Janji yang Merindu Ditepati
Sesudah 60 tahun lebih, janji merdeka untuk raga petani dan tanah-airnya, apakah sudah dipenuhi oleh enam pemerintahan presiden Indonesia? Kalau sudah dicoba, sejauh mana? Mengapa tak kunjung ditepati?
Francis Wahono Direktur Cindelaras Institute Yogyakarta dan Ketua Pembina Yayasan Bina Desa Jakarta
Sudah 62 tahun, sampai tanggal ini, selalu kita peringati janji suci memerdekakan rakyat petani. Tanggal 24 September menandai lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- pokok Agraria.
Undang-undang ini memberikan mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria, redistribusi tanah pada keluarga petani penggarap, land to the tiller. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960) itu mengakhiri agrarisch wet 1870 Kolonial Belanda 1870, yang menyatakan semua tanah tak bertuan atau kosong dikuasai negara, terutama untuk dipindahkuasakan atau dijual kepada swasta, perusahaan perkebunan dan tambang.
Garis tegas rasa dan fakta hendak ditarik, dari rakyat di bawah struktur tata agraria pemerintahan penjajah ke pola penguasaan lahan yang merata dan cukup ala pemerintahan merdeka. Janji merdeka kepada rakyat yang telah ikut berjuang dan berkorban, sebagaimana dicanangkan dalam sila kelima, keadilan sosial, dalam Pembukaan dan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945. Hal itu secara legal dirumuskan dalam UUPA 1960.
Pertanyaannya, apakah sesudah 60 tahun lebih, janji merdeka untuk raga petani dan tanah-airnya sudah dipenuhi oleh enam pemerintahan presiden Indonesia? Kalau sudah, sekurangnya sudah dicoba, sejauh mana? Mengapa tak kunjung ditepati? Dan bagaimana hendaknya langkah bijak ke depan?
Pertanyaannya, apakah sesudah 60 tahun lebih, janji merdeka untuk raga petani dan tanah-airnya sudah dipenuhi oleh enam pemerintahan presiden Indonesia?
Reforma agraria dari atas
Bernstein (2015) membedakan ”reforma agraria (RA) dari atas” dan ”dari bawah”, by state dan by leverage (Wiradi 2006). RA ala UUPA 1960 ini termasuk yang dari atas, by state. Mengacu pada semangat UUD 1945, sudah tepat konteks dan ideologinya, RA ini mengikuti aliran neo-populisme AV Chayanov, ekonom pertanian dari Rusia, Uni Soviet, yang dibunuh Joseph Stalin.
Alasan dibunuh, karena tulisan serta kerja-kerjanya mempromosikan ”pertanian keluarga” dan ”kooperasi gilda”, bengkel rakyat. Maka, tentu hal itu berlawanan dengan ”pertanian estat kolektif negara” yang disponsori Partai Komunis ala Marxis-Leninis.
Tuduhan UUPA 1960 sebagai produk komunis itu mendapat momentumnya karena digunakan PKI untuk mengadakan aksi sepihak. Itu dilakukan di desa- desa Jawa, tak jarang dengan kekerasan, merebut tanah-tanah tuan tanah, yang notabene dikuasai para pemimpin nasionalis dan para kiai Nahdlatul Ulama.
Pada situasi tak menentu itu, diceritakan oleh Margo Lyon (1970), tentara ikut terlibat konflik pertanahan pada 1963/1964, bersamaan dengan krisis pangan, menjelang apa yang dinamakan Gestok/Gestapu atau yang populer, tetapi penuh kontroversi sejarah, G30S/PKI, tahun 1965. Pada aras ini, menjadi tidak benar tuduhan Orde Baru Jenderal Soeharto, bahwa UUPA 1960 adalah produk Partai Komunis.
Semacam naskah akademiknya dibukukan tebal oleh sekretaris pribadi Ki Hadjar Dewantara, yang guru anak petani dari Jawa Tengah selatan, Mohammad Tauchid. Sosialis nonkomunis ini juga pendiri dan ketua pertama dari Barisan Tani Indonesia (BTI), yang kemudian kedudukan ketuanya dikudeta kader PKI, Asmu. Selanjutnya, jadilah BTI, organisasi onderbouw PKI. Ketua panitia ad hoc perumusan UUPA 1960, Prof Imam Sutiknyo dari UGM, dikenal sebagai seorang nasionalis.
Kesadaran bahwa ciri khas keluarga petaninya adalah petani kecil dengan tanah sempit, atau keluarga petani gurem—istilah Presiden Soekarno adalah kaum marhaen, di mana latifundia, estate keluarga atau swasta, seperti di Filipina dan Amerika Latin, masih sedikit, jadi seperti sekarang. Dituturkan dalam laporan Tempo (2017), ada satu persen penduduk, 2,45 juta orang, yang hampir menguasai 49,3 persen tanah air Indonesia, dan itu tidak dijadikan obyek RA menurut Perpres No 86/2018.
Baru tahun 1983, secara samar-samar, UUPA 1960 diakui sebagai produk nasionalis sosialis, oleh Jenderal Daryatmo sebagai menteri agraria, dalam sambutan buku Tanya Jawab Hukum Agraria, yang diterbitkan Sekretariat Bina Desa, Jakarta. Dari 1983 sampai Perpres No 86/2018 terbit, atau 25 tahun—sebuah perjalanan panjang, melalui lima presiden—janji kemerdekaan rakyat tani yang semakin menua untuk berdaulat atas lahan masih banyak dirindukan daripada direalisasikan.
Belum usai bermimpi dengan pemenuhan janji Perpres No 86/2018, RA harus berhadapan dengan koreksi UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Bersilat dengan UU Cipta Kerja
Belum usai bermimpi dengan pemenuhan janji Perpres No 86/2018, RA harus berhadapan dengan koreksi UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah diberi waktu dua tahun untuk melakukan revisi, sejak UU ini ditolak Mahkamah Konstitusi. Di sinilah pilihan model pembangunan ekonomi sosial yang terlalu neoliberal harus dikembalikan ke yang lebih sosial Pancasila dan UUD 1945. Terutama Pasal 33, Ayat 1 dan 2, tentang sistem ekonomi koperasi dan distribusi penguasaan aset lahan bumi air serta ruang oleh negara demi kemakmuran seluruh rakyat.
Kenyataannya, Perpres No 86/2018 tentang RA yang melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 belum jadi meluncur sudah dihadang UU Cipta Kerja. Ditambah lagi dengan kesulitan bertumpuk akibat tersumbatnya RA UUPA 1960 selama 60 tahun lebih. Kini, beberapa kesulitan datang dari sisi persediaan sumber daya petani. Menjadi petani dan hidup dari pertanian tak lagi menarik bagi generasi petani muda umur 20-39 tahun, yang tinggal 7 persen (2,34 juta)—dari jumlah keluarga tani yang 33,4 juta (BPS 2019)—dari total penduduk.
Sementara itu, jumlah petani yang sudah menua atau usia 40-60 tahun adalah 91 persen (30,4 juta). Dari 2017 ke 2018, petani muda turun sebanyak 415.789 orang. Trennya sangat mencemaskan. Jumlah penduduk Indonesia 2022 sebanyak 275,77 juta. Petaninya 12,1 persen dari total penduduk.
Dengan kalkulasi kasar, boleh dikatakan: per satu petani memikul makan dan kebutuhan hidup lainnya dari 8,3 penduduk. Menurut UUPA 1960, dengan 2 hektar (ha) sawah subur di Jawa-Bali, pada 1960, satu keluarga petani baru layak menanggung hidup tujuh anggota. Dari hitungan penelitian lapangan Wahono (1997) pada kasus sawah di dua desa di Purworejo, 1992-1993, dengan luas sawah 1 ha, satu petani baru mampu menanggung hidup layak empat orang. Jadi, satu petani yang menanggung hidup delapan orang pada 2022 butuh minimal sekitar 1 ha sawah.
Padahal, rata-rata penguasaan lahan di Indonesia oleh petani, tahun 2021, hanya kurang dari 0,3 ha (BPS 2021). Dengan angka ini bisa disimpulkan, petani rakyat jelata pasti selalu miskin. Nilai tukar petani (NTP) pun, dari tahun ke tahun, rata-rata menurun.
Dengan angka ini bisa disimpulkan, petani rakyat jelata pasti selalu miskin.
Melampaui UUPA 1960
Inti dari UUPA 1960 yang pokok dan coba dirongrong lewat aturan dan hukum yang lebih baru sekurangnya ada lima. Pertama, batas minimum penguasaan tanah sawah yang harus dimiliki sebuah keluarga petani yang beranggota tujuh orang (2 ha sawah subur di wilayah padat penduduk atau dua kali ekuivalen untuk lahan kering) serta batas maksimum tanah sawah 4 ha. Ini yang hilang dalam Perpres No 86/2018.
Kedua, redistribusi tanah, artinya kurang dari minimum akan ditambah, dan lebih dari maksimum akan dikurangi, untuk dibagi kepada yang kurang. Petunjuk ini diganti oleh Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja Pasal 125 dan 126. Bank Tanah amat rentan digembosi oleh pemodal besar dan pencari rente ekonomi yang berafiliasi dengan kekuasaan.
Baca juga : Sejarah Hari Tani dan Perjalanan Undang-Undang Pokok Agraria
Baca juga : Reforma Agraria, Air Kayangan yang Tak Segera Turun ke Bumi
Ketiga, Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), meliputi tanah eksesif dari yang melebihi batas maksimum 4 ha, tanah gontai (telantar), tanah kosong tak bertuan; semula tanah perkebunan dan perhutanan negara dikecualikan sebagai obyek. Namun, dalam Perpres No 86/2018 lahan-lahan itu dimasukkan meskipun hanya 20 persen. Perkebunan, perhutanan, dan tanah gontai dari swasta tetap dikecualikan dari TORA.
Keempat, tanah hukum adat diakomodasi sebagai tanah hak ulayat—pada Perpres No 86/2018 diistilahkan sebagai tanah penguasaan bersama, boleh juga oleh koperasi, yayasan, dan badan usaha milik desa (BUMDes). Ini yang bisa membuka lubang untuk penguasaan oleh perusahaan atau pemodal besar. Di sini tanah, bumi, air, dan ruang angkasa menjadi rentan sebagai komoditas, diperjualbelikan dan untuk spekulasi.
Kelima, ditengarai mazhab neoliberalisme menyelusup masuk lewat Perpres No 86/2018 ataupun UU No 11/2020 yang di-pending, ke dalam tata hukum UUPA 1960, yang bermazhabkan sosial neo-populis Pancasila UUD 1945.
”Reforma agraria dari atas” mesti diperluas TORA-nya hingga meliputi semua ruang (lahan, isi perut bumi, perairan, angkasa udara) serta dikolaborasikan/dimusyawarahkan dengan ”reforma agraria dari bawah”, dari inisiatif serikat/kelompok petani atau calon petani muda yang haus lahan, agar kontrol demokrasi terjadi, dan pemerataan petani penggarap sungguh terjamin. TORA ”lahan” perlu diperluas dengan TORA ”ruang” yang meliputi bumi, air, dan angkasa Indonesia, di mana sila ketiga (persatuan) berdiri dan sila kelima diadilkan, untuk penghidupan, kelangsungan generasi dan alam.
Hal itu semua beralaskan sila pertama (ketuhanan) dan bersemangatkan sila kedua (kemanusiaan), yang keputusan serta pelaksanaannya dilakukan dengan sila keempat (demokrasi kerakyatan yang mendahulukan musyawarah).
Pembangunan berkelanjutan yang pro-lingkungan dan mengerem pemanasan global pun membutuhkan demokrasi dan pemerataan, yang menjamin kontribusi, partisipasi, dan rasa memiliki setiap warga dunia. Kalau tidak, segala aksi lingkungan dan meredam pemanasan global hanya akan menjadi proyek pemerintah, top down, di mana rakyat tak merasa disapa menjadi peserta proses membangun keadilan sosial. Rakyat hanya jadi penonton penggembira lima tahunan pesta demokrasi, dan penerima hiburan, pengemis bantuan langsung tunai (BLT) saja.
Rakyat hanya jadi penonton penggembira lima tahunan pesta demokrasi, dan penerima hiburan, pengemis bantuan langsung tunai (BLT) saja.
Dari RA ala Perpres No 86/2018, kalau rata-rata penguasaan lahan petani Indonesia 0,3 ha per keluarga tani (angka 2021), maka untuk mencapai lahan cukup 1 ha, ada kekurangan 0,7 ha untuk hidup sejahtera saat ini. Pertanyaannya, apakah kekurangan lahan yang dibagi (TORA) itu akan cukup diambil dari 20 persen lahan perkebunan dan perhutanan negara, ditambah tanah yang terbengkalai, tanpa menyertakan lahan eksesif yang dikuasai swasta?
Absennya batas maksimal HGU dan panjangnya waktu sewa sampai 95 tahun dengan dimungkinkannya perpanjangan akan mempersulit pelaksanaan RA mana pun. Pemusatan zona industri, terutama manufaktur, di Jawa bukan solusi, tapi menabung masalah abadi.
Sudut pandang dan strategi RA yang diperluas menjadi reforma ”redistribusi” ruang by state dan by leverage adalah prasyarat investasi dan cipta kerja, penampung kreativitas karya, terutama banjir generasi muda, yang tak tertampung di sektor pertanian dan perkebunan. Mereka dapat mempersiapkan diri dan masuk ke sektor kehutanan, kelautan, dan pertambangan lestari, serta sektor industri ekonomi digital, perdagangan, beserta transportasi, komunikasi, dan infrastrukturnya.
(Francis WahonoDirektur Cindelaras Institute Yogyakarta dan Ketua Penbina Yayasan Bina Desa Jakarta)