Suhu politik di Malaysia memanas. Pemicunya adalah keputusan Perdana Menteri Ismail Sabri Yakoob membubarkan parlemen, memicu pemilu yang dipercepat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Alasan resmi yang disampaikan Ismail, saat mengumumkan dalam pidato, Senin (10/10/2022), ialah mewujudkan stabilitas politik dan menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan dihormati. Ia berpandangan, hal itu hanya bisa dicapai dengan mengembalikan mandat kepada rakyat dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan pilihan. Mandat rakyat ialah obat penawar terkuat, katanya.
Dalam empat tahun terakhir, setelah pemilu tahun 2018, Malaysia seolah tiada henti dirundung kekisruhan, ketidakstabilan, dan gonjang-ganjing politik. Didahului skandal megakorupsi dana perusahaan investasi pemerintah 1MDB, yang menyeret pucuk pemimpin pemerintahan, Perdana Menteri (PM) Najib Razak, pendulum politik di negeri jiran itu berubah dramatis dengan tumbangnya koalisi Barisan Nasional yang dimotori Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) untuk pertama kalinya di tangan kelompok oposisi.
Namun, peralihan kekuasaan ke tangan oposisi tidak mulus. Pemerintah oposisi di bawah kepemimpinan PM Mahathir Mohamad bertahan kurang dari dua tahun. Pemerintahan Mahathir bubar—ada elemen pengkhianatan dan pembelotan dalam drama politiknya—dan kemudian digantikan PM Muhyiddin Yassin. UMNO, kekuatan lama, membonceng bubarnya pemerintah oposisi untuk masuk lagi ke pemerintahan.
Di bawah PM Muhyiddin, politik Malaysia tetap bergolak. Umur pemerintahannya lebih pendek daripada periode kedua pendahulunya, Mahathir: kurang dari 1,5 tahun. UMNO benar-benar kembali menguasai pemerintahan dengan tampilnya wakil presiden partai itu, Ismail Sabri Yakoob, sebagai PM. Dalam empat tahun, sudah tiga kali PM berganti.
Di puncak sengatan pandemi Covid-19 pun, gejolak politik negeri itu tak juga mereda hingga hari ini. Ismail hanya menjabat PM selama 1 tahun 51 hari, menjadi PM dengan masa jabatan tersingkat. Melihat drama akrobatik para politikus negaranya, wajar jika Raja Malaysia Yang Dipertuan Agung XVI kecewa berat serta menyetujui permintaan Ismail untuk membubarkan parlemen dan menggelar pemilu dipercepat.
Pertanyaannya, apakah setelah pemilu nanti, pemerintahan yang dihasilkan akan lebih kuat dan politiknya bakal stabil? Belum ada jaminan. Berbagai ulasan sejumlah pengamat menyebut keputusan Ismail tak lepas dari tekanan UMNO, yang mengalkulasi diri akan memenangi pemilu nanti.
Atmosfer politik mulai panas. Mahathir—kini memimpin Partai Pejuang dalam koalisi Gerakan Tanah Air—melontarkan pernyataan, Selasa (11/10), kemenangan UMNO akan menjadi kesempatan untuk membebaskan Najib dan pejabat UMNO lain dari hukuman dan dakwaan korupsi.
Benarkah klaim Mahathir itu? Selain memerlukan kesediaan para politikus lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan negara, iklim politik yang sehat butuh atmosfer yang tak tercemar oleh korupsi. Ini yang tampaknya tak cukup tersedia di negeri tetangga kita itu.