Keharuman Sempurna Itu Dimulai dari Aroma Tubuh
Jika puisi adalah bentuk konkret dari imaji dan kata-kata adalah penerjemahannya, maka sebotol parfum adalah pembekuan terhadap ingatan, yang mengantarkan imaji kita pada gugusan nilai.
Seorang teman selalu membeli parfum di setiap kota yang ia singgahi. Ia terobsesi menemukan karakteristik bebauan untuk menandai kehadiran sebuah kota. Menurutnya aroma kota-kota pelabuhan dan kota-kota pegunungan dapat dideteksi dari sebotol parfum yang khas diproduksi di kota itu. Aroma kolektif itu, katanya, bisa dipastikan berasal dari aneka ragam tanaman, terutama bebungaan atau jenis rerumputan, yang tumbuh di sebuah wilayah. Kota seperti Cannes, di Perancis bagian selatan, dengan lanskap pantai dan gunung, selain memberikan kehangatan, juga menebarkan aroma harum dari laut, campuran antara senyawa garam, rumput laut, serta pasir putih yang menawan.
Kota kecil yang cantik seperti Volendam di bagian barat Belanda, barangkali memiliki aroma yang mirip dengan Cannes. Beda terkecilnya, Volendam berangkat dari desa nelayan, yang dulu menjadi kota pelabuhan Edam. Selain nuansa laut yang menawan, kota ini juga memiliki kanal dengan aliran air yang tenang. Rumah-rumah tradisional penduduk seolah berdampingan secara damai, walau cenderung kesepian.
Secara kebetulan aku pernah singgah di kedua kota itu. Keduanya memiliki aroma yang serupa, di mana kapal-kapal bersandar di kanal yang tak jauh dari kafe-kafe yang berderet sepanjang tepian. Kapal-kapal nelayan membuat Volendam tampak lebih sederhana, sedangkan yacht dan sederetan kasino membuat Cannes hadir lebih gemerlap. Toh begitu, kedua kota ini akan kesepian sepanjang tahun jika tidak digelar peristiwa seperti Cannes Film Festival atau Volendammardeg. Jika festival film di Cannes memberi nuansa industri lebih populer, Volendammardeg adalah peristiwa kembali ke tradisi. Penduduk kota ini tak ingin kehilangan tradisi mereka sebagai desa nelayan, di tengah arus deras industri pariwisata.
Sambil menyelam minum air. Kira-kira begitulah opini yang berkelindan di kepala para orang tua di Volendam. Kehidupan sebagai nelayan, tentu tak bisa terus dipertahankan tanpa menciptakan jejaring pengaman terhadap serbuan industri. Mereka ingin larut dalam industri turisme dengan mengandalkan modal tradisi. Jadilah saat festival Volendammardeg, semua penduduk mengenakan pakaian tradisional Belanda dan berpawai keliling kota.
Nuansa aquatik yang dominan itu telah menjadi inspirasi para ahli bebauan, yang kemudian disebut per fume, bahasa Latin yang artinya “melalui asap”, menciptakan ramuan yang menjadi simbol kebebasan. Kesan sporty yang kental ditambah dengan kebebasan, yang terintegrasi pada keluasan cakrawala, telah lama menjadi spirit bagi penciptaan aroma kelelakian. Oleh sebab itu, bebungaan, rumput laut, jeruk mandarin atau jeruk bali, neroli, melati, rosemary, dan labdanum, menjadi pilihan untuk menciptakan parfum.
Bebauan yang dipancarkan oleh bahan-bahan alami ini dianggap telah menjadi representasi dari daerah-daerah dengan lanskap laut yang kentara. Karakter bau kota, yang kemudian hinggap menjadi aroma tubuh pada setiap penduduknya, diabadikan dalam sebotol parfum aquatik oleh berbagai merek terkenal. Sebut saja Giorgio Armani Acqua Di Gio atau Bvlgari Aqua Marine Pour Homme. Kedua jenis parfum ini sama-sama mengusung kebebasan dalam keluasan laut, yang memberi rasa damai nan melekat.
Aroma kota yang melekat pada setiap tubuh dinukilkan dalam film Perfume: The Story of A Murderer yang diangkat dari novel bestseller Perfume, karya pengarang Jerman Patrick Suskind. Kisah ini dimulai saat Perancis memasuki masa kegelapan sekitar abad ke-18. Selain lingkungan yang jorok, yang antara lain kemudian menyebarkan penyakit pes, kebrutalan perilaku penduduknya juga memperkuat kesan kebobrokan. Seorang bayi, yang diberi nama Jean-Baptiste Grenouille lahir dari seorang ibu penjual ikan. Tragisnya, Grenouille lahir saat ibunya sedang memotong-motong ikan di pasar sebuah kota pelabuhan yang padat dan kumuh.
Lantaran beban ekonomi yang berat, perempuan penjual ikan itu, membiarkan Grenouille tergeletak di antara potongan kepala dan tumpukan usus ikan di bawah kolong meja. Ketika anaknya melolong menangis ada juga warga yang bersimpati. Grenouille diselamatkan dan dititipkan ke sebuah panti asuhan, sementara karena dianggap hendak membunuh anaknya, perempuan penjual ikan itu dihukum gantung.
Baca juga: Semesta Kegelapan Calonarang
Itulah pertama kalinya orang-orang yang dianggap mencelakai atau setidaknya mengail keuntungan dari eksistensi Grenouille, mati dengan mengenaskan. Sejak kecil, dalam kisahan Suskind, Grenouille sudah akrab dengan bau darah. Ia lahir dalam kekumuhan kota pelabuhan di pinggiran Paris, di tengah kehancuran ekonomi dan kebrutalan karakter para penduduknya. Di luar masa kecilnya yang sengsara, rupanya Grenouille memiliki kelebihan dalam penciuman. Indera penciumannya bisa membedakan aroma kulit pohon dan daun kering dalam jarak tak biasa.
Belakangan bahkan dikisahkan, ia mampu memilah-milah senyawa sebuah parfum yang sedang digemari di kota Paris. Setelah dipekerjakan oleh ahli parfum bernama Giuseppe Baldini di Paris, Grenouille belajar tentang cara meracik sebuah parfum dengan komposisi senyawa antar zat yang seimbang.
Di situlah awal mula bencana bagi kota kecil bernama Grasse. Grenuoille mulai tidak terkendali. Ia terobsesi menciptakan senyawa parfum yang melekat sekuat ingatan. Ketika mencium aroma tubuh dan rambut seorang gadis penjual buah prem, Grenouille beropini bahwa inti dari bebauan itu melekat pada seorang gadis cantik dan perawan dengan perangai yang baik. Ia kemudian terobsesi mengawetkan aroma tubuh perempuan dengan menempelkan lemak pada seluruh bagian kulit dan rambut, lantas memerasnya. Hampir seluruh tindakan pengawetan terhadap aroma tubuh perempuan perawan itu dilakukan secara ekstrem. Tanpa rasa bersalah, Grenouille membunuh 25 perempuan di kota Grasse. Motifnya selalu sama, ia mengikis rambut dan mengeruk seluruh permukaan kulit perempuan untuk kemudian dibuang begitu saja.
Di luar sisi horor film dan novel Perfume ini, terdapat opini tentang asal mula bebauan, yang kemudian disodorkan sebagai karya parfum. Bahwa inti dari senyawa yang mampu mengawetkan ingatan tak lain berasal dalam tubuh perempuan. Senyawa dasar lain seperti bebungaan, buah, dan rempah yang disuling, hanyalah pemicu aroma. Aku jadi ingat pitutur yang sampai kini masih dijadikan pedoman hidup di Bali. Pitutur itu bahkan dinyanyikan dalam sebuah lagu populer berjudul “Bungan Sandat”.
Yen gumanti bajang tan binaya pucuk nedeng kembang
Disubaye layu tan ada ngarungwang ngemasin makutang
Becik melaksana de gumanti dadi kembang bintang
Mentik di rurunge makejang mengempok raris keentungang
To I bungan sandat selayu-layu layune miik
Toya nyandang tulad sauripe melaksana becik
Para teruna teruni mangda saling asah asih asuh
Menyama braya to kukuhin rahayu kepanggih
Kalau kuartikan secara bebas kira-kira maknanya begini://Masa muda tak ubahnya seperti pucuk yang sedang mekar/Ketika layu tak diacuhkan bahkan akhirnya dicampakkan/Beperilakulah yang baik jangan seperti bunga bintang/tumbuh di jalan dan semua orang memetikmu untuk kemudian dibuang/Tirulah watak bunga sandat selayu-layunya senantiasa menebar harum/Dan itulah yang harus ditiru dengan berbuat baik/Para muda-mudi selalu saling asah asah asuh/Jika meniti jalan bersaudara pastilah meraih kebahagiaan//
Baca juga: Kita Menua Bersama di Sini, ”Bestie”
Aroma kebaikan itu senantiasa diibaratkan sebagai bunga. Dan oleh sebab itu pula sarana puja utama sebagai simbol pengagungan unsur-unsur ketuhanan selalu menggunakan bunga. Selain sebagai sarana persembahan, bunga sandat atau bunga kantil, dulu sering diolah secara sederhana menjadi pengharum rambut. Aku ingat, dulu Ibu, sering kali menumis bunga sandat dengan campuran minyak kelapa murni. Ia kemudian menyimpannya dalam botol-botol kecil. Setelah selesai keramas, Ibu mengoleskan ekstrak minyak dan bunga sandat itu ke seluruh rambutnya yang hitam legam. Aromanya masih melekat dalam ingatanku sampai sekarang. Ia seperti aroma cuaca tropis yang memancar dari pepohonan di alam liar.
Barangkali sangat bisa dipahami kenapa para ahli parfum, termasuk Grenouille, dalam film itu, terobsesi menciptakan bebauan yang melekat pada diri seseorang sekuat ingatan. Apalah yang paling membuatmu mabuk kepayang kepada seorang gadis kecuali ingatan?
Obsesi manusia modern terhadap aroma parfum yang bertahan lama, dipicu oleh penemuan aroma harum yang menebar dari kain pembalut mumi raja Mesir berusia 33 abad. Bau harum pada Mumi Raja Tutankhamun itu diduga berasal dari parfum yang memang sudah dikenal sejak masa Mesir kuno. Menurut cerita, bahkan tokoh paling tua yang dikenal sebagai pembuat parfum bernama Tapputi yang terdapat dalam sebuah prasasti di Mesopotamia sekitar 2000 tahun sebelum Masehi.
Di Balik cerita horor yang membingkai novel Parfume, Suskind sedang mengkritik kebobrokan moral masyarakat Eropa sekitar abad ke-18. Kekuasaan para bangsawan yang didukung kaum borjuis dengan modal, telah menciptakan ketimpangan hidup yang makin menganga. Grenouille lahir dari masyarakat miskin ekonomi sekaligus miskin etika. Masyarakat golongan inilah yang paling banyak menerima tekanan hidup. Selain itu, hukum yang diberlakukan semena-mena, telah berhasil menciptakan dendam golongan. Apa yang dinukilkan lewat sosok Grenouille, bisa diinterpretasi sebagai kemarahan masyarakat kelas bawah terhadap perlakuan tidak adil dari golongan di atasnya. Mereka ingin merampas segala milik golongan di atasnya, termasuk aroma tubuh yang meluncur dari gadis-gadis perawan.
Oleh sebab itu, bebauan telah bergeser dari makna semantik, yang hanya meletakkan bau sebagai penebar harum atau busuk. Bebauan telah hadir dalam konteks yang lebih spiritualistik. Bahwa ia melekat pada aroma tubuh, yang kemudian hadir sebagai aroma kolektif pada sebuah kota. Bau tidak pernah berbentuk, karena ia berupa imaji yang menjadi cikal-bakal terciptanya sebuah puisi.
Jika puisi adalah bentuk konkret dari imaji dan kata-kata adalah penerjemahannya, maka sebotol parfum adalah pembekuan terhadap ingatan, yang mengantarkan imaji kita pada gugusan nilai. Dan nilai ini yang membuat kita merasa nyaman, tenang, dan damai berdiri atau berpapasan dengan seseorang yang menebar harum. Samar-sama kita ingat ia mengembuskan aroma lavender atau bunga sandat. Keduanya bukan lagi hadir sebagai bunga, tetapi sekali lagi sebuah nilai, yang dipagut oleh banyak orang sejak era Mesir Kuno, Yunani, Romawi, sampai pada kehidupan kontemporer kita dewasa ini.