”Lengser Keprabon” sebagai Puncak Kepemimpinan Demokratis
Banyak pemimpin bisa lepas landas dengan baik, bahkan spektakuler, tetapi gagal mendarat dengan mulus. Puncak keberhasilan seorang pemimpin justru terlihat saat dirinya turun takhta (”lengser keprabon”).
Oleh
HARYADI BASKORO
·6 menit baca
Urusan naik takhta, melanjutkan kekuasaan, dan turun takhta menjadi isu panas menjelang Pemilu Presiden 2024. Pembicaraan tentang hal itu menyeruak tanpa membahas sistem nilai luhur, seolah menegaskan bahwa politik hanyalah permainan (politic is a game). Pembicaraan hanya mencakup urusan teknis pengendalian syahwat kekuasaan, tak memikirkan kearifan, apalagi jiwa kenegarawanan.
Setelah untuk beberapa waktu mereda, isu presiden menjabat tiga periode kini kembali mencuat. Sebagaimana dilaporkan Kompas.com (28/8/2022), Presiden Joko Widodo blak-blakan tak melarang wacana presiden menjabat tiga periode bergulir. Hal itu ia ungkapkan sebagai respons dukungan yang dilontarkan oleh pendukungnya dalam forum Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia di Gedung Youth Center Arcamanik, Bandung, Jawa Barat.
Isu itu lantas memancing polemik bola pingpong. Pihak pengkritik langsung menyerang, bahkan Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan bahwa kemunculan nama Jokowi dalam kegiatan yang diselenggarakan relawannya itu merupakan bagian dari operasi politik yang mendesepsi publik (Kompas.com, 1/9/2022).
Pihak Istana pun mereaksi balik. Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menegaskan, Jokowi sudah berulang kali menyatakan bahwa masa jabatan presiden hanya berlangsung selama dua periode (Kompas.com, 6/9/2022).
Filosofi luhur
Isu yang memanas saat ini mengingatkan kita kembali pada waktu-waktu terakhir kepemimpinan Soeharto di era Orde Baru. Terlepas dari segala kelemahan dan kekurangannya, Soeharto adalah Presiden Indonesia yang memiliki visi dan konsep untuk turun takhta saat dirinya masih berkuasa penuh.
Seperti dilansir berbagai media, pada 20 Oktober 1997, Soeharto menyatakan kehendaknya untuk mundur di hadapan pengurus Partai Golkar. Ia menyebutnya sebagai ”lengser keprabon madeg pandhita”. Sebuah tindakan politis berbasis filosofi bahwa ada waktunya seorang raja turun takhta justru untuk naik level menjadi tokoh rohaniwan (pandhita, resi, begawan) yang hidup dalam pertapaan serta siap memberi nasihat kepada para pemimpin penerusnya.
Tampak bahwa Soeharto adalah pemimpin yang belajar dari para raja monarki di Nusantara. Dari era Mataram Kuna ada beberapa raja yang lengser keprabon madeg pandhita, seperti Rakai Penangkaran (764-784 M), Rakai Pikatan (847-855 M), dan Balitung (898-910 M).
Pendiri Kerajaan Kahuripan, Airlangga (1009-1042), juga turun takhta untuk menjadi Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana (Prasasti Sumengka, 1059 M). Penguasa Majapahit, Tribhuana Tunggadewi (1328-1350 M), turun takhta untuk menjadi salah satu dari tujuh anggota Bhatara Sapta Prabhu (tim penasihat spiritual raja).
Dari era Mataram Kuna ada beberapa raja yang lengser keprabon madeg pandhita.
Dari Mataram ada Raja Mangkunegara VI (1896-1916). Pada 11 Januari 1916 ia mengundurkan diri dan diam-diam berangkat bersama seluruh keluarganya ke Surabaya (Singgih, Pamoentjak, Roswitha, 1986). Di Surabaya, ia mempersiapkan putra dan menantunya, KPK Suyono Handayaningrat dan RMP Hatmosurono, untuk aktif dalam gerakan Boedi Oetomo.
Dengan demikian, sang raja (Mangkunegara VI) bekerja di balik layar untuk mendukung putranya dalam gerakan kebangsaan. Posisinya sebagai raja malah digantikan oleh keponakannya, RMA Suryasuparta, sebagai Mangkunegara VII.
Secara antropologis, Soeharto adalah seorang pemimpin yang berpikir struktural. Kebudayaan—termasuk budaya politik—merupakan produk dari aktivitas nalar manusia (human mind) yang terstruktur (Syam, 2007). Struktur nalar manusia itu berbasis struktur bahasa sehingga pemikiran manusia struktural senantiasa penuh kompleksitas narasi.
Dari situ, Claude Levi-Strauss membedakan antara struktur permukaan (surface structure) dan struktur dalam atau batin (deep structure) sebab manusia memiliki dan mengembangkan struktur-struktur nalar yang kompleks yang terkadang tidak langsung dapat dibaca karena bersifat batiniah.
Analisis antropologis struktural ini sangat cocok untuk memahami kebudayaan dan masyarakat yang pola pikirannya sangat dipengaruhi oleh mitos-mitos (Syam, 2007). Masyarakat yang kental mitologinya memiliki pola pikir yang begitu terstruktur berbasis narasi-narasi rumit. Soeharto yang berlatar belakang masyarakat Jawa tradisional banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur pemikiran yang bertolak dari prinsip-prinsip etika-moral dalam kisah-kisah pewayangan.
Konsep lengser keprabon madeg pandhita itu sendiri merupakan konsep suksesi monarki yang mengambil referensi dari cerita pewayangan (Purwadi, 2007). Konon, Prabu Kresna Dwipayana adalah Raja Astina yang dengan sukarela melakukan lengser keprabon untuk madeg pandhita dengan gelar Resi Wiyasa.
Kepemimpinan demokratis
Kesalahan besar dalam learning process kita adalah tidak pernah belajar secara akumulatif. Begitu mendapatkan pengetahuan baru, pengetahuan lama dianggap salah, lalu dibuang dan dilupakan. Begitu mengenal demokrasi—meski baru kulitnya—kita langsung bereuforia dan melupakan kearifan-kearifan monarkis asli yang merupakan kekayaan peradaban Nusantara selama ratusan tahun.
Sistem demokrasi bukanlah puncak peradaban. Demokrasi memang menjadi jawaban manakala monarki menjelma menjadi absolut dan tiran. Demokrasi mengedepankan pembagian kekuasaan, pembatasan dan kontrol kekuasaan, supremasi hukum, dan pemilihan umum pro-rakyat. Tetapi, demokrasi akhirnya terjebak menjadi prosedur-prosedur tanpa sentuhan kepemimpinan berbasis filosofi luhur.
Demokrasi prosedural yang kita praktikkan selama ini tak lebih sebagai sistem permainan kekuasaan. Dalam permainan ini tidak ada kawan sejati dan tidak ada lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati.
Demokrasi prosedural yang kita praktikkan selama ini tak lebih sebagai sistem permainan kekuasaan.
Karena itu, sering kita lihat pola-pola permainan yang tak bernalar sehat, tak etis, dan serba munafik. Demi merebut kekuasaan, tak jarang para pemain menyiasati, merekayasa, mencurangi, mentransaksikan, dan memanipulasi permainan. Sementara rakyat menjadi penonton dan sejatinya menjadi obyek dan korban permainan itu sendiri.
Sejarah demokrasi kita di masa silam dan sekarang membuktikan bahwa pada akhirnya para pemain itulah yang berkuasa. Sistem demokrasi di era Orde Baru dimainkan sedemikian rupa sehingga penguasa berkuasa puluhan tahun. Demokrasi masa kini menjadi karpet merah bagi jalannya politik dinasti dan politik identitas.
Berbicara soal pemain dalam sistem demokrasi sejatinya berbicara soal kepemimpinan. Demokrasi substansial terwujud manakala para pemain—penguasa dan petarung kekuasaan—bermartabat, berbudi pekerti luhur, berjiwa negarawan. Dari masa ke masa kita terus-menerus memperbaiki sistem permainan (demokrasi) kita, tetapi tak kunjung menciptakan perubahan karena para pemainnya—yang hanya itu-itu saja—tidak pernah berubah karakter kepemimpinannya.
Para founding fathers kita menyadari pentingnya faktor kepemimpinan dalam demokrasi. Karena itu, pada sila keempat Pancasila dirumuskan konsep ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan”. Demokrasi minus kepemimpinan yang berhikmat lagi bijak menjadi bumerang yang destruktif bagi bangsa dan negara.
Mahfud MD dalam acara Orasi Kebangsaan Jogja Gumregah untuk Indonesia pada 27 Juli 2018 mengkritisi buruknya mental para pemburu kekuasaan. Menurut dia, para politisi hanya berpikir dan berambisi untuk menang. Demokrasi kita, menurut Mahfud, adalah ”demokrasi menang-menangan”.
Mahfud lantas mempromosikan konsep ”demokrasi bahari” yang berwatak egaliter, guyub, sportif, dan aseptatif terhadap perbedaan dan keberagaman, bagaikan samudra yang meski ada gelombang namun pada akhirnya melandai dan teduh. Dalam filosofi Jawa ada prinsip hati yang seluas samudra (ati segara) yang mengatakan bahwa orang yang mau mengalah akan mendapat kemuliaan (sapa wani ngalah bakal luhur wekasane).
Setiap pemimpin (penguasa) memiliki kesempatan untuk berperilaku luhur saat ia menjabat atau sedang bertarung untuk merebut kursi kekuasaan. Kita belajar dari keterlambatan penguasa rezim Orde Baru dalam bertindak luhur.
Sayang sekali, visi lengser keprabon madeg pandhita yang dilontarkan Soeharto pada 1997 saat itu tidak mendapat dukungan sistemik dan tidak dibuat perencanaan sistematis untuk diimplementasi. Malahan pada 10 Maret 1998 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menobatkannya kembali menjadi Presiden RI untuk periode yang ketujuh.
Kemunculan para tokoh bangsa yang mendampingi menjelang lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 sejatinya agak terlambat sehingga visi luhur lengser keprabon madeg pandhita itu justru ditanggapi dengan lelucon ”Ora dadi presiden yo ora patheken” (tidak jadi presiden, ya, tidak sakit kulit). Sekarang pun publik hanya mengingat peristiwa Reformasi 1998 itu sebagai peristiwa antiklimaks penguasa rezim Orde Baru yang dilengserkan oleh mahasiswa dan rakyat.
Haryadi Baskoro, Tim Penilai Pembangunan Bappeda Provinsi DIY; Antropolog-Teolog