Mewaspadai Bencana Kelaparan
Setelah hampir seperempat abad usia reformasi, kebijakan ekonomi kerakyatan menuai kegagalan dalam upaya membuka pintu selebar-lebarnya untuk mendongkrak kesejahteraan petani.
Menjelang peringatan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan dunia tentang ancaman krisis pangan global.
Lewat sidang ke-77 Majelis Umum yang digelar akhir September 2022, PBB mengingatkan, invasi Rusia ke Ukraina telah menimbulkan krisis pupuk global dan bakal berdampak pada ketersediaan pangan. Setidaknya dua miliar penduduk dunia, yang sebagian besar berada di kawasan Asia, berpotensi terancam bencana kelaparan.
Beragam aspek terkait isu defisit pangan itu telah membebani seluruh negara di dunia. Di beberapa negara, dampaknya lebih buruk. Sekitar 200 juta orang di 53 negara kini mengalami kelaparan akut. Sekitar 26 juta anak berisiko mengalami gizi buruk, dan masyarakat Indonesia sebagian mengalaminya. Diduga tren penurunan prevalensi tengkes (stunting) di Indonesia akan mengalami pelambatan setelah menyentuh angka 24 persen.
Baca juga : Krisis Pangan Masalah Kemanusiaan
Baca juga : Krisis Pangan Akut Dikhawatirkan Terjadi
Krisis pangan dan kelaparan gizi menjadi persoalan global yang perlu diwaspadai dan memerlukan solusi berkelanjutan. Presidensi G20 Indonesia meletakkan isu defisit pangan sebagai topik utama pertemuan G20 di Bali bulan November 2022, mengingat harga pangan yang kian mahal belakangan ini.
Kehidupan petani lokal yang kian miskin juga memberi dampak pada kalangan orang muda dari generasi milenial, yang menjadi tak tertarik lagi menekuni pekerjaan di sektor pertanian.
Konsekuensi logisnya, ancaman kelaparan tidak lagi hanya bersemayam di Afrika, seperti Somalia, Nigeria, Sudan Selatan, dan Yaman, yang lima tahun lalu rakyatnya mengalami bencana kelaparan. Jika tidak ada bantuan negara-negara asing yang peduli penderitaan mereka, sekitar 20 juta orang terancam meninggal dunia.
Kemajuan iptek belum berdampak
Tragedi kelaparan ini hendak mengingatkan kita bahwa kemajuan ilmu dan teknologi pertanian belum berdampak signifikan pada penguatan ketahanan pangan global. Rawan pangan masih kerap terjadi di negara miskin, meski di negara-negara maju melimpah stok pangan. Pertanian tradisional masih berkutat dengan teknologi lokal untuk memproduksi bahan pangan.
Bahkan, petani lokal di Indonesia sering mengalami gagal panen karena faktor cuaca ekstrem yang mendorong mereka kerap meninggalkan sektor pertanian dan berimigrasi ke kota setiap pasca-Lebaran guna mencari nafkah dan kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Pemerintah telah berupaya keras mengatasi kelaparan dan menurunkan jumlah orang miskin. Namun, tragedi kemanusiaan ini masih tetap bersemayam di sekitar kita. Kelaparan di Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua, pada pertengahan tahun ini memberi sinyal bahwa negeri agraris ini masih sering mengalami krisis pangan.
Krisis pangan tahun ini menyebabkan setidaknya empat orang meninggal dunia dan ratusan lain terdampak. Tragedi kelaparan ini membangkitkan memori kita tentang kejadian pertengahan 2015, yakni ketika masyarakat di tiga kabupaten di Papua, yaitu Lanny Jaya, Puncak Jaya, dan Nduga, mengalami ancaman kelaparan selama tiga minggu.
Secara nasional, tidak kurang dari lima juta anak-anak tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena kelaparan dan mengalami gizi kurang (buruk)
Cuaca ekstrem dengan suhu udara minus tiga derajat celsius pada malam hari telah merusak tanaman umbi-umbian sebagai sumber bahan pangan di sana. Saat itu, sekitar 10.000 warga terancam kelaparan dan 11 warga meninggal dunia karena tidak sanggup menghadapi hujan es dan salju.
Di negeri yang dikenal sebagai lumbung pangan dunia ini, sebagian warga harus meregang nyawa karena kelaparan. Secara nasional, tidak kurang dari lima juta anak-anak tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena kelaparan dan mengalami gizi kurang (buruk).
Defisit pangan dan kelaparan gizi, selain terjadi di Papua, juga muncul di Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan di daerah lain. Rakyat miskin, hampir miskin, dan setengah miskin jumlahnya menurut Bank Dunia masih sekitar 120 juta jiwa dengan tingkat pendapatan hanya 2 dollar AS per hari.
Fakta masih tingginya jumlah rakyat miskin (ekstrem) tersebut memberi arti bahwa pemerintah belum hadir sepenuhnya untuk mengatasi kondisi tersebut lewat perbaikan akses dan penyediaan lapangan kerja baru.
Kenaikan harga sejumlah bahan pangan telah memberi efek domino terhadap kenaikan jumlah orang miskin.
Laju kenaikan harga pangan yang tinggi semakin membebani hidup dan kehidupan wong cilik. Asumsi ini sejalan dengan tesis Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, yang menyebut kelaparan terjadi bukan semata karena bahan pangan yang kurang, melainkan juga karena rendahnya akses pangan akibat minim daya beli. Ketersediaan pangan secara nasional tidak cukup sakti menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dan individu.
Restriksi pangan—yang kian marak dilakukan sejumlah negara pengekspor komoditas pangan—menyebabkan kian mendesak bagi kita untuk membangun lumbung pangan di setiap desa di Tanah Air. Presiden Joko Widodo sering mengingatkan, di tengah krisis pangan global perlu langkah antisipasi berkelanjutan agar pelanggaran hak asasi manusia di bidang pemenuhan gizi tidak terjadi.
Bencana kelaparan berhulu dari resultante ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan pendidikan.
Desa pangan beragam dan bergizi
Bencana kelaparan berhulu dari resultante ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan pendidikan. Mutu sumber daya manusia semakin menurun di desa karena laju urbanisasi kian kencang. Akhirnya, desa dan sektor pertanian menjadi sumber kemiskinan.
Kesejahteraan petani sebagai outcome ketahanan pangan kian terabaikan. Warga miskin di desa dan sebagian besar buruh tani harus memenuhi kebutuhan pangannya dengan membeli. Ironis! Bermukim di sentra-sentra pertanian, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka tidak mandiri.
Pemerintah perlu menetaskan kebijakan pangan yang membumi agar dapat mengubah desa-desa di Tanah Air menjadi pusat lumbung pangan yang beragam dan bergizi, dari hulu ke hilir.
Setelah hampir seperempat abad usia reformasi, kebijakan ekonomi kerakyatan menuai kegagalan dalam upaya membuka pintu selebar-lebarnya untuk mendongkrak kesejahteraan petani. Penyebabnya, pemerintah belum serius membangun infrastruktur penguatan kedaulatan pangan berkelanjutan, yang dimulai dari desa.
Untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045, program Nawacita yang diusung pemerintahan Joko Widodo sejak tahun 2014— salah satunya dengan membangun dari pinggir—harus bisa terwujud melalui lumbung desa pangan beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA). Lumbung pangan B2SA ini menyediakan bantalan pangan sumber protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.
Landasan kebijakannya jelas, yaitu Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 yang mewajibkan minimal 20 persen atau Rp 13,6 triliun dana desa 2022 untuk ketahanan pangan (A Halim Iskandar, 2022). Kebijakan yang merekognisi ketahanan pangan desa ini akan memadukan proses pertanian on farm, pasca-panen, dan proses primer sederhana yang dikelola badan usaha milik desa atau koperasi setempat.
Keberhasilannya dapat mempercepat Indonesia berdaulat pangan untuk mengerem laju stunting yang menjadi persoalan gizi saat ini.
Masalah gizi di Indonesia bukan semata disebabkan oleh kurangnya produksi pangan.
Ketergantungan pada impor
Masalah gizi di Indonesia bukan semata disebabkan oleh kurangnya produksi pangan. Persoalan utama selain kemiskinan yang memicu tumpulnya daya beli wong cilik juga didorong oleh faktor perilaku masyarakat yang bias dalam memilih, mengolah, dan menyajikan makanan. Pengetahuan mereka tentang gizi keluarga relatif masih kurang sehingga membutuhkan literasi pangan dan gizi melalui desa B2SA.
Secara faktual, di berbagai daerah masih kerap ditemukan kasus gizi kurang meski secara ekonomi memiliki rupiah untuk aksesibilitas pangan. Namun, minimnya pemahaman terhadap pangan B2SA mendorong munculnya kembali kasus gizi kurang dan menjadi sebuah fenomena puncak gunung es.
Persoalan ini harus segera ditangani untuk menyelamatkan gunung esnya, yaitu janin, ibu hamil, dan bayi dengan usia 1.000 hari pertama, sebelum mereka menjadi generasi hilang (lost generation). Ketika harga pangan semakin menjauh dari daya beli masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan, kecukupan gizi harus dipastikan ketersediaannya (Sibuea, 2022).
Ancaman kelaparan tidak dapat diselesaikan hanya dengan sekadar meningkatkan pendapatan atau memberikan lapangan pekerjaan. Bangsa ini memerlukan upaya yang lebih dahsyat lagi, yaitu perubahan budaya.
Kian tingginya ketergantungan kita pada produk pangan impor, misalnya, adalah kelalaian pemerintah daerah yang lebih sibuk mengurusi agenda politik pilkada ketimbang mengurusi politik teknoagroindustri pangan lokal. Pertanian rakyat yang menjadi motor lumbung desa B2SA diposisikan hanya sebagai usaha ekonomi yang sifatnya inferior.
Ke depan, sektor pertanian patut dijadikan landasan peradaban yang dapat memosisikan warga untuk lebih mencintai produk pangan lokal berbasis B2SA ketimbang pangan impor. Semoga!
Posman Sibuea Guru Besar Tetap di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Pengurus Pusat PATPI, Anggota Pokja Ahli Pangan di Badan Pangan Nasional