Kata ”koplo” cenderung bermakna negatif, seperti pada ”dangdut koplo”, ketimbang makna substansialnya yang sebenarnya lebih ke arah kreativitas. Penjenamaan model seperti ini sepertinya masih akan terus terjadi.
Oleh
Nur Hadi
·3 menit baca
Kata koplo kembali populer setelah Farel Prayoga menggoyang Istana Negara. Yang hendak saya apungkan bukan perkara mengapa anak sekecil itu mesti melambung lewat lagu-lagu orang dewasa, sebab industri musik anak kita memang masih tenggelam.
Tentu akan sulit dibayangkan—bahkan bisa dibilang tak mungkin—Farel akan diundang untuk turut memeriahkan perayaan HUT Ke-77 RI di Istana Negara jika ia melantunkan lagu ”Abang Tukang Bakso” yang pernah dipopulerkan Melisa. Dengan suara emasnya, Farel digadang-gadang akan menjadi calon bintang di masa depan.
Koplo, yang berasal dari bahasa Jawa, berarti ’dungu, edan, mabuk’, dan atau ’campuran’. Sebelum ada genre dangdut koplo, sudah ada yang namanya minuman koplo (biasanya dibuat dari minuman yang dicampur bahan tertentu sehingga menimbulkan efek memabukkan), dan pil koplo (sebutan populer pada masa awal penyalahgunaan narkoba).
Kasus serupa bisa kita temui pada penjenamaan es teler, yang kata belakangnya akan langsung mengingatkan kita dengan teler yang bermakna ’mabuk’.
Kini dikenal pula dangdut koplo (musik dangdut yang musiknya campuran antara musik Melayu dan musik tradisional Jawa yang identik dengan rampak kendang, merdu seruling, dan cengkok penyanyinya yang khas).
Beberapa hari lalu, Raja Dangdut Rhoma Irama mengeluarkan pernyataan saat dimintai izin pembawaan ulang lagu-lagunya oleh musisi lain; bahwa dia tak mengizinkan lagu-lagunya ”dikoplokan”. Alasannya masih bisa dipahami, bahwa koplo cenderung memiliki konotasi makna negatif ketimbang makna substansialnya yang sebenarnya lebih ke arah kreativitas, apalagi dalam ranah seni.
Dangdut koplo lahir dan dibesarkan di lingkungan masyarakat pinggiran yang amat butuh akan hiburan, yang segera bisa melupakan akan penatnya impitan beban hidup, identik dengan penyanyi berbusana seksi, goyang erotis, dan juga para pemabuk dan tukang sawer.
Koplo pun akhirnya masih berada dalam garis makna negatif. Tentu saja butuh upaya serius untuk melepaskan cap negatif dan menjadikan dangdut koplo sebagai bagian dari kreativitas seni murni. Itulah yang tampaknya ditangkap Sandiaga Uno, yang justru amat mendukung eksistensi dangdut koplo (D-pop) demi membendung demam K-Pop yang jelas-jelas bukan berasal dari budaya sendiri.
Omong-omong mengenai penjenamaan dangdut koplo, juga bisa dibilang menyumbang peran negatif. Mengapa harus memakai nama koplo, dan bukan yang lainnya?
Mungkin lantaran dalam setiap ada pertunjukan dangdut koplo, ada pula orang yang koplo. Bisa jadi juga orang-orang cenderung mengambil cara mudah dan sederhana—hanya tinggal pungut lantaran korelasi makna, tanpa peduli efek negatif yang akan turut menyertainya.
Pengaruh makna itu berasal dari kata yang menjadi acuan pertama, meski kemudian ada pula yang menyimpang. Maka, bisa jadi nanti juga akan ada rujak koplo, wedang koplo, atau malah baju koplo.
Kasus serupa bisa kita temui pada penjenamaan es teler, yang kata belakangnya akan langsung mengingatkan kita dengan teler yang bermakna ’mabuk’. Campuran aneka bahan di dalamnya akan menimbulkan rasa lezat—dan inilah tampaknya yang dijadikan benang merah pengambilan nama teler. Atau baju takwa yang merupakan turunan dari kata takwa.
Dari kata tempe yang bermakna makanan yang terbuat dari kedelai dan identik sebagai makanan rakyat kalangan bawah, kita kemudian juga mengenal mental tempe dan bangsa tempe yang maknanya berkonotasi negatif. Penjenamaan model seperti ini sepertinya masih akan terus terjadi. Dan pergeseran makna sering menjadi efek samping.