Potensi Disrupsi Teknologi ”Blockchain”
Regulator dan para pelaku industri konvensional harus mulai memikirkan bagaimana memanfaatkan teknologi ”blockchain” dan memitigasi potensi disrupsi teknologi ini.

Prasajadi (39) menunjukkan koleksi non-fungible token atau NFT dari edisi Indonesia dalam 57 Peristiwa miliknya pada Rabu (29/6/2022). Koleksi dari harian Kompas itu diterbitkan secara publik di OpenSea, lokapasar jaringan blockchain Ethereum mulai Selasa (28/6).
Banyak yang merasa mengerti blockchain, tetapi sedikit yang benar-benar memahami dan menyadari potensi dan dampaknya. Blockchain bukanlah semata soal Bitcoin dan cara membuat dompet kripto.
Blockchain adalah penerapan teknologi catatan terdistribusi (distributed ledger) yang memungkinkan pemrosesan terdistribusi (distributed computing) secara mandiri tanpa otoritas sentral. Bitcoin hanya salah satu bentuk penggunaannya.
Apa itu sistem pencatatan terdistribusi? Jika Anda menikah di kantor catatan sipil, catatan pernikahan Anda akan disimpan di sana. Untuk mengecek status pernikahan Anda, seseorang harus bertanya kepada kantor catatan sipil sebagai institusi sentral yang mencatatnya. Ini contoh sistem pencatatan terpusat.
Namun, jika Anda mengundang keluarga dan teman ke resepsi pernikahan Anda, status pernikahan Anda akan tercatat di benak setiap tamu yang hadir. Untuk mengetahui apakah Anda sudah menikah atau belum, seseorang cukup bertanya kepada beberapa tamu yang hadir untuk mendapatkan konsensus status pernikahan Anda. Ini contoh sistem pencatatan terdistribusi.
Teknologi blockchain memungkinkan kita menghilangkan ketergantungan terhadap institusi-institusi semacam itu.
Selain kantor catatan sipil, banyak instansi lain yang bertindak sebagai institusi pencatat terpusat. Misalnya, Badan Pertanahan Nasional yang mencatat kepemilikan tanah, kantor pajak yang mencatat pembayaran pajak kita, atau perusahaan asuransi kesehatan yang mencatat limit asuransi yang masih bisa kita gunakan.
Demikian pula bank. Walaupun kita diberi buku tabungan, data saldo dan transaksi yang berlaku adalah yang dicatat secara terpusat di sistem pembukuan bank tersebut. Nah, teknologi blockchain memungkinkan kita menghilangkan ketergantungan terhadap institusi-institusi semacam itu.
Baca Juga: Memprediksi Dampak Metaverse
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F25%2F81bf76ba-97c8-4ad8-bd88-c17d3dffbf54_jpeg.jpg)
Tangkapan layar dari tampilan ponsel Saga yang dikembangkan oleh penyedia rantai blok (blockchain) Solana, disiarkan secara daring di New York City, Amerika Serikat, 23 Juni 2022. Solana merilis ponsel untuk menjembatani ekosistem laman 3.0 atau Web3 yang terdesentralisasi.
Platform blockchain umumnya terdiri dari ribuan bahkan jutaan komputer yang saling terhubung. Setiap data yang akan disimpan akan divalidasi dulu oleh komputer-komputer tersebut. Setelah terjadi konsensus bahwa data tersebut valid, data akan disimpan di semua komputer yang menjadi anggota blockchain.
Setiap blok data terhubung secara kriptografis dengan blok data sebelumnya sehingga membentuk rantai data yang panjang. Oleh karena itu dinamakan blockchain. Untuk mengubah suatu catatan, peretas harus meretas jutaan komputer yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Hal itu sangat sulit atau bahkan mustahil. Inilah mengapa data yang dicatat di blockchain disebut immutable dan tamper-proof. Sekali dicatat, tidak dapat diubah serta sulit diretas.
Untuk mengubah suatu catatan, peretas harus meretas jutaan komputer yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Hal itu sangat sulit atau bahkan mustahil.
Teknologi blockhain pertama kali digunakan untuk membangun Bitcoin berdasarkan jurnal teknis yang diterbitkan oleh Satoshi Nakamoto pada 2009. Bitcoin pada dasarnya adalah jaringan komputer peer-to-peer untuk mencatat saldo dan mentransfer mata uang kripto tanpa otoritas terpusat seperti bank. Semua data dicatat secara terdistribusi oleh jutaan komputer. Setiap transaksi dilakukan oleh para pengguna secara langsung tanpa bank sebagai perantara.
Selain mata uang kripto, blockchain bisa digunakan untuk mencatat banyak hal lainnya. Jika catatan kepemilikan tanah dilakukan menggunakan blockchain, status kepemilikan dan perpindahannya akan dicatat oleh ribuan atau jutaan komputer secara transparan.
Dalam hal ini, peran Badan Pertanahan Nasional sebagai otoritas pencatat terpusat bisa dihilangkan. Mafia tanah akan sulit beraksi karena tidak ada lagi pihak terpusat yang bisa diajak kolusi. Memang, masih ada celah saat pencatatan dilakukan, tetapi bisa dimitigasi dengan kontrol yang memadai.
Tantangannya, apakah Badan Pertanahan Nasional mau memanfaatkan blockchain sebagai solusi teknis untuk memastikan pencatatan yang aman dan transparan yang notabene mengurangi perannya sebagai otoritas terpusat. Untuk mengimplementasikannya, diperlukan keberanian dan political will yang kuat.
Baca Juga: Dari NFT ke Dunia Nyata
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F18%2F04936ad6-84ea-45ec-bdc2-ff07aa88ec56_jpg.jpg)
Salah satu karya ilustrasi digital berformat NFT dari Endah N Rhesa yang dipasarkan di lokapasar Objkt di rantai blok (blockchain) Tezos. Foto diambil pada Jumat (17/6/2022) di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.
Selain berfungsi sebagai platform catatan terdistribusi (distributed ledger), blockchain bisa berfungsi sebagai platform komputasi terdistribusi. Pada 2014, Vitalik Buterin dan beberapa temannya membangun Ethereum sebagai platform komputasi terdistribusi berbasis blockchain. Dengan Ethereum, kita bisa melakukan pemrosesan digital dengan menulis dan menjalankan program yang dinamakan smart contract.
Melalui smart contract, kita bisa membangun proses digital yang berjalan mandiri tanpa otoritas terpusat yang mengaturnya. Misalnya, kita bisa membuat produk tabungan atau pinjaman berdasarkan smart contract sehingga semua transaksi dan pencatatan tereksekusi secara otomatis tanpa perlu bank atau perusahaan pendanaan.
Melalui smart contract, kita bisa membangun proses digital yang berjalan mandiri tanpa otoritas terpusat yang mengaturnya.
Kita dapat juga membangun produk asuransi tanpa perusahaan asuransi. Pihak yang terasuransi dan pihak yang memberikan asuransi mengikatkan diri secara langsung menggunakan smart contract tanpa perusahaan asuransi sebagai perantara. Layanan keuangan terdistribusi yang mandiri semacam itu dinamakan DeFi (decentralized finance).
Peran berkurang
Jika DeFi semakin banyak, dunia keuangan akan terdisrupsi karena peran institusi keuangan tradisional/konvensional dan regulatornya akan berkurang, bahkan hilang. Bank, lembaga keuangan, dan jasa fintech yang saat ini membangun platform dan bisnis dengan konsep otoritas terpusat harus mengantisipasi berkurangnya peran mereka sebagai perantara bisnis.
Regulator, seperti Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, juga perlu mengantisipasi berkurangnya kontrol mereka terhadap industri keuangan jika hal itu terjadi.

Sistem yang dibangun di atas blockchain menggunakan smart contract dinamakan dApp (decentralized App) karena aplikasi yang dibuat bisa berjalan secara terdesentralisasi dan mandiri. Platform-platform digital, seperti media sosial, e-commerce, transportasi online, dan agen travel online, harus mulai memikirkan kemungkinan terjadinya disrupsi oleh dApp.
Dengan dApp, semua kebijakan dan model bisnis yang tadinya dikuasai serta diatur secara terpusat oleh pemilik platform akan bisa dilakukan secara terdistribusi dengan mekanisme konsensus dari stakeholder yang mencakup para penguna platform tersebut.
Platform-platform digital, seperti media sosial, e-commerce, transportasi online, dan agen travel online harus mulai memikirkan kemungkinan terjadinya disrupsi oleh dApp.
Bayangkan suatu hari, pengemudi dan pengguna ojek online bisa melakukan voting terhadap kebijakan platformnya. Bayangkan juga setiap pengguna platform e-commerce dapat menentukan arah pengembangan fitur dan mendapatkan bagi hasil berdasarkan transaksi yang dilakukannya.
Dengan teknologi blockchain, para pengguna platform bisa berpartisipasi dalam pengelolaan platform dan bahkan menjadi pemiliknya. Walaupun masih sangat awal, konsep ini tetap harus diwaspadai para pemilik platform digital yang ada saat ini.
Jadi, teknologi blockchain bukan hanya digunakan untuk mata uang kripto seperti Bitcoin, melainkan juga merupakan teknologi pencatatan dan komputasi terdistribusi yang berpotensi mendisrupsi berbagai industri. Regulator dan para pelaku industri tradisional harus mulai memikirkan bagaimana memanfaatkan dan memitigasi potensi disrupsi teknologi blockhain ini.
Rico Usthavia Frans, Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc)