Kekosongan oposisi ideologis harus segera diisi agar depolitisasi dan negasi perlahan memudar dan berganti bentuk menjadi partisipasi politik yang orisinal. Oposisi ideologis dapat mengambil bentuk apa saja.
Oleh
RENDY PAHRUN WADIPALAPA
·6 menit baca
Sebuah peringatan lama yang mendadak terdengar makin nyata datang dari filosof Slavoj Zizek (2008) yang melihat gejala kepasifan masyarakat sipil dari politik praktis. Orang menyumbang sesuatu dari dirinya untuk negara, tetapi tak lagi dilandasi oleh kesadaran heroik bahwa semua adalah upaya untuk mengartikulasikan makna dirinya sebagai warga negara. Sebaliknya, semua yang terberi datang dari perasaan enggan karena hanya dengan memberi itulah ia bisa menghindar dari keadaan yang rumit dan menyulitkan.
Dalam dimensi yang sama, orang berada di bilik suara dengan ketakpastian, kekosongan rasa, sehingga yang menggerakkannya semata-mata hanyalah sebuah kewajiban rutin belaka. Jargon dan imbauan memilih ditelan, tetapi tak pernah sungguh-sungguh dicerna. Bukan karena ketakmampuan dalam memahami, melainkan justru karena substansi imbauan itu begitu tipis dan tak relevan, tetapi juga begitu magis sehingga siapapun merasa tetap perlu untuk memberi suaranya meski tahu itu sia-sia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Politik uang sepintas berhasil mempercantik angka-angka statistik partisipasi pemilu. Tetapi secara substansi, politik uang sesungguhnya menciptakan kepalsuan legitimasi karena orang sekedar didorong oleh instingtual ekonomi dan bukan partisipasi politik yang jenial.
Dari sini, maka negasi dan penolakan paling mendasar dari warga negara atas pemerintahnya adalah keputusasaan dan ketakpercayadirian: dalam memilih (vote of no confidence) atau dalam keseharian politik yang menuntutnya agar ambil bagian. Ini bukanlah semata-mata bentuk kepasifan, melainkan justru ancaman yang lebih besar dari sebuah pseudo-aktif, keadaan yang seolah-olah aktif dalam melegitimasi negara (lewat partisipasi pemilu, misalnya). Yang terjadi sesungguhnya adalah kepalsuan yang dihidupi dari rutinitas teknis yang membuat segala perilaku politik sebagai mekanis belaka.
Pengertian semacam ini membantu dalam membaca kekacauan politik hari ini secara lebih masuk akal: semua bencana politik, sosial, dan hukum sebagian besar berada di wilayah elite nun jauh di sana, sementara tekanan dan gerakan masyarakat sipil semakin lemah. Dengan antusiasme yang makin samar, orang lebih mudah mencari alasan untuk menarik diri dari partisipasi politik ketimbang memilih terlibat.
Apakah segala kekacauan politik yang meringkus kita hari ini adalah biang soal dari depolitisasi? Apakah semua itu telah berhasil memberi lelah pada nalar kritis untuk terus-menerus bekerja dan merasionalisasi semua kerumitan dan ketakmasukakalan elite politik?
Polarisasi dan ilusi partisipasi
Polarisasi untuk sesaat secara culas berhasil ”menghidupkan” kembali aktivitas politik. Lalu lintas diskursus berjalan hiruk-pikuk dan debat politik makin menjadi dosis sehari-hari. Tetapi bersamaan dengan kesibukan baru ini juga muncul fanatisme yang membuat segala partisipasi aktif itu menjadi demikian ilusif: biang soal dari polarisasi pada mulanya adalah orkestrasi elite dalam mengkanalisasi dukungan politik.
Bukti-bukti akademik atas tren mengkhawatirkan ini berserakan, mulai dari propaganda dalam disinformasi yang membelah para pemilih dalam pilpres Amerika Serikat pada 2016 (Benkler et al 2018), operasi senyap kampanye hitam dan pembelahan suara dalam Pemilu Filipina 2016 (Ong dan Cabanes, 2018), hingga peran industri survei partisan Indonesia dalam menservis kandidat, memanipulasi angka-angka, dan memprovokasi konfrontasi antarpendukung dalam Pilpres 2014 dan 2019 (Tomsa, 2022). Polarisasi telah menolong elite dalam mengonsolidasikan pendukungnya, membakar sentimen fanatisme, dan dengan demikian menciptakan basis dukungan yang setia.
Biang soal dari polarisasi pada mulanya adalah orkestrasi elite dalam menganalisasi dukungan politik.
Mengajukan keriuhan debat sehari-hari semacam ini sebagai bukti, dengan demikian, memerlukan kehati-hatian analitis. Jika elite adalah aktor di balik layar sekaligus kelompok yang paling diuntungkan dari polarisasi dan debat-debat kusir ini, maka partisipasi yang hadir di sana bukanlah sebuah aksi yang jenial, melainkan terkontrol, dengan sketsa yang dirancang oleh segelintir kelompok.
Maka, tertinggal persoalan besar di sini: bagaimana menyelesaikan sebuah relasi antagonisme permanen yang membelah kita di satu sisi, jelata orang kebanyakan, dengan mereka di sisi sebelah lain, elite, penguasa, pemilik privilese?
Menumbuhkan gestur politik yang otentik dan aktif bukanlah soal mudah. Ia bisa lahir dari dua sebab besar. Yang pertama adalah yang paling menyedihkan, yakni kemunculan partisipasi politik yang disetir oleh kondisi krisis berat, di mana dari sana transformasi radikal dimungkinkan untuk berlangsung.
Dalam rupa ekonomi, sosial, maupun politik, sebuah krisis mengancam sendi mendasar yang menumbuhkan sensasi keterancaman dan kemendesakan yang memaksa. Situasi khaotik mungkin terjadi di sini, tetapi setelah itu adalah upaya-upaya lanjutan untuk mencapai harapan dan keseimbangan baru.
Pada konteks kita, krisis ekonomi politik 1997-1998 menghantam kita semua dan membikin ambruk salah satu rezim predatoris terkuat di muka bumi di bawah Presiden Soeharto. Namun, Lev Gudkov (2016) mengajukan koreksi atas proposisi ini dengan menggarisbawahi bahwa pada krisis sering juga terjadi propaganda massif yang membius. Krisis pada era akhir Soekarno dan pemberontakan PKI, misalnya, adalah contoh dari mana kemudian propaganda besar-besaran anti-komunisme lahir, dirawat, dan direproduksi hingga kini.
Kedua, otentisitas gerakan politik dapat lahir karena alasan ideologis, sebuah obligasi moral kolektif yang mengharuskan individu dan kumpulan individu untuk berpartisipasi dalam politik. Dalam konteks Indonesia, contoh terkini dan yang paling jelas tetapi jarang sungguh-sungguh diakui adalah keberhasilan ”gerakan 212”.
Kendati sarat dengan isu konservatisme, tetapi gerakan 212 ini berhasil menarik keluar aktivisme jenial yang didorong oleh kesamaan ideologis yang tak bisa dibendung bahkan oleh kekuatan negara sekalipun. Satu-satunya kekecewaan atas aksi 212 ada pada bagaimana ia harus berhadap-hadapan dengan nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, dan toleransi.
Tetapi resep dari gerakan ideologis semacam ini dapat dibayangkan sebagai sesuatu yang mungkin untuk direncanakan secara progresif dan dimulai sejak kini. Kekosongan oposisi ideologis harus segera diisi agar depolitisasi dan negasi perlahan memudar dan berganti bentuk menjadi partisipasi politik yang orisinal. Oposisi ideologis dapat mengambil bentuk apa saja, dari afiliasi profesi bahkan afiliasi agama, asal mampu melahirkan transformasi radikal atas dinginnya politik kita hari ini.
Kekosongan atas ideologi membuat kita tak lagi berani mengagankan sebuah protes yang elegan dari, misalnya, sekumpulan dosen dan dokter, yang menggugat kegagalan negara dalam penanganan pandemi. Atau, membayangkan bagaimana para ulama, pendeta, dan pemimpin agama mampu memimpin demonstrasi dan merumuskan sebuah tekanan yang keras atas nasib umatnya yang sebagian besar miskin dan makin tertindas oleh ancaman kenaikan harga-harga. Alasan paling terus terang dari semua kemalasan gerakan ini bukan ada pada lemahnya inisiatif, melainkan karena tertelannya kelompok-kelompok yang memiliki privilese dan sumber daya ideologi ke dalam pusaran kekuasaan.
Sementara itu, oposisi formal dalam rupa partai politik sampai detik ini tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menjalankan perannya. Inkonsistensi pendapat dan fragmentasi antar-aktor di dalam kelompok oposisi, berikut persaingan-persaingannya, telah membuat publik kebingungan dalam melihat keberpihakan mereka. Lebih dalam dari itu semua adalah ketiadaan kepastian ideologis, dari mana sebuah aksi politik berdasar dan bagaimana komentar maupun kritik atas kebijakan berlandas tumpu.
Rendy Pahrun Wadipalapa,Peneliti Politik; Mahasiswa Doktoral University of Leeds, Inggris