Narasi Subversif
Korupsi dan kejahatan pejabat bermula dari sikap jumawa penguasa, lupa diri bahwa kuasa adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada penguasa dunia moral. Pada jabatan publik melekat tanggung jawab moral-sosial.

Didie SW
Fungsi narasi kuno raja-raja biasanya sebagai legitimasi mengapa mereka sampai berkuasa.
Narasi Ibrani lebih daripada itu dalam hal tak tunduk kepada kekuasaan, bahkan menjungkirbalikkan asumsi penguasa.
Itu berlaku bagi sosok pendiri dinasti yang dikenang sepanjang masa. Alkisah, sewaktu raja-raja biasanya ada di medan perang, Dawid hanya menugaskan panglimanya untuk menaklukkan Raba, ibu kota negeri Amon. Dia sendiri memilih tinggal di istana karena pasukannya tak terkalahkan dalam perang-perang sebelumnya.
Suatu sore, selepas bangun dari pembaringan, raja berjalan-jalan di atas sotoh istana. Tampaklah seorang perempuan sedang mandi. Segera ia mencari tahu sosok sangat cantik itu, sayangnya sudah berkeluarga. Suaminya, Uriyya, orang Het, salah satu dari 30 prajurit terlatih, sedang bertugas di medan perang.
Baca juga : Sejarah Belum Berakhir
Penyelewengan kuasa
Perempuan itu diundang ke istana. Raja menunjukkan perhatiannya dengan bertanya keadaan suaminya, dan seterusnya. Ternyata, itu berkembang menjadi hubungan terlarang yang akhirnya membuahkan kehamilan. Solusi raja untuk kehamilan tak diinginkan itu adalah memanggil pulang sang suami ke istana.
Panggilan pulang itu tentu mengundang tanda tanya siapa pun. Apa urgensinya? Akan promosi jabatan? Ternyata, raja hanya hendak mengetahui keadaan panglima perang dan jalannya peperangan. Sesudah itu, Uriyya mendapat dispensasi untuk menemui istrinya, disertai hadiah dari istana untuk dibawa pulang.
Namun, jiwa keprajuritannya membuat kakinya berat untuk pulang. Ia memilih tidur di depan gerbang istana bersama para pengawal raja. Kejadian itu dilaporkan kepada raja dan ia pun dipanggil kembali ke istana. Alasan sang prajurit sederhana. Mustahil ia bersantai di rumah, sementara panglima dan prajurit-prajurit seperjuangan menjalankan tugas negara dengan taruhan nyawa.

Didie SW
Alasan itu terlalu luhur untuk dipersoalkan. Raja pun akan melepasnya esok kembali ke medan perang. Dalam jamuan pelepasan pergi, ia dibuat mabuk agar pulang ke istrinya. Namun, ia tetap bermalam di tempat yang sama.
Tiada pelanggaran subordinasi. Tiada sanksi indisipliner. Hanya saja, bukan itu skenario- nya. Esoknya, ia benar-benar dilepas pergi dengan membawa sepucuk surat untuk panglima perang. Pesan rahasia untuk panglima adalah Uriyya bersama anak buahnya ditempatkan di garis terdepan, di medan pertempuran paling sengit, lalu tiba-tiba semua pasukan lain ditarik mundur, dan sekelompok kecil pasukan dibiarkan tewas.
Ringan langkah sang prajurit profesional kembali ke medan perang, tanpa menyadari surat kematian yang dibawanya. Membaca pesan rahasia itu, sang panglima langsung mengerti meski bertanya-tanya apa motif serangan bunuh diri itu. Namun, subordinasi mengalahkan rasionalitas profesionalisme. Lagi pula, apalah arti mati sia-sia seorang prajurit bagi seorang panglima yang hendak mengamankan instruksi raja.
Kekalahan hari itu sebuah kejadian luar biasa yang melemahkan semangat juang pasukan dan harus dilaporkan kepada raja. Utusan panglima melapor ke istana dan sudah dipesankan, jika raja menjadi gusar, jangan lupa mengatakan bahwa Uriyya juga tewas.
Alih-alih marah, raja menegaskan, mati dalam perang itu biasa.
Utusan itu melaporkan kekalahan memalukan itu sekaligus tewasnya prajurit itu. Alih-alih marah, raja menegaskan, mati dalam perang itu biasa. Atas perintah raja, panglima perang harus melancarkan serangan yang lebih hebat lagi.
Bangkit kembali semangat juang pasukan perang. Tiada air mata untuk kematian tragis prajurit sejati, kecuali dari istrinya yang meratap dan berkabung. Seusai masa perkabungan, janda itu terhibur dengan menerima pinangan dari orang paling berkuasa di kerajaan.
Siapa tak terkesima melihat keluhuran budi raja yang sudi mengawini janda malang prajuritnya. Seolah-olah kematian suaminya itu tidak sia-sia.

Moralitas kuasa
Begitulah kejahatan moral yang satu ditutupi kejahatan lain untuk menyelamatkan nama baik raja. Sejauh itu, juga belum ada penilaian moral dari narator. Narasi hanya menampilkan kontras. Raja memilih bersantai di istana ketika raja-raja biasanya ada di medan perang, sementara prajuritnya sangat ingin menunaikan tugas negara, dengan risiko mati sekalipun, daripada bersantai dengan istrinya.
Alih-alih melindungi keluarga prajuritnya, raja malah meniduri istrinya. Pagar makan tanaman. Sebagai panglima tertinggi, ternyata ia tak kuasa membuat prajuritnya berkumpul dengan istri sendiri.
Akhirnya, prajurit dikorbankan hanya untuk menutupi kejahatan raja yang berpikir bahwa dirinya juga penguasa dunia moral, bisa mengontrol segala sesuatu.
Tidak ada kejahatan yang sempurna, demikian keyakinan Sherlock Holmes. Narasi itu ditutup dengan suatu penilaian moral bahwa apa yang telah dilakukan raja itu jahat di mata Tuhan. Melenyapkan nyawa prajurit sekaligus mengambil istrinya adalah kejahatan yang menghina Tuhan. Seorang nabi datang membongkar kejahatan terselubung itu. Hukuman berat dinubuatkan. Kelak, raja hidup dalam pengasingan untuk suatu periode karena dikudeta putranya sendiri.
Tidak ada kejahatan yang sempurna, demikian keyakinan Sherlock Holmes.
Penguasa duniawi bisa sewenang-wenang seperti diktum Louis XIV, l’État c’est moi (akulah negara), apa titahku itulah hukum. Alih-alih menciptakan hukum, raja Ibrani hanya hamba hukum penguasa dunia moral. Tanggung jawab moralnya justru besar karena posisinya sebagai penguasa duniawi.
Korupsi dan kejahatan pejabat bermula dari sikap jumawa penguasa, lupa diri bahwa kuasa adalah amanah yang juga harus dipertanggungjawabkan kepada penguasa dunia moral. Noblesse oblige. Pada jabatan publik melekat juga tanggung jawab moral dan sosial.
Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F02%2F01%2F9f0bf633-602f-432c-824d-e1ebf4c7dac9_jpeg.jpg)
Yonky Karman