Perkebunan skala besar komoditas tanaman ekspor, yang kini didominasi sawit, adalah ujian bagi reforma agraria. Dominasi ini menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan, dan karena itu perlu diatasi.
Oleh
GUNAWAN,
·5 menit baca
Reforma agraria di dalam Indonesia merdeka adalah untuk memastikan bahwa kemerdekaan nasional bukan hanya pernyataan politik, tetapi untuk mewujudkan kedaulatan bangsa Indonesia atas Tanah Air-nya guna mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tanggal pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960), 24 September, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963, ditetapkan sebagai Hari Tani. Ini karena UUPA 1960 adalah dasar hukum bagi penyelenggaraan redistribusi tanah (landreform) yang akan membebaskan petani dari penghisapan manusia atas manusia sehingga tercipta masyarakat adil dan makmur.
Landreform yang dimaksudkan di UUPA 1960 adalah landreform yang diperluas (Boedi Harsono; 2008), yaitu Panca Progam Agrarian Reform Indonesia, meliputi, pertama, pembaruan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional. Kedua, penghapusan hak-hak asing dan konsensi kolonial atas tanah. Ketiga, mengakhiri penghisapan feodal.
Keempat, perombakan penguasaan, pemilikan dan hubungan hukum terkait pengusahaan tanah untuk pemerataan kemakmuran dan keadilan (landreform). Kelima, perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara terencana.
Ujian reforma agraria
Perkebunan skala besar komoditas tanaman ekspor yang hadir sebagai produk kolonialisme adalah ujian bagi reforma agraria. Ini karena di obyek tanah itulah hadir konsesi kolonial atas tanah dan penghisapan feodalisme, sehingga dibutuhkan perombakan struktur dan hubungan agraria.
Ujian reforma agraria sebagaimana dimaksud di atas tidak saja secara normatif berupa digantikannya hukum agraria kolonial dengan hukum agraria nasional, tetapi juga kedaulatan efektif negara Indonesia. Ini karena pihak kolonial tetap berupaya mempertahankan penguasaan atas perkebunan tersebut, baik melalui agresi militer maupun melalui perundingan.
Kini perkebunan skala besar didominasi komoditas sawit. Bagaimana negara menjalankan kedaulatannya dengan melaksanakan reforma agraria di perkebunan sawit?
Perkebunan skala besar komoditas tanaman ekspor yang hadir sebagai produk kolonialisme adalah ujian bagi reforma agraria.
Dualisme perekonomian
Industri perkebunan sawit telah menciptakan dualisme perekonomian pertanian, yaitu perkebunan skala besar yang padat modal dan ekspansif, dan perkebunan rakyat skala kecil yang subsisten. Kesenjangan sosial tersebut mengakibat ketimpangan struktur dan hubungan agraria perkebunan yang tecerminkan dari permasalahan pertanahan, ketenagakerjaan kemitraan usaha perkebunan, dan harga tunas buah segar (TBS) sawit produksi petani. Kondisi tersebut tercipta akibat:
Pertama, terkait pembaruan hukum agraria perkebunan. Meskipun hukum agraria kolonial telah diganti dengan hukum agraria nasional, namun UU Perkebunan (UU 18/2004 dan UU 39/2014) tidak cukup mendukung reforma agraria. Hal ini terbukti kedua undang-undang tersebut dalam pasal-pasal terkait pertanahan, perbenihan, dan kriminalisasi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945.
Alih-alih memperbarui UU Perkebunan, malahan UU Perkebunan diubah dengan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang secara materiil banyak menuai kritik, dan secara formil berdasarkan putusan MK, inkonstitusional secara bersyarat, salah satunya akibat ketiadaan partisipasi rakyat (baca: pekebun) secara bermakna dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Kedua, terkait konsepsi kolonial atas tanah. Ada upaya terus-menerus untuk mengembalikan pemberian hak atas tanah untuk perusahaan perkebunan seperti pada masa kolonial. Hak erfpacht batas waktunya 75 tahun, yang kemudian diganti dengan hak guna usaha (HGU) yang memberikan jangka waktu 25 atau 35 tahun dan bisa diperpanjang 25 tahun. Di Penjelasan UUPA 1960 disebutkan bahwa penetapan jangka waktu 35 tahun mengingat pada tanaman kelapa sawit.
Melalui UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, jangka waktu HGU 95 tahun. Pengaturan ini berdasarkan putusan MK, bertentangan dengan UUD 1945. Namun, pemberian HGU hingga 90 tahun dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Nomor 7/2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, dan hendak diperkuat lewat RUU Pertanahan.
Ketiga, terkait mengakhiri penghisapan feodal. Dominasi perusahaan perkebunan sawit dalam penguasaan tanah skala luas, dan dalam keseluruhan rantai pasok sawit, menjadikan tetap adanya buruh tani dengan permasalahan kelayakan upah atau bagi hasil, dan petani pekebun sawit hanya menjadi subsistem dari perusahaan perkebunan sawit dari sejak budidaya hingga pengolahan dan pemasaran. Dampaknya adalah munculnya ketidakadilan dalam kemitraan usaha perkebunan, tidak berdaulatnya petani pekebun sawit terhadap harga TBS, dan ketimpangan dalam mengakses dana perhimpunan kelapa sawit.
Keempat, terkait redistribusi tanah (landreform). Pada awalnya tanah negara diredistribusikan untuk perkebunan sawit, dialokasikan sebagai kebun inti yang dikelola oleh perusahaan, dan sebagai kebun plasma yang dikelola petani, dengan alokasi yang lebih besar untuk kebun inti. Dalam perkembangannya justru tanah masyarakat yang dipergunakan sebagai kebun plasma.
Berdasarkan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria, tanah obyek reforma agraria bersumber dari tanah telantar, HGU habis jangka waktu, dari kewajiban fasilitasi kebun masyarakat sekurang-kurangnya 20 persen dari areal perusahaan, dari penyelesaian konflik agraria, dan dari tanah kelebihan maksimum, dan dari tanah yang dihibahkan perusahaan. Namun, target pemerintah adalah HGU habis masa berlakunya, dan tanah telantar, sebanyak 1 juta hektar.
Kelima, terkait rencana semesta penggunaan tanah. Masih ada tumpang tindih kawasan perkebunan sawit dengan kawasan perdesaan, lahan pertanian pangan, kawasan hutan, dan yang lainnya,
Transformasi
Diperlukan batas maksimum penguasaan dan penggunaan tanah perkebunan sawit yang dihitung per daerah. Pertama, dalam rangka meredistribusikan tanah untuk petani. Kedua untuk mentransformasi industri sawit menjadi berbasis perkebunan rakyat, dan mendorong perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan, melainkan penganekaragaman produk olahan sawit. Ketiga, dalam rangka penganekaragaman budidaya dan pengolahan produk perkebunan nonsawit, perluasan kawasan pertanian pangan, pelestarian hutan, dan pembangunan kawasan perdesaan.
Kelembagaan ekonomi petani pekebun dan badan usaha milik desa harus didukung pemerintah dalam pengembangan produk olahan dan pemasaran sawit, akses pembiayaan, dan kepemilikan saham di perusahaan sawit, serta dilibatkan dalam kerja sama antara pemda, perusahaan perkebunan, lembaga mitra pembangunan, dan akademisi dalam implementasi perkebunan sawit berkelanjutan,
Gunawan, Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit); Penasihat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice); Steering Committee KNPK (Komite Nasional Pertanian Keluarga); dan Dewan Pengawas Yayasan Bina Desa Sadajiwa