Penerjemahan berarti juga pengalihmaknaan wacana dari satu sistem budaya ke sistem budaya lain. Hakikat kerja penerjemahan adalah satu upaya membangun jembatan antarbudaya dan antarbangsa, menerobos sekat bahasa.
Oleh
ANTON KURNIA
·5 menit baca
DIDIE SW
.
Tahun ini kita peringati genap seratus tahun kelahiran Chairil Anwar. Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922, dan wafat di Jakarta, 28 April 1949, dalam usia 27 tahun. Namun, dalam usia semuda itu dan dalam masa puncak kreatif sekitar tujuh tahun saja, karya-karyanya amat berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia.
Seperti tertera dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” (1945), Chairil termasuk di antara para penyair yang menyatakan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”. Melalui pergaulannya yang intens dengan “kebudayaan dunia”, Chairil antara lain membawa pengaruh sastra dunia modern ke dalam puisi-puisinya. Chairil juga memperkenalkan dan menerjemahkan sejumlah puisi dan prosa karya para sastrawan dunia masa itu dari berbagai bahasa—Belanda, Inggris, Jerman. Dalam hal ini, menyitir José Saramago, Chairil adalah “kurir sastra dunia”.
Menurut H.B. Jassin dalam senarai yang dia susun di dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1956), antara 1942 dan 1949 Chairil setidaknya menghasilkan 70 puisi asli, 6 prosa (esai) asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, dan 4 prosa (surat, cerpen, dan novela) terjemahan.
Chairil adalah pembelajar tekun yang membaca karya para penyair dunia sezaman dan pendahulunya, antara lain Jan Slauerhoff (1898-1936) dan Hendrik Marsman (1899-1940). Dia kemudian menerjemahkan, menyadur, menyitir, dan mendapatkan pengaruh dari apa-apa yang dibacanya yang kemudian memperkaya karya-karyanya sendiri.
Dalam “Hoppla!”, dia menegaskan pandangannya tentang sastra dunia modern yang menjadi inspirasinya. Chairil antara lain menulis, “Hopplaa! Melompatlah! Nyalakan api murni, api persaudaraan bangsa-bangsa yang tidak akan kunjung padam.” Chairil menyalakan “api persaudaraan bangsa-bangsa” itu melalui karya sastra yang dia terjemahkan.
Penerjemahan sesungguhnya tak sekadar alih bahasa suatu teks, tetapi juga pengalihmaknaan wacana dari satu sistem budaya ke sistem budaya lain. Maka, kerja penerjemahan adalah upaya membangun jembatan antarbudaya dan antarbangsa dengan menerobos sekat bahasa. Lalu, bagaimanakah sumbangan Chairil terhadap sastra Indonesia sebagai penerjemah karya sastra?
Menurut saya, sumbangan Chairil sungguh signifikan. Chairil, misalnya, orang pertama yang menerjemahkan ke bahasa Indonesia karya tiga pemenang Hadiah Nobel Sastra sezamannya. Mereka adalah John Steinbeck (1902-1962) lewat “Kena Gempur” (dari “Raid”, dipublikasikan majalah Panca Raya, Februari 1947, lalu diterbitkan Balai Pustaka, 1951), André Gide (1869-1951) lewat “Pulang Dia si Anak Hilang” (dari “Le retour de l’enfant prodigue”, disiarkan majalah Pustaka Rakyat, September 1948), dan Ernest Hemingway (1899-1961) lewat cerpen “Tempat yang Bersih dan Lampunya Terang” (dari “A Clean and Well-Lighted Place”, dimuat majalah Internasional, Juli 1949).
Gide memenangkan Nobel Sastra pada 1947. Hemingway kelak meraih Nobel Sastra pada 1954. Sementara, Steinbeck mendapatkan Nobel Sastra pada 1962. Ini menunjukkan pula ketajaman penilaian Chairil dalam memilih pengarang mana yang perlu diterjemahkan.
Penerjemah puisi
Chairil juga menerjemahkan puisi-puisi karya para penyair terkemuka dunia, antara lain Multatuli, E. Du Perron, R.M. Rilke, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, W.H. Auden, dan John Cornford.
Salah satu puisi terjemahannya adalah “Huesca” yang diterjemahkan dari sebuah sajak terkenal John Cornford (1915-1936), penyair komunis Inggris yang gugur dalam Perang Sipil Spanyol. Puisi ini sesungguhnya tak diberi judul oleh penyairnya sendiri. Setelah kematian Cornford, puisi itu dikenal sebagai “To Margot Heinemann” dan disebut penyair Carol Rumens sebagai “salah satu puisi cinta paling menyentuh pada abad ke-20”.
Terjemahan Chairil yang disiarkan kali pertama oleh majalah Gema Suasana pada Juni 1948 ini pernah dikritik karena dianggap tidak setia dengan teks aslinya. Namun, di sisi lain terjemahan itu dipandang indah serta membuka penafsiran dan makna baru.
Dalam puisi itu, Chairil menerjemahkan larik “Heart of the heartless world” sebagai “Jiwa di dunia yang hilang jiwa”. Di sini Chairil menerjemahkan kata “heart”, yang berarti “hati” atau “inti”, menjadi “jiwa” dan “heartless” yang bermakna “kejam” sebagai “hilang jiwa”.
Larik pembuka sajak Cornford ini sesungguhnya kutipan kata-kata Karl Marx dalam pengantar Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843).
Sementara, larik penutup yang berbunyi “Remember all the good you can/ Don’t forget my love” diterjemahkan sebagai “Ingatlah sebisamu segala yang baik/ Dan cintaku yang kekal”, alih-alih “Kenanglah segala kebaikan yang kau ingat/ Jangan lupakan cintaku”.
Secara harfiah, terjemahan Chairil tersebut kurang tepat. Namun, dari perspektif lain, “kreativitas” Chairil dalam menafsirkan larik-larik itu dalam teks terjemahannya membuka nuansa puitis yang baru dan tajam dalam menggambarkan keputusasaan dan cinta yang pedih di tengah perang dan ancaman kematian.
Dalam pandangan saya, terjemahan Chairil itu menjelma sebuah puisi tersendiri atau “karya baru” yang utuh dalam bahasa Indonesia. Menyitir kata-kata Chairil dalam sebuah pidato radio pada 1946, puisi terjemahan itu memenuhi syarat sebagai “puisi yang berarti” karena “mampu memadukan suasana, kehidupan, dan tokohnya”. Puisi terjemahan Chairil itu adalah “sebuah sajak yang menjadi”, yakni “suatu dunia” yang “diciptakan kembali oleh si penyair” (yang dalam hal ini adalah “si penerjemah”) dan berhasil “menyentuh” pembacanya.
“A translator is a traitor,” ujar sebuah adagium terkenal. Dalam konteks tertentu, itu ada benarnya. Apa yang dilakukan Chairil Anwar sebagai penerjemah terhadap teks puisi John Cornford adalah contoh pengkhianatan yang indah—sebuah penafsiran yang mungkin tak sepenuhnya berhasil, tetapi dia mampu menyentuh kita sebagai pembaca. Mengutip Sapardi Djoko Damono, “Tak ada penerjemahan yang salah; yang ada adalah karya yang berhasil atau yang gagal menyentuh kita.”
Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupinya—termasuk dugaan dia pernah memplagiat sejumlah puisi pengarang asing—Chairil Anwar adalah kurir sastra dunia yang amat berjasa dalam memperkenalkan karya para sastrawan terkemuka dunia melalui hasil terjemahannya.
Anton Kurnia, pengarang dan penerjemah, penulis buku Seni Penerjemahan Sastra: Panduan, Gagasan, dan Pengalaman (2022).