Agar bisa sejahtera, seorang petani sawit harus memiliki lahan minimal 8-10 hektar. Faktanya, kebanyakan petani sawit hanya memiliki lahan sekitar 1 hektar. Tak sedikit dari mereka yang kemudian merambah hutan.
Oleh
DELLY FERDIAN
·6 menit baca
Beberapa waktu yang lalu, saya bersama tim riset Yayasan Madani Berkelanjutan melakukan perjalanan ke beberapa daerah sentra sawit (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Riau) untuk belajar banyak hal terkait komoditas ini. Ketika bertemu banyak petani sawit di sana, saya merasakan sebuah keterikatan emosional yang sangat kuat antara mereka dan sawit yang menjadi penopang utama ekonomi.
Tidak dapat dimungkiri, sawit begitu dekat di hati masyarakat, khususnya tidak hanya bagi petani sawit yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini, tetapi juga kita para konsumen yang menikmati produk olahan sawit mulai dari minyak goreng, margarin, susu, cokelat, kosmetik, dan banyak produk lainnya. Karena itu, tidak salah jika sawit disebut-sebut sebagai primadona.
Dalam perjalanan saya itu juga, banyak cerita menarik yang saya dapatkan. Mulai dari persoalan harga tandan buah segar (TBS) yang bikin petani sawit geleng-geleng kepala, konflik lahan dengan perusahaan, hingga kurangnya sosialisasi program sawit berkelanjutan atau ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Dari aneka persoalan itu, anjloknya harga TBS dapat dikatakan sebagai persoalan yang paling mengelus dada bagi mereka. Pada saat itu, saya merasakan kondisi emosional yang cukup memprihatinkan.
Dengan harga TBS yang sempat menyentuh kisaran Rp 400-Rp 500 per kilogram, banyak petani sawit yang mengaku amat kesulitan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Tidak sedikit pula yang mengaku malah besar pasak daripada tiang. Hasil berkebun kecil, tetapi pengeluaran terbilang sangat besar.
Begini kira-kira kondisinya. Bayangkan, jika seorang petani sawit swadaya memiliki kebun seluas satu atau dua hektar dengan masa panen dua kali dalam sebulan (rata-rata panen per bulan). Satu hektar menghasilkan 1 ton sekali panen (estimasi maksimal dengan bibit bersertifikat dan perawatan yang baik). Dengan harga TBS per kilogram Rp 500, maka pendapatan kotor per bulan petani sawit swadaya berkisar Rp 1 juta per hektar.
Dengan harga TBS yang sempat menyentuh kisaran Rp 400-Rp 500 per kilogram, banyak petani sawit yang mengaku amat kesulitan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.
Penghasilan itu tentu dipotong dengan biaya operasional, seperti pupuk, pestisida, biaya angkut TBS, pemeliharaan, hingga upah buruh. Makin terasa sulit ketika ditambah dengan jumlah tanggungan si petani.
Jika hanya memiliki satu atau dua hektar lahan, mereka (petani sawit) mengatakan seperti tidak ada untungnya. Tentu dengan kalkulasi tersebut, petani sawit belum dapat dikatakan sejahtera. Begitu anggapan banyak orang.
Banyak yang mengatakan bahwa untuk dapat memiliki perekonomian yang baik, maka setidaknya seorang petani sawit harus memiliki lahan lebih kurang 8-10 hektar. Dengan kondisi itu, seorang petani sawit barulah bisa dikatakan sejahtera dengan tolak ukur bisa memiliki properti yang layak, memiliki kendaraan roda empat, sampai dengan aset-aset lainnya selayaknya masyarakat berada.
Mengapa berkebun sawit?
Lantas mengapa banyak orang tetap tertarik berkebun sawit jika hanya memiliki lahan yang kecil? Apalagi dengan kondisi harga yang tidak pasti contohnya harga TBS yang anjlok, seharusnya banyak orang yang mencoba untuk mencari ekonomi alternatif. Namun, faktanya, walau badai menghadang, banyak orang tetap bertahan dalam kondisi yang pelik.
Untuk menerapkan ekonomi alternatif selain sawit, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Misalnya saja, jika ingin beralih bertanam jengkol, nanas, nangka, atau komoditas lainnya, maka selain harus mendukung secara penuh kesiapan petani untuk membudidayakannya, para pemangku kepentingan juga harus membangun industri dari hulu ke hilir, seperti mulai membangun pabrik pengolahan sampai dengan membuka pasar bagi komoditas alternatif. Tentu hal ini butuh waktu, biaya, dan tenaga ekstra dari banyak pihak untuk mewujudkannya.
Hal ini jelas sangat tidak sebanding dengan sawit yang sudah memiliki industri hulu ke hilir yang mapan. Dengan kemapanan itu, banyak orang terdorong bertanam sawit karena melihat beragam kisah sukses dari berkebun sawit itu sendiri. Bukan hanya itu, banyak di antara petani sawit yang percaya dan yakin kalau tidak selamanya harga sawit anjlok, harga yang anjlok ini juga merupakan kesempatan untuk berekspansi karena harga akan pulih di kemudian hari.
Coba bayangkan, ketika harga komoditas sawit melambung tinggi (windfall komoditas), petani yang memiliki lahan satu hektar saja bisa memiliki penghasilan yang menakjubkan. Dengan kalkulasi yang sama seperti sebelumnya, dari satu hektar jika harga berada di kisaran Rp 2.000-Rp 2.500, maka pendapatan yang dihasilkan dapat sebesar Rp 4 juta-Rp 5 juta per bulan. Tentu angka yang sangat menjanjikan.
Terdorong masuk kawasan hutan
Dalam pengamatan terbatas saya, kondisi harga TBS yang sempat anjlok ini sangat disayangkan menjadi pendorong beberapa petani merambah kawasan hutan yang semestinya dilindungi. Mereka percaya, jika segera membuka lahan dan menanam, maka suatu saat nanti harga yang naik akan memberikan keuntungan.
Buktinya, kini harga TBS sudah di kisaran angka Rp 2.000 per kg bahkan lebih di beberapa daerah meskipun masih ada yang berada di bawah angka tersebut. Dengan melakukan ekspansi, keuntungan berlipat di depan mata, bahkan ada keyakinan bahwa tindakan yang salah ini pasti nanti mendapat pengampunan.
Dengan melakukan ekspansi, keuntungan berlipat di depan mata, bahkan ada keyakinan bahwa tindakan yang salah ini pasti nanti mendapat pengampunan.
Saat saya bertanya perihal mengapa mengambil kawasan hutan, ada analogi menarik yang digunakan beberapa petani sawit yang saya temui, yakni ketika kawasan hutan diambil alih menjadi perkebunan, hal itu memperkecil kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena dengan sendirinya kawasan tersebut akan dijaga. Sementara jika tidak dialihfungsikan, ancaman terjadinya karhutla sangat besar.
Ketika saya mendengar premis yang keliru ini, saya tentu merasa heran, tetapi sebagai peneliti, saya mencoba untuk tetap obyektif tanpa memberikan intervensi sudut pandang maupun perspektif.
Faktanya, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021, areal perkebunan kelapa sawit yang menurut indikasi berada di dalam kawasan hutan luasnya 3,3 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 2,6 juta hektar di antaranya tanpa proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Dengan angka ini saja sudah dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan dan mengancam komitmen iklim kita, apalagi jika sawit yang begitu menggiurkan terus mendorong banyak orang untuk berekspansi di kawasan hutan yang makin kritis.
Memastikan sawit berkelanjutan
Secara garis besar, Pemerintah Indonesia telah memiliki cara untuk mengatasi banyak persoalan sawit dengan konsep sawit berkelanjutan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia atau sertifikasi ISPO.
Namun, implementasi ISPO belum maksimal, seperti belum masifnya sosialisasi maupun dukungan sehingga masyarakat kesulitan untuk memenuhi persyaratan ISPO, seperti aspek legalitas, praktik perkebunan yang baik dan bebas deforestasi, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati, transparansi dan traceability, serta aspek peningkatan usaha berkelanjutan.
Dalam ISPO, terkait dengan aspek legalitas, pemerintah harus tegas. Jika ditemukan pengambilalihan kawasan hutan, tentu perlu dikembalikan pada fungsi aslinya. Dalam hal ini, mempertimbangkan untuk memaafkan dengan cara mengalihankannya kepada fungsi perhutanan sosial dapat dipilih sebagai alternatif dengan catatan pertimbangan yang komprehensif pula. Solusi jangka benah sudah patut untuk dipertimbangkan.
Demi menuju mandatory ISPO pada 2025, banyak hal yang perlu diperhatikan. Semua itu jelas agar masyarakat dapat tetap bahagia berkebun sawit sembari tetap menjamin keberlangsungan alam yang lestari.
Delly Ferdian, Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta