Publik khususnya pembaca Kompas, diharapkan mampu mencerna, memaknai, tercerahkan, dan memetik pelajaran dari tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Oleh
Eduard Lukman
·2 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Warga masih berdatangan ke Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Jumat (7/10/2022). Salah satu titik yang paling banyak didatangi adalah pintu 13 di mana banyak terdapat korban di tempat ini. Di depan pintu 13 ini mereka menabur bunga dan mendoakan korban tragedi Kanjuruhan yang meninggal.
Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022, sungguh memilukan. Dengan jumlah 131 korban jiwa dan 300-an orang dirawat di rumah sakit, Indonesia kini berada di urutan kedua kerusuhan sepak bola dengan jumlah korban terbesar. Posisinya di bawah tragedi di Stadion Nasional di Lima, Peru, 24 Mei 1964, dengan 328 korban jiwa dan 500 cedera.
Tragedi Kanjuruhan menarik perhatian luas, diberitakan media nasional dan internasional. Belasungkawa mengalir dari berbagai pihak dan penjuru. Pertandingan sepak bola di banyak negeri diawali dengan mengheningkan cipta. Duka mendalam diekspresikan di mana-mana.
Kompas edisi 3 Oktober 2022 melabur hitam halaman mukanya disertai identitas para korban. Selain melaporkan kejadian tragis itu, Kompas hari itu juga menurunkan Tajuk Rencana ”Cegah Korban Sia-sia” yang menegaskan urgensi pembenahan sistemis sepak bola kita.
Di edisi yang sama tampil beberapa tulisan opini, ”Aremania dan Identitas Sosial Arek Malang”, ”Subkultur Suporter Sepak Bola”, ”Tragedi Sepak Bola dan (Gas) Air Mata”, serta ”Meratapi Tragedi Kanjuruhan 2022”.
Pada 4 Oktober 2022, Kompas terbit dengan headline ”Sanksi untuk Mereka yang Bersalah”. Juga ada artikel ”Fenomena Manusia Massa dalam Kerusuhan Suporter Sepak Bola”. Lalu, 5 Oktober 2022, muncul Catatan Sepak Bola Sindhunata, ”Setia kendati Kalah”, yang memperkaya wawasan dan sekaligus mencerahkan pembaca.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Kompas tidak hanya menyuguhkan informasi Tragedi Kanjuruhan, tetapi berbarengan dengan itu menyajikan ulasan termasuk artikel opini pakar atau penulis yang memahami aspek tertentu tragedi itu.
Pakar-pakar komunikasi, seperti Harold D Lasswell (1948) dan Charles R Wright (1960), mengatakan bahwa komunikasi media (massa) mempunyai beberapa fungsi. Pertama, fungsi memberi informasi. Selain itu, membuat interpretasi dan menumbuhkan pemahaman masalah yang menyangkut kepentingan publik. Media juga harus memaparkan alternatif bahkan menawarkan solusi bagi kemaslahatan umum (Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication, 1989).
Menurut saya, dalam kasus tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kompas sebagai media arus utama, selain memberitakan, juga telah menambah pengetahuan, memperdalam pemahaman, dan memperluas wawasan.
Dengan demikian, publik khususnya pembaca Kompas, diharapkan mampu mencerna, memaknai, tercerahkan, dan memetik pelajaran dari tragedi kemanusiaan tersebut.
Semoga tragedi tidak terulang.
Eduard LukmanJalan Warga RT 014 RW 003, Pejaten Barat,Pasar Minggu, Jakarta 12510