Dalam pengarahan Presiden Jokowi pada jajaran pimpinan Polri, selain bingkai konteks besar, tecermin paduan karakteristik gaya komunikasi. Di banyak bagian, warna LCC bahkan menonjol, dibarengi ekspresi wajah, intonasi,
Oleh
Eduard Lukman
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Para pejabat Polri yang hadir dalam acara Pengarahan Presiden kepada Pati Mabes Polri, Kapolda, dan Kapolres Se-Indonesia, di Istana Negara, Jumat (14/10/2022). Sebanyak 559 pejabat Polri mengikuti acara ini. Hadir juga Komisioner Kompolnas pada acara ini. KOMPAS/HERU SRI KUMORO 14-10-2022
Presiden Joko Widodo mengadakan pertemuan dengan jajaran pimpinan Polri di Istana Negara. Pengarahan terkait keprihatinan atas menurunnya kepercayaan publik terhadap Polri.
Peristiwa itu menjadi headline Kompas (Sabtu, 15/10/2022), ”Presiden Perintahkan Polri Bersih-bersih”. Tajuk Rencana Kompas, ”Peringatan Presiden untuk Polri” (17/10/ 2022), menilai pertemuan itu langkah tidak biasa, tak hanya dengan Kapolri, tetapi melibatkan semua jajaran. Para perwira diminta tidak memakai topi, tidak membawa tongkat komando dan telepon genggam. Ini memberi konteks khas bagi pertemuan tersebut.
Komunikasi itu berlangsung dalam konteks budaya, lingkungan fisik, suasana, sosiorelasional, dan perseptual (James W Neuliep, Intercultural Communication: A Contextual Approach, 2015). Konteks tersebut membawa implikasi pada gaya berkomunikasi.
Ahli antropologi Edward T Hall memilah gaya high-context communication (HCC) dan low-context communication (LCC) (Beyond Culture, 1976).
HCC umumnya dominan di masyarakat Timur, ditandai dengan pesan yang implisit, tidak langsung, bernuansa, tersirat. Makna terkait dengan konteks dan relasi sosial. Kritik terbuka dihindari demi keharmonisan hubungan.
Sementara LCC lazim di Barat, bercirikan pesan verbal yang eksplisit, langsung, jelas, tersurat, kadang ada pengulangan yang tegas (Hall, 1976; John G. Oetzel, Intercultural Communication: A Layered Approach, 2009; Erin Meyer, The Culture Map, 2014).
Kedua gaya ini tidak selalu terpisah eksklusif, karakteristik keduanya bisa hadir berkombinasi (Hall, 1976; Larry A Samovar, dkk, Communication Between Cultures, 2010). Secara umum, masyarakat Indonesia digolongkan memakai gaya HCC (Erin Meyer, 2014; Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, 2003).
Dalam pengarahan Presiden Jokowi pada jajaran pimpinan Polri, selain bingkai konteks besar, tecermin paduan karakteristik gaya komunikasi. Di banyak bagian, warna LCC bahkan menonjol, dibarengi ekspresi wajah, intonasi, dan sikap tubuh Presiden. Bisa dimaklumi, keprihatinan pada kepercayaan dan ”Gezag” Polri menuntut arahan yang eksplisit, jelas, tegas, dan repetitif.
Semoga pengarahan Presiden memulihkan kepercayaan publik kepada Polri. Polri yang selalu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Polri adalah ”Rastra Sewakottama”, ”Abdi Utama Nusa dan Bangsa”.
Eduard LukmanJalan Warga, RT 014 RW 003, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
”Cuci Tangan”
Stadion Kanjuruhan
Saat pandemi Covid-19, cuci tangan menjadi prosedur baku protokol kesehatan. Dalam arti harfiah, cuci tangan adalah upaya kesehatan untuk membersihkan tangan dari kotoran dan kuman.
Makna cuci tangan menjadi lain terkait perilaku. Cuci tangan menggambarkan perilaku yang tidak bertanggung jawab, ingin tampak bersih dari persoalan.
Kasus tewasnya 133 penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022, membuat banyak pihak saling tuding dan saling lempar tanggung jawab. Investigasi oleh pemerintah cq. Polri, untuk sementara menetapkan 6 tersangka, yang dianggap paling bertanggung jawab atas tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Polemik muncul mencari pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pertandingan. PT LIB, PSSI, panitia pertandingan, hingga pihak keamanan (Polda Jatim dan Polres Malang).
Saling hindar dan tak mau disalahkan sendirian mengemuka. Tidak tampak sikap sportif dan ksatria mengakui Tragedi Kanjuruhan sebagai kesalahan bersama.
Sangat ironis. Dunia olahraga yang menjunjung tinggi nilai sportivitas justru memunculkan sosok-sosok yang tidak sportif.
Mengakui kesalahan, sekecil apa pun, adalah sikap yang diharapkan masyarakat, terutama oleh keluarga korban. Cuci tangan itu tidak terpuji.
Hingga 133 orang tewas akibat kelalaian, kecerobohan, bahkan ketidakprofesionalan. Inilah yang tersaji di depan mata kita.
Budi Sartono SoetiardjoCilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung