTV dapat dipancarkan secara efisien dengan kualitas siaran lebih baik, menghilangkan interferensi, dan meminimalisasi suara dan gambar rusak. Transmisi audio, video, data dapat berlangsung bersamaan secara gratis.
Jalan terjal ASO?
Sejak surat Permenkominfo 07/PER/M.KOMINFO/3/2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, telah dilakukan uji coba teknologi penyiaran digital dan dilanjutkan dengan tahap penyiaran simulcast pada 2012.
Pemerintah juga mengeluarkan Permenkominfo 22/PER/- M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air) sebagai landasan formal percepatan digitalisasi. Kedua peranti hukum tersebut memunculkan berbagai penafsiran, menjurus menjadi benang kusut persoalan.
Diberlakukannya UU No 11/2020 yang mengisyaratkan dihentikannya sistem analog terestrial beralih ke siaran digital terestrial. Penggunaan pita frekuensi menjadi digital advantege menjadi milestone bagi perkembangan Industri Penyiaran Indonesia.
ASO juga bermakna sebagai jawaban posisi Indonesia menuju penyiaran digital, seperti termaktub dalam komitmen Kesepakatan Internasional Telecomunication Union (ITU) tahun 16 Juni 2006 di Geneva, Swiss. Ada 104 negara hadir dalam ”The Geneva Frequency Plan Agreement” tentang batas akhir siaran analog. Dengan penetapan 2 November sebagai batas akhir operasional TV analog, sesungguhnya merupakan puncak perjuangan. Namun, berbagai persoalan masih menggantung, salah satunya ketersediaan infrastruktur, yang akan menjamin pemerataan layanan siaran secara baik secara regional ataupun nasional.
Dengan penetapan 2 November sebagai batas akhir operasional TV analog, sesungguhnya merupakan puncak perjuangan.
Diharapkan dukungan semua pihak agar ”ASO total” dapat terwujud sehingga memberi insentif sistem penyiaran di Indonesia, seperti penghematan frekuensi, munculnya multichannel, dan keragamam fragmentasi program siaran.
Pemerintah telah menetapkan 8 pengelola multiplexing (Multiplexer) di Jakarta, yakni RCTI, SCTV, Trans TV, TV One, RTV, Berita Satu, Metro TV, dan TVRI. Jika satu pengelola Mux menggunakan modul digital memancarkan 5 siaran TV (HD) atau 13 siaran TV (SD), setidaknya minimal ada 40 channel HDTV dan 104 SDTV di wilayah layanan DKI Jakarta saja.
Dengan bertambahnya channel saat ASO nanti, tentu akan menghadirkan multiprogram siaran yang lebih segmented dengan genre tertentu. Konsekuensi ini akan menjamin hadirnya keragaman konten dan kepemilikan, seperti diamanahkan UU No 32/2020.
Keuntungan lain adalah terciptanya layanan internet cepat yang lebih merata, masyarakat dapat menerima siaran TV dengan kualitas resolusi gambar superior (detail), bandwidth lebih kecil untuk resolusi gambar tertentu, kompatibilitas dengan komputer dan internet, interaktivitas, kualitas audio unggul, serta konsistensi penerimaan pada jarak yang bervariasi sesuai dengan kondisi geografis kita.
Artinya, migrasi akan berdampak pada cakupan layanan siaran TV secara masif, termasuk ”blank spot area” dan daerah yang tidak menjadi target pasar TV swasta.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat sudah menghentikan siaran TV analog berpindah ke TV digital pada 2009. Lebih dari 85 persen wilayah dunia juga sudah mengimplementasikan televisi digital. Negara-negara lain dengan program ASO antara lain Jepang pada 2011, Korea Selatan 2012, China dan Inggris tahun 2012.
Di kawasan Asia Tenggara, Brunei Darussalam 2014, Malaysia 2015, disusul Singapura, Thailand dan Filipina serentak pada tahun yang sama, serta Vietnam pada 2020.
Langkah strategis
Pemerintah harus bekerja keras bersama dunia penyiaran nasional mengatasi ketertinggalan, terutama dalam hal pendistribusian STB di 292 lokasi. Perlu memikirkan bagaimana mekanisme perizinan, termasuk mengatur mekanisme kerja sama pengelolaan multiplekser, baik bagi Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), atau lembaga penyiaran khusus, agar menjamin prinsip kesetaraan dan keadilan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Digitalisasi penyiaran pada tahun 2022 tentu tidak hanya sekadar dimaknai sebagai peralihan teknologi semata, tetapi juga wujud komitmen negara dalam memajukan dunia pertelevisian di Indonesia. Hadirnya diversity of cotent dan diversity of ownership dalam penyiaran digital dimaknai sebagai upaya pencerdasan seluruh masyarakat Indonesia.
Seperti diketahui, saat ini sekurang-kurangnya ada 66 persen rumah tangga (setara 44.5 juta rumah tangga) yang akan terdampak ASO.
Pemilik TV analog tetap dapat menikmati siaran TV digital dengan bantuan STB. Bantuan STB perlu untuk rumah tangga miskin ekstrem. Bantuan STB diberikan oleh 11 stasiun TV Swasta yang menjadi penyelenggara multiplexing (Mux) dan sebagian bantuan dari pemerintah melalui Kemenkominfo.
Eko Wahyuanto Analis Kebijakan Ahli Madya Kemkominfo dan Dosen Pancasakti University Bekasi