Menakar Kualitas Sekolah Cukup dengan Hasil UTBK?
Masyarakat telanjur menganggap pemeringkatan 1.000 sekolah terbaik berdasarkan hasil UTBK terkait dengan kualitas sekolah. Padahal, berkualitas atau tidaknya sebuah sekolah tidak bisa sekadar diukur dari hasil UTBK.
”Wah, padahal tahun depan saya akan menyekolahkan anak saya di sekolah itu, tetapi sekarang kok tidak ada di daftar 1.000 SMA terbaik?” ”Kok sekolah itu bisa terlempar dari 1.000 SMA terbaik? Padahal, tahun lalu masuk 200 besar?”
Itu sebagian dari ungkapan kegalauan orangtua terkait pemeringkatan sekolah oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) berdasarkan hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) 2022. Bahkan, ada yang dengan nada lebih sinis, ”Sekolah ini kok sekarang tidak bermutu?!” Itu ucap salah satu orangtua setelah melihat peringkat sekolah di mana anaknya sekolah tidak ada dalam daftar 1.000 sekolah terbaik berdasarkan hasil UTBK.
Menyikapi nilai UTBK
Sejauh ini, aturan seleksi masuk perguruan tinggi terbagi dalam tiga jalur, yaitu SNMPTN, SBMPTN dengan UTBK, dan jalur Mandiri. Setiap sekolah yang mendapat nilai akreditasi A, seperti tertera dalam laman LTMPT, maka berhak mendaftarkan 40 persen siswa terbaiknya melalui jalur SNMPTN.
Siswa yang diterima melalui jalur SNMPTN tidak perlu mengikuti UTBK. Dengan demikian, potensi akademik mereka yang sebagai 40 persen siswa terbaik di sekolah itu tidak terhitung dalam pemeringkatan nilai UTBK.
Baca juga: Nilai UTBK Sekolah Terbaik Masih Terkonsentrasi di Jawa
Selanjutnya, siswa yang tidak lolos masuk PTN melalui jalur SNMPTN dan siswa di luar 40 persen siswa terbaik di sekolahnya jika ingin masuk ke PTN, mereka bisa menempuh jalur SBMPTN melalui UTBK atau jalur tes yang di selenggarakan LTMPT. Setiap tahun, pada Agustus-September, LTMPT merilis hasil UTBK disertai dengan pemeringkatan 1.000 sekolah terbaik berdasarkan hasil UTBK tersebut.
Apakah nilai UTBK itu valid? Tentu. Itu nilai valid karena UTBK dilakukan sedemikian rupa sehingga nilai yang ada merupakan hasil berdasarkan kompetensi siswa. Namun, apakah nilai itu memiliki validitas untuk memeringkatkan kualitas sekolah? Ini yang mesti kita cermati.
Baca juga: Nilai UTBK Tunjukkan Kesenjangan SMA Masih Tinggi
Setiap sekolah tentu berupaya memberikan layanan yang terbaik untuk pendidikan setiap siswa, baik secara akademik maupun non-akademik. Secara akademik, karena UTBK sampai tahun 2022 (yang akan diganti sistemnya mulai 2023) masih menggunakan test mata pelajaran (saintek dan soshum), maka setiap sekolah fokus mempersiapkan setiap anak berdasarkan potensinya. Jika anak memiliki potensi di bidang sains dan ingin kuliah sesuai potensinya, guru akan memberikan persiapan khusus. Demikian juga kepada siswa yang memiliki potensi di bidang soshum.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak sedikit siswa yang tidak hanya melakukan persiapan UTBK di sekolah, tetapi di beberapa bimbingan belajar (bimbel) demi lolos masuk PTN. Maka, kita bisa mempertanyakan, apakah nilai tinggi UTBK mereka itu murni hasil kerja keras sekolah? Atau sebenarnya justru hasil kerja keras bimbel? Dengan demikian, terlalu dini jika nilai UTBK dianggap sebagai variable untuk pemeringkatan kualitas sekolah.
Apakah nilai tinggi UTBK mereka itu murni hasil kerja keras sekolah? Atau sebenarnya justru hasil kerja keras bimbel?
Tidak semua siswa memilih jalur UTBK karena memang sejak awal dia ingin kuliah ke luar negeri atau melanjutkan ke universitas swasta karena mendapatkan beasiswa. Dalam hal ini, mereka yang diterima di universitas di luar negeri atau perguruan tinggi swasta pada umumnya mereka adalah siswa-siswi yang memiliki potensi akademis di atas rata-rata sehingga mendapatkan beasiswa. Sekali lagi, karena mereka tidak mengikuti UTBK, maka potensi akademis mereka tidak termasuk dalam hitungan pemeringkatan 1.000 sekolah terbaik.
Peran guru dan kualitas sekolah
Tentu saja, LTMPT pada prinsipnya tidak menjadikan hasil UTBK sebagai pemeringkatan kualitas sekolah. Terlebih ada ketentuan minimal 40 siswa yang mengikuti UTBK saja yang ikut dalam pemeringkatan 1.000 sekolah tersebut, menurut Ketua LTMPT Prof Mochamad Ashari (Kompas.com, 26 Agustus 2022).
Namun, masyarakat sudah telanjur menganggap bahwa data tersebut seketika terkait dengan kualitas sekolah. Dengan demikian, tidak sedikit masyarakat yang memberikan penilaian terhadap sebuah sekolah berdasarkan peringkat dari hasil UTBK semata. Ini sangat ironis! Berkualitas atau tidaknya sebuah sekolah tidak bisa sekadar diukur dari hasil UTBK.
”Guru adalah penuntun murid untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya” (KH Dewantara, 1889-1959). Guru adalah roh yang menggerakkan sebuah sekolah. Peran guru yang memiliki kompetensi, kesabaran, dan integritas dalam mengidentifikasi potensi siswa lalu menuntunnya mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Semakin banyak sekolah yang memiliki guru, seperti itulah yang bisa disebut sebagai sekolah yang baik.
Baca juga: Pendidikan Berkualitas Dimulai dari Kompetensi Guru
Rata-rata nilai akademis sekolah juga ditentukan bagaimana intake siswa masuk sekolah. Tidak sedikit sekolah yang mengadakan seleksi ketat baik secara akademis maupun karakter siswa. Hanya siswa dengan nilai akademis baik dari sekolah asal atau hasil tes masuk yang baik saja yang terseleksi.
Secara akademis, sekolah semacam ini tentulah memiliki peluang lebih untuk mendongkrak nilai UTBK. Sejak awal mereka memiliki siswa-siswi unggulan. Tentu tidak adil jika dibandingkan dengan sekolah lain yang intake siswanya tanpa seleksi, di mana mereka harus memiliki kinerja dan program pembelajaran yang lebih prima-extra miles karena siswanya dari sisi akademis dan tingkat motivasi belajar biasa-biasa saja. Kendati demikian, hasil UTBK mereka tidak sebaik sekolah yang memiliki intake siswa yang terseleksi ketat.
Baca juga: Labirin Pendidikan di Usia 77 Tahun Indonesia
Menitip harapan kepada BP3
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, menyebut sekolah sebagai taman siswa. Taman berarti suatu tempat yang menyenangkan untuk berproses selama pembelajaran. Sekolah hendaknya menjadi tempat yang menyenangkan bagi setiap siswa untuk berkembang baik personal maupun kemampuan sosial mereka.
Karena itulah, setiap satuan pendidikan yang baik adalah utamanya harus mampu menciptakan sekolah yang aman dan nyaman. Tanpa rasa aman dan nyaman, siswa tidak akan mampu memaksimalkan perkembangan potensinya.
Setahun sekali Kemendikbudristek menerbitkan rapor sekolah, melalui lamannya. Rapor sekolah inilah yang sebenarnya bisa menjadi salah satu acuan bagi masyarakat untuk melihat sejauh mana satuan pendidikan tersebut disebut sebagai sekolah yang baik.
Dalam rapor sekolah tersebut, ditampilkan data penilaian kemampuan siswa di bidang numerasi, literasi, dan karakteristik. Selain itu, juga ditampilkan hasil suvei tentang kondisi kebinekaan, kesetaraan jender, dan keamanan terkait perundungan. Walaupun data ini hanya diambil secara sampling-random melalui Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), rapor sekolah ini bisa dijadikan acuan tentang bagaimana kondisi sekolah tersebut.
Rapor sekolah inilah yang sebenarnya bisa menjadi salah satu acuan bagi masyarakat untuk melihat sejauh mana satuan pendidikan tersebut disebut sebagai sekolah yang baik.
Penyedia layanan pendidikan, baik pemerintah maupun masyarakat, sudah semestinya pertama-tama mengutamakan fasilitas yang aman, sehat, dan nyaman. Aman dalam arti ekosistem yang memungkinkan terciptanya semangat solidaritas, harmony in diversity, kesetaraan jender, dan ber-Kebhinnekaan Tunggal Ika. Ekosistem seperti itulah yang bisa memungkinkan terciptanya kesetaraan hak dan kewajiban murid yang beragam, tidak tersekat-sekat oleh mayoritas dan minoritas.
Sekolah yang sehat berarti sekolah yang dibangun dengan mempertimbangkan lokasi yang mendukung. Tidak terlalu dekat dengan jalan raya sehingga bebas dari polusi udara, suara, serta bebas banjir. Dalam hal ini, tentu sehat juga berarti meminimalisasi kecelakaan ketika siswa keluar masuk ke lingkungan sekolah karena lokasi sekolah tidak dekat dengan jalan raya.
Sekolah yang nyaman berarti adalah sekolah yang mampu menampung kebutuhan dan yang mampu mengembangkan potensi siswa. Sekolah yang nyaman berarti juga sekolah yang mampu menerima tiap murid apa adanya tanpa membedakan latar belakangnya. Dengan demikian, siswa akan merasa betah untuk berada di sekolah. Hari-harinya senantiasa diwarnai dengan keceriaan di sekolahnya karena sekolahnya memberikan kenyamanan untuk tumbuh kembangnya.
Menilai sekolah tentu tidak bisa dilepaskan dengan apakah sekolah tersebut memiliki program yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan tantangan zaman. Sekolah dituntut untuk bisa memadukan antara kebutuhan siswa dengan tantangan zaman (pekerjaan atau keterampilan masa depan) dalam sebuah program sekolah yang tepat sasaran, baik program bidang akademis maupun non-akademis. Sekolah yang baik adalah sekolah yang memiliki sumber daya pendidik yang senantiasa terbuka terhadap perubahan zaman dan terlebih perubahan kurikulum.
Kurikulum akan senantiasa berubah karena kebutuhan jaman dan potensi siswa pada zamannya masing masing. Untuk itulah, sekolah, dalam hal ini pendidik, yang semestinya senantiasa selalu siap dan mampu menyikapi dan mengejawantahkan dalam proses pembelajaran yang berdiferensiasi; sesuai dengan gaya belajar siswa, potensi, dan kebutuhan siswa.
Akhirnya, melihat kualitas sebuah sekolah terletak pada muara dari semua program sekolah. Keberhasilan sekolah terletak pada program sekolah masing-masing: perencanaan program, pelaksanaan, sampai hasil dari program tersebut.
Baca juga: Kesenjangan Mutu dalam Rapor Pendidikan Indonesia
Program sekolah, baik program-program akademis maupun non-akademis, tentu berbeda dengan sekolah yang lain berdasarkan levelnya dan tujuan sekolah tersebut didirikan. Untuk tingkat SMA, yang sejauh ini diperingkatkan LTMPT (hanya sebatas) berdasarkan hasil UTBK, tentu juga harus mengacu pada prestasi siswa baik secara akademis maupun non-akademis dan kemampuan mereka menembus perguruan tinggi favorit baik negeri, swasta, maupun luar negeri.
Semoga BP3 (Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan) yang diketuai oleh Ibu Rahmawati, sebagai pengganti LTMPT, akan lebih menyeluruh dan transparan dalam menakar kualitas sekolah. Dengan demikian, data yang diberikan menjadi data yang lebih valid dan menjadi dasar untuk pengembangan satuan pendidikan, bukan justru menimbulkan kecemasan atau bahkan kericuhan yang tidak produktif.
Laurentius L Sutrisno, Kepala SMA Global Prestasi Bekasi