Skala Ekonomi Kendaraan Listrik
Saat ini angka penjualan mobil listrik masih terlampau kecil untuk mendukung skala ekonomis. Ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dapat dibangun antarpemain BUMN atau melibatkan semua pemain, baik BUMN maupun swasta.
Menarik mencermati ulasan berjudul ”Lebih Boros dengan Mobil Listrik” (Kompas, 6/10/2022) dan Tajuk Rencana ”Menimbang Pembelian Kendaraan Listrik” (Kompas, 10/10/2022).
Disebutkan bahwa harga mobil listrik yang relatif lebih mahal menghapus keunggulan biaya operasional harian yang sebetulnya jauh lebih rendah ketimbang mobil bahan bakar minyak (BBM) konvensional.
Biaya operasional dan perawatan (O&P) mobil BBM konvensional sebenarnya lebih mahal 300 persen lebih dibandingkan dengan mobil listrik atau biaya O&P mobil listrik lebih rendah sekitar 76 persen ketimbang mobil BBM konvensional selama lima tahun. Biaya O&P mobil listrik lima tahun Rp 23,3 juta, sementara biaya O&M mobil BBM konvensional jauh lebih tinggi, Rp 97,3 juta.
Namun, biaya investasi awal mobil listrik ternyata jauh lebih tinggi ketimbang mobil BBM konvensional. Mobil listrik memiliki rerata harga Rp 617,6 juta, sedangkan rerata harga mobil BBM Rp 420 juta. Alhasil, biaya kepemilikan total (total cost of ownership/TCO) mobil listrik selama lima tahun Rp 640,9 juta dan mobil BBM Rp 517,3 juta. Artinya, TCO mobil listrik lebih mahal 24 persen ketimbang mobil BBM.
Baca juga : Lebih Boros dengan Mobil Listrik
Baca juga : Menimbang Pembelian Kendaraan Listrik
Dapat dipahami jika biaya O&P mobil listrik jauh lebih murah dibandingkan dengan mobil BBM konvensional. Pasalnya, mobil dengan internal combustion engine yang mengolah BBM menjadi energi gerak memiliki jumlah komponen bergerak (moving part) amat banyak, yakni sekitar 2.000 unit, sedangkan pada mobil listrik hanya 20 unit. Mobil listrik tak butuh pelumas, tak beda dengan kipas angin.
Dengan anggapan bahwa mobil yang dibeli masyarakat ketika survei di atas merupakan pembelian tahun lalu atau awal 2022, untuk mobil BBM konvensional, budget Rp 420 juta kira-kira seharga mobil Toyota Innova keluaran 2021 yang dengan kapasitas tangki 55 liter, jarak tempuh lebih dari 550 kilometer (km) sekali isi tangki penuh.
Sementara budget Rp 617 jutaan kira-kira seharga mobil Nissan Leaf Electric tahun lalu, dengan baterai litium-ion kapasitas 40 kWh dan jarak tempuh 311-400 km. Alternatifnya, mobil Hyundai Ioniq tipe Prime berdaya baterai 38,3 kWh dan jarak tempuh 373 km.
Perbandingan sesama jenis multipurpose vehicle (MPV) antara mobil listrik dan mobil BBM konvensional ini lebih kurang apple to apple; karena dilihat dari tipe, kapasitas penumpang, dan jarak tempuh (sekali isi ulang/isi BBM kapasitas penuh) tak terlalu jauh berbeda.
Dari perspektif ekonomi institusional, regulasi emisi yang kian ketat menjelang 2030 akan mendorong meningkatnya produksi dan penjualan mobil listrik secara signifikan menuju skala ekonomis (economies of scale). Secara teoretis, dalam jangka panjang, sejalan dengan ekspansi skala produksi, biaya produksi per unit akan kian menurun, hingga satu titik terendah di antara berbagai level minimum sebelumnya (titik ”minimum”). Ini, antara lain, didukung oleh perkembangan teknologi industri IR. 4.0. Turunnya biaya produksi per unit ketika skala produksi naik hingga akhirnya mencapai titik ”minimum” secara substansial adalah skala ekonomis.
Dalam hal baterai, misalnya, bukti empiris menunjukkan, harga baterai litium-ion cenderung menurun dari 1.126 dollar AS per kWh (2010) menjadi 300 dollar AS per kWh (2015) dan 150 dollar AS per kWh (2020) serta diprediksi menjadi 80 dollar AS per kWh (2030).
Tak jauh berbeda dengan biaya rerata baterai litium-ion, berbagai faktor akan mendorong produksi mobil listrik pada skala produksi yang ekonomis dalam jangka panjang, khususnya pada 2030 dan setelahnya, sehingga biaya manufaktur kendaraan listrik per unit terus menurun karena menguatnya permintaan (demand) menuju fase konsumsi massal (mass consumption).
Bloomberg, tahun lalu, meramalkan biaya produksi mobil listrik akan lebih murah daripada mobil BBM konvensional pada 2027. Pada 2026, mobil listrik berukuran lebih besar, seperti sedan dan SUV, akan lebih murah biaya produksinya daripada mobil BBM/diesel.
Turunnya biaya produksi baterai dan biaya manufaktur mobil listrik akan menjadikan harga rerata mobil listrik lebih murah.
Turunnya biaya produksi baterai dan biaya manufaktur mobil listrik akan menjadikan harga rerata mobil listrik lebih murah. Tahun lalu harga eceran sebelum pajak mobil listrik berukuran medium 33.000 euro, dibandingkan 18.600 euro untuk mobil BBM konvensional. Pada 2026, keduanya harganya akan sama, yakni 19.000 euro.
Pada 2030, harga sebelum pajak mobil listrik yang sama akan turun menjadi 16.300 euro, sedangkan mobil BBM konvensional 19.900 euro. Prediksi Bloomberg ini tampak berkaitan erat dengan agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan komitmen untuk mereduksi emisi sebesar 45 persen dari level 2010, sesuai Perjanjian Paris dan hasil KTT COP 26 di Glasgow (2021).
Dengan demikian, secara global, 2030 akan menjadi milestone dimulainya fase konsumsi massal kendaraan listrik. Fase ini secara simultan akan berlangsung bersamaan dengan fase produksi massal (mass production) yang memungkinkan skala ekonomis produksi mobil listrik.
Ekosistem nasional
Indonesia memiliki beberapa alternatif strategi untuk mendorong produksi dan/atau penggunaan mobil listrik menuju fase mass consumption/production untuk mencapai skala ekonomis.
Dari sisi suplai, strategi terbaik adalah dengan membangun ekosistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir, sejak penambangan bijih nikel/bauksit, smelter, manufaktur baterai listrik (battery pack), hingga manufaktur kendaraan listrik.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia untuk mendukung produksi baterai mobil listrik, di samping cadangan bauksit yang juga salah satu terbesar di dunia (2,9 miliar ton) untuk mendukung kebutuhan aluminium dalam manufaktur mobil listrik.
Dengan demikian, tepat seperti dikemukakan Presiden Joko Widodo, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memiliki industri baterai dan mobil listrik secara terintegrasi. Hal ini ditandai dengan dimulainya pembangunan pabrik baterai kendaraan di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, Jawa Tengah, oleh konsorsium LG Solution bekerja sama dengan IBC dan PT Antam.
Sesuai penjelasan Presiden, penambangan dan peleburan nikel berlokasi di Halmahera, industri pemurnian nikel sulfat dan pemrosesan precursor/katodanya di KIT Batang, pabrik sel baterai dan battery pack di Karawang (beroperasi 2023), dan pabrik mobil listriknya di Cikarang (sudah mulai beroperasi).
Kapasitas produksi di KIT Batang direncanakan 3,5 juta unit per tahun atau 200 gigawatt per tahun. Kapasitas sebesar itu cukup untuk mendukung produksi mobil listrik pada level yang ekonomis, baik untuk pasar nasional maupun global.
LG Energy Solution berkongsi dengan Hyundai Motor Group juga tengah membangun pabrik sel baterai litium-ion NCMA dengan total kapasitas 10 GWh atau 150.000 unit per tahun dengan nilai investasi 1,1 miliar dollar AS. Produk sel baterai ini kompatibel dengan platform pada mobil listrik Hyundai.
Pilihan jalur cepat adalah dengan mengakuisisi perusahaan pabrikan mobil listrik di luar negeri untuk membangun ekosistem mobil listrik nasional.
Hyundai Motor Manufacturing diketahui telah membangun pabrik mobil listrik di Deltamas, Cikarang, dan telah diresmikan Presiden Jokowi pada 16 Maret 2022. Pabrik ini direncanakan berkapasitas 250.000 unit per tahun dan saat ini memproduksi model Hyundai Ioniq 5. Perlahan tapi pasti, pabrikan asal Korea Selatan ini tampak mengamankan rantai pasoknya, terutama untuk mengantisipasi tingginya permintaan pada 2030.
Sementara itu, pabrik Wuling Motors telah beroperasi sejak Agustus 2022 dan memproduksi Wuling Airev. Pabrikan asal China ini nanti tentu tak kesulitan pasokan baterai dengan telah terbangunnya pabrik baterai milik investor China di Morowali, Sulawesi Tengah.
Ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dapat dibangun antarpemain BUMN dan yang melibatkan semua pemain, baik BUMN maupun swasta/asing (ekosistem nasional). Pilihan jalur cepat adalah dengan mengakuisisi perusahaan pabrikan mobil listrik di luar negeri untuk membangun ekosistem mobil listrik nasional.
Sebelumnya, Indonesia Battery Corporation (IBC) gagal mengakuisisi StreetScooter, pabrikan kendaraan listrik asal Jerman yang kemudian diakuisisi oleh Odin Automotive. Kini, Holding Company BUMN Pertambangan, yakni MIND ID, tengah merintis kerja sama dengan pabrikan mobil listrik dari Inggris, Arrival Ltd, untuk membangun pabrik mikro baterai dan mengembangkan mobil listrik di Indonesia.
Pilihan jalur yang mungkin agak lambat adalah melanjutkan konsorsium yang beranggotakan PT Pindad, LEN, dan sejumlah perguruan tinggi untuk pengembangan mobil listrik nasional. PT Pindad telah membuat prototipe mobil listrik (baik tipe komersial maupun militer) dan motor listrik yang pernah diperkenalkan di Sirkuit Mandalika tahun lalu.
ilustrasi
Sisi permintaan
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mulai mendongkrak sisi permintaan. Saat ini angka penjualan mobil listrik masih terlampau kecil untuk mendukung skala ekonomis. Berdasarkan data Gaikindo, selama periode Januari-Juli 2022, penjualan kendaraan listrik murni (baterry electric vehicle/ BEV) sebanyak 626 unit, sedangkan total penjualan mobil mencapai 561.287 unit. Sebelumnya, angka penjualan BEV mencapai 812 unit (2019), 125 unit (2020), dan 687 unit (2021).
Untuk mendongkrak permintaan, diterbitkan Inpres No 7/2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di instansi pemerintah pusat dan daerah.
Kementerian Perhubungan, misalnya, selain telah mengimplementasikan penggunaan KBLBB di lingkungan kementerian sendiri sebelum terbitnya inpres tersebut, dapat mendorong penggunaan KBLBB pada bandar udara untuk berbagai operasi di apron bandara, serta menyediakan charging stations. Sejumlah bandara diketahui telah bekerja sama dengan perusahaan transportasi dalam penggunaan bus listrik dan mobil taksi listrik untuk transportasi dari dan ke bandara.
Itu saja belum cukup, masih dibutuhkan paket-paket insentif fiskal dan nonfiskal untuk menstimulasi penggunaan KBLBB, termasuk untuk impor.
Alhasil, selain faktor teknologi dan modal, regulasi (emisi, pajak) dan kebijakan insentif/fiskal memainkan peran penting untuk mengurangi penggunaan mobil BBM konvensional serta menstimulasi produksi dan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia dalam rangka akselerasi transisi menuju fase konsumsi massal yang cukup tinggi.
Fase ini memungkinkan skala ekonomis dalam produksi kendaraan listrik di Indonesia. Maka, diperlukan desain institusional yang tepat, baik di level pemerintahan, pasar, maupun korporasi dalam rangka membangun ekosistem kendaraan listrik menuju skala ekonomis.
Wihana Kirana Jaya Staf Khusus Menteri Perhubungan
Wihana Kirana Jaya