Menghargai Pangan, Menghormati Manusia dan Alam
Kesenjangan akses pangan dapat terjadi secara struktural. Ada monopoli produksi dan distribusi pangan oleh industri agribisnis yang hanya mementingkan profit. Petani kecil dan orang miskin menjadi kelompok terpinggirkan.
Hari Pangan Sedunia tahun 2022 yang jatuh pada tanggal 16 Oktober ini masih dibayang-bayangi oleh berbagai krisis kemanusiaan global.
Kita belum sepenuhnya keluar dari krisis pandemi Covid-19 dengan berbagai macam dampaknya. Sementara krisis-krisis kemanusiaan lainnya, seperti konflik, perang, krisis iklim, naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan ketegangan-ketegangan hubungan internasional, masih terus berlangsung.
Situasi ini makin diperburuk dengan adanya perang Rusia-Ukraina, yang menyebabkan terganggunya produksi dan distribusi pangan serta krisis energi. Harga bahan bakar dan pangan dunia melonjak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan bahwa harga pangan global berpotensi meningkat hingga 20 persen menuju akhir 2022.
Dalam situasi dunia seperti ini, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengangkat tema Hari Pangan Sedunia tahun ini: ”Jangan Ada yang Ditinggalkan” (Leave No One Behind). Tema ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa meski sudah ada kemajuan dalam membangun dunia yang lebih baik, masih banyak orang yang ditinggalkan.
Masih banyak orang yang tak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan pembangunan manusia.
Baca juga : Mewaspadai Bencana Kelaparan
Baca juga : Becermin dari Sejarah Inflasi Pangan
Fakta ironis
Menurut Our World in Data, pada 2019 ada 8,9 persen atau sekitar 663 juta penduduk dunia masih mengalami kekurangan gizi dan sekitar 697 juta orang mengalami rawan pangan. Sementara menurut FAO, pada 2021 jumlah penduduk dunia yang mengalami kelaparan sebanyak 767 juta jiwa.
Situasi di Indonesia tak lebih baik. Menurut Global Hunger Index (GHI) tahun 2021, tingkat kelaparan di Indonesia masih berada di level 18 (skala 0-100), nomor tiga tertinggi di Asia Tenggara, setelah Timor Leste (32,4 persen) dan Laos (19,5 persen). Pada 2021 persentase penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan sebesar 6,1 persen atau sekitar 17 juta jiwa. Masih ada 8,49 persen atau sekitar 23,5 juta penduduk Indonesia yang mengalami kerawanan pangan (BPS).
Sementara masih banyak yang kelaparan dan kekurangan gizi, banyak orang Indonesia masih membuang makanan. Sisa makanan mendominasi jenis sampah di Indonesia, mencapai hampir 40 persen dari semua jenis sampah (KLHK, 2020).
Ilustrasi
Harian Kompas (19/5/2022) menghitung pemborosan makanan mencapai Rp 330 triliun lebih per tahun. Setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara dengan Rp 2,1 juta per tahun. Seandainya makanan tak dibuang sia-sia, puluhan bahkan ratusan juta orang lapar di Indonesia akan bisa terselamatkan.
Paus Fransiskus mengingatkan bahwa saat ini sebenarnya tersedia makanan yang cukup untuk semua orang, tetapi tidak semua orang mendapatkan akses. Di beberapa wilayah di dunia, makanan terbuang dan dikonsumsi secara berlebihan (World Food Day, 2019).
Ketidakcukupan pangan
Masalah kelaparan dan ketidakcukupan pangan disebabkan oleh tiga hal yang saling terkait: ketersediaan, akses, dan keamanan makanan (safety).
Dari tahun 1960-an hingga 1980-an, program Revolusi Hijau berkembang pesat di Asia dan Amerika Latin. Pemerintah dan lembaga-lembaga donor percaya bahwa program yang dikembangkan di negara-negara berkembang pada waktu itu mampu menyediakan pasokan pangan yang mencukupi.
Dengan upaya-upaya masif pengembangan metode dan teknologi pertanian, program mampu memproduksi bahan pangan berlipat ganda dalam waktu singkat.
Namun, berbagai tempat yang dulu dapat meraup keuntungan besar dari program ini kini dilanda kerawanan pangan karena teknik pertanian baru yang tak ramah lingkungan dan ramah sosial. Pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya biaya hidup, kian rentan dan berkurangnya sumber daya alam (SDA), serta perubahan iklim menghambat produktivitas pertanian yang menyebabkan kenaikan harga pangan.
Petani kecil dan orang miskin pada umumnya menjadi kelompok yang terpinggirkan.
Di samping ketersediaan pangan, masalah kelaparan dan kerawanan pangan juga dapat disebabkan oleh ketidakadilan dalam mendapatkan akses pangan. Ada banyak orang yang kelaparan di satu pihak, tetapi masih banyak makanan terbuang di lain pihak, adalah bukti masih ada kesenjangan untuk mendapatkan akses pangan.
Kesenjangan akses pangan ini dapat juga terjadi secara struktural. Adanya monopoli produksi dan distribusi pangan oleh industri-industri agribisnis yang hanya mementingkan profit dengan mengabaikan people (sosial) dan planet (lingkungan) makin melebarkan kesenjangan. Petani kecil dan orang miskin pada umumnya menjadi kelompok yang terpinggirkan.
Penggunaan teknologi, pupuk, dan pestisida yang tidak ramah lingkungan demi mengejar produktivitas jangka pendek terbukti merusak tanah. Dalam jangka panjang, tanah menjadi kurang produktif.
Kesenjangan sering juga terjadi dengan adanya monopoli penjualan bahan pangan. Harga pangan dipermainkan demi keuntungan pribadi atau kelompok kecil. Adanya hak paten bibit, pupuk, dan pestisida menutup akses bagi petani kecil untuk dapat swasembada pangan dan meningkatkan hasil produksi secara berkelanjutan.
Petani kecil dibuat bergantung pada produk benih paten pabrikasi yang harus mereka beli setiap kali mau menanam. Ditambah lagi dengan rendahnya produksi akibat perubahan iklim dan merosotnya harga produksi petani di musim panen. Kondisi ini kian diperburuk dengan adanya kebijakan pemerintah dan pasar yang tak memihak kepada petani kecil.
Di samping ketersediaan dan akses bahan makanan, keamanan makanan (food safety) juga perlu diperhatikan. Keamanan makanan harus dipastikan agar makanan atau minuman tidak terkontaminasi oleh zat asing, biologis ataupun kimia, sebelum dikonsumsi. Tak bisa dimungkiri, masih ada yang mengandalkan makanan dari sisa makanan yang dibuang di tempat sampah. Jelas keamanan makanan jadi tantangan besar.
Menurut data Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan di Indonesia tahun 2021 melemah dibandingkan 2020, yakni dari level 61,4 menjadi 59,2. Ada empat indikator untuk mengukur ketahanan pangan: keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan pangan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).
Kebijakan perlu diarahkan pada ketahanan SDA terhadap tantangan krisis iklim.
Indeks ketahanan pangan di Indonesia bahkan masih kalah dari lima negara Asia Tenggara lain (Singapura 77,4, Malaysia 70,1, Thailand 64,5, Vietnam 61,1, dan Filipina 60). Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan, apa yang salah dengan Indonesia sebagai negara yang mempunyai potensi sumber alam besar, tetapi belum mempunyai ketahanan pangan yang kuat?
Menurut GFSI, infrastruktur pertanian pangan Indonesia masih di bawah rata-rata global. Standar nutrisi dan keragaman makanan pokok juga masih dinilai rendah. Ditambah lagi, SDA Indonesia dinilai memiliki ketahanan yang buruk karena belum dilindungi kebijakan politik yang kuat serta rentan terpapar bencana terkait perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan pencemaran lingkungan.
Ini tantangan struktural yang harus diatasi oleh para pengambil kebijakan di bidang pertanian dan pangan. Kebijakan perlu diarahkan pada ketahanan SDA terhadap tantangan krisis iklim. Perlu ada kebijakan penguatan petani kecil dalam bentuk akses modal, peningkatan keterampilan, akses bibit, subsidi pupuk, bantuan teknologi pertanian ramah lingkungan, dan jaminan harga pangan yang berpihak kepada petani.
Ilustrasi
Pangan berkelanjutan dan perubahan perilaku
Intensifikasi pertanian yang didorong oleh industri agribisnis telah mempercepat kerusakan tanah, keanekaragaman hayati, dan alam. Tanpa beralih ke pertanian yang berkelanjutan, kita akan menghadapi krisis pangan yang lebih dahsyat dalam jangka panjang. Laporan Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperlihatkan, pada 2100, sepertiga dari pasokan pangan dunia akan hilang. Hanya sistem pangan skala kecil yang ekologis yang dapat memberi makan kita dengan aman dan andal.
Akhir-akhir ini sedang digalakkan konsep pangan berkelanjutan atau sustainable food yang bisa jadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis pangan. Konsep ini merupakan produksi pangan yang diolah dengan teknik khusus untuk menjaga lingkungan, kesehatan masyarakat dan hewan. Ini mencakup tak hanya makanan yang ramah lingkungan, tetapi juga nilai kandungan gizi dan pengolahan limbah makanan yang tak berdampak buruk pada lingkungan.
Untuk mengatasi masalah ini, ”Kelompok Hijau” dari parlemen Eropa membuat ”Perjanjian Hijau Eropa” (The European Green Deal), dengan strategi andalan The Farm to Fork Strategy. Strategi ini membahas secara komprehensif sistem pangan yang berkelanjutan dan mengakui hubungan tak terpisahkan antara orang sehat, masyarakat sehat, planet sehat.
Dengan demikian, alih-alih menguntungkan industri agribisnis yang banyak merusak alam dan menguntungkan sebagian kecil orang saja, strategi ini akan lebih banyak menginvestasikan sumber daya ke petani kecil untuk menolong masyarakat keluar dari krisis pangan (Farm to Fork Strategy, European Union, 2020).
Pemerintah hendaknya melarang sumber pangan untuk dijadikan energi dan memungut pajak yang tinggi kepada korporasi-korporasi yang mengambil keuntungan dari krisis pangan.
Untuk mengatasi krisis pangan dalam jangka pendek, perlu ada penyesuaian atau perubahan kebijakan lembaga dan perubahan perilaku pribadi. Pemerintah hendaknya melarang sumber pangan untuk dijadikan energi dan memungut pajak yang tinggi kepada korporasi-korporasi yang mengambil keuntungan dari krisis pangan.
Di tingkat individu dan keluarga, diperlukan adanya perubahan perilaku untuk lebih menghargai pangan. Hal-hal sederhana yang dapat dilakukan misalnya tak menyisakan makanan waktu makan, tak membuang sampah makanan, mengurangi konsumsi makanan untuk binatang piaraan dan lebih untuk sesama yang kekurangan makanan.
Perilaku pemborosan makanan ini bukan hanya berdampak pada masalah ekonomi dan lingkungan, melainkan juga sosial. Para aktivis, tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan influencer dapat berperan dalam pendidikan penyadaran tentang ”jahatnya” membuang sisa makanan, sementara masih banyak orang yang kelaparan dan kekurangan gizi.
Semoga Hari Pangan Sedunia ini mengingatkan kita untuk menghargai pangan sebagai wujud penghormatan martabat manusia.
(Adrianus SuyadiDirektur Lembaga Daya Dharma Jakarta & Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi-KAJ)