Tiket Pesawat, Inflasi, dan Pemulihan Penerbangan
(Re) ekspansi Garuda dengan rencana penambahan armada dari 60 unit ke 120 unit dapat menjadi ”entry point” untuk membangun ekosistem industri pariwisata dan aviasi yang terintegrasi.
Ketika dunia penerbangan komersial tengah berupaya bangkit dari kondisi mati suri setelah babak belur akibat dihantam pandemi, datang masalah lain, yakni melambungnya harga energi, termasuk BBM aviasi (avtur).
Kenaikan harga avtur hingga 72 persen Juli lalu dibandingkan posisi awal Januari menjadi mimpi buruk bagi industri aviasi. Industri aviasi sudah terjerembap masih tertimpa tangga.
Bagaimana tidak terjerembap, jumlah armada pesawat sudah jauh menyusut akibat restriksi mobilitas, turis asing masih sepi, jumlah SDM, termasuk pilot, juga menyusut, utang masih menumpuk, dan profitabilitas belum lagi teraih. Naiknya harga avtur yang masih ditambah lagi dengan selisih kurs akibat depresiasi rupiah terhadap dollar AS kian memperburuk kinerja maskapai.
Garuda, misalnya, untuk kuartal I- 2022 masih mencatatkan EBITDA (earning before interest, tax, depreciation, and amortization) negatif, alias rugi bersih 161,62 juta dollar AS. Demikian pula Air Asia, rugi bersih (EBITDA negatif) Rp 555,7 miliar untuk kuartal II-2022, setelah kuartal I-2022 juga mengalami EBITDA negatif Rp 543,8 miliar.
Jika invasi ini bereskalasi menjadi perang berkepanjangan, dampak ini juga akan berlangsung relatif lama.
Dampak invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi yang diberlakukan AS, Kanada, Inggris, dan Uni Eropa terhadap Rusia telah menyebabkan meroketnya harga sejumlah komoditas bahan pangan dan energi dunia. Jika invasi ini bereskalasi menjadi perang berkepanjangan, dampak ini juga akan berlangsung relatif lama. Hal ini perlu diwaspadai.
Tren harga jet fuel spot prices FOB’ pada Index Mundi terus bergerak naik relatif terhadap posisi awal tahun, terutama pasca-invasi Rusia. Pada Januari 2022, harga per gallon 2,45 dollar AS, tetapi melonjak ke 4,12 dollar AS pada Juni, naik 68,16 persen dari awal tahun.
Baca juga: Kinerja Dua Raksasa BUMN Membaik
Dampak perang Rusia-Ukraina praktis ikut melanggengkan era harga avtur tinggi yang berlangsung sejak awal 2019. Sebelumnya, harga avtur jauh di bawah Rp 10.000 per liter, bahkan pernah menyentuh Rp 5.490 per Januari 2015.
Datangnya era harga avtur tinggi yang kemudian ”dilengkapi” lagi dengan pandemi benar-benar mengakhiri masa kejayaan industri penerbangan kita.
Berdasarkan posting Pertamina, harga avtur per liter untuk penerbangan domestik di Bandara Soekarno-Hatta pada awal tahun hanya Rp 10.765,28, tetapi pada Juli meroket menjadi Rp 18.431,28, naik 72 persen. Harga avtur untuk penerbangan domestik ini belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Padahal, biaya bahan bakar berkisar 40-50 persen dari biaya operasional penerbangan. Ini berarti, jika harga avtur naik 70 persen, biaya operasional (biaya pokok produksi) naik 28-35 persen. Maskapai seperti Air Asia bahkan menyatakan kenaikan harga avtur membuat biaya operasional naik 90 persen! Maka, jika tidak ada penyesuaian tarif penerbangan komersial (yang dikatakan sebagai ”kenaikan harga tiket pesawat”), industri aviasi jelas tidak akan mampu beroperasi lagi.
Untuk merespons kenaikan harga avtur dan musim Lebaran 2022, pemerintah melalui Kemenhub mengeluarkan Kepmenhub No KM 68/2022 tentang Biaya Tambahan (fuel surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri per April 2022. Beleid ini mengizinkan maskapai mengenakan tarif tambahan 10 persen untuk pesawat jet dan 20 persen untuk pesawat propeler.
Baca juga: Menapaki Pemulihan Bisnis Penerbangan Indonesia 2022
Aturan ini kemudian diperbarui dengan Kepmenhub No KM 142/2022 yang memungkinkan maskapai mengeset harga tiket pesawat hingga 15 persen dari tarif batas atas (TBA) untuk pesawat jenis jet dan maksimal 25 persen TBA untuk pesawat propeler, berlaku mulai 4 Agustus 2022. Aturan TBA masih mengacu pada Kepmenhub No 106/2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Melambungnya harga tiket tahun ini sebenarnya sudah terjadi pada musim Lebaran karena tingginya permintaan sekaligus kenaikan harga avtur. Kenaikan harga tiket pada musim Lebaran berkisar 20-50 persen daripada hari-hari biasa. Pasca-Lebaran, kenaikan harga tiket masih berlanjut, didorong lonjakan harga avtur. Namun, kendati Kepmenhub No KM 142/2022 sudah berlaku, belum tampak kenaikan drastis harga tiket kelas ekonomi hingga mendekati akhir Agustus. Mengapa demikian?
Setidaknya ada dua faktor. Pertama, bulan Agustus umumnya harga tiket penerbangan paling murah. Kedua, sikap wait and see para pemain penerbangan komersial, terutama Garuda, untuk tak serta-merta menaikkan harga tiket. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan ”tekanan politis” dari pemerintah terhadap maskapai untuk mengendalikan kenaikan harga tiket karena kekhawatiran akan ikut memicu inflasi.
Selain itu, harga-harga tiket pesawat sudah relatif tinggi pada Juli lalu dan faktanya harga tiket pesawat selama Agustus ini justru berkecenderungan turun. Untuk rute Jakarta-Bali, misalnya, beberapa maskapai menawarkan harga di seputar Rp 1 jutaan, sedangkan per Juli lalu, harga tiket online kelas ekonomi untuk rute Jakarta-Bali dipatok Rp 1,5 juta hingga Rp 3 jutaan.
Kekhawatiran inflasi
Isu lain terkait dengan kenaikan harga tiket pesawat adalah masalah inflasi. Mei lalu, sektor angkutan udara tercatat sebagai salah satu pemicu inflasi. Berdasarkan data BPS, inflasi Mei mencapai 0,4 persen (month to month/mtm) dan 3,55 persen (year on year/yoy), didorong kenaikan tarif angkutan udara, dan harga volatile foods, seperti telur ayam ras, ikan segar, bawang merah, bawang putih, dan minyak goreng. Inflasi untuk komponen administered prices (harga diatur pemerintah, termasuk avtur dan tiket pesawat) mencapai 0,48 persen dengan andil 0,09 persen.
Untuk Juli, tingkat inflasi lebih tinggi lagi, 0,64 persen (mtm) dan 4,94 persen (yoy). Inflasi komponen administered prices mencapai 1,17 persen, meningkat dari bulan sebelumnya yang 0,27 persen. Peningkatan ini terutama dipengaruhi tarif angkutan udara, bahan bakar rumah tangga, avtur, dan lainnya. Secara tahunan kelompok administered prices mengalami inflasi 6,51 persen (yoy).
Baca juga: BEI Tunggu Putusan Tetap soal Garuda dan Waskita
Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, kontribusi kenaikan harga tiket pesawat hanya 0,01 persen dalam kenaikan IHK. Jika realitasnya seperti ini, kenaikan tarif penerbangan/tiket pesawat tak signifikan terhadap inflasi, apalagi terdapat faktor-faktor yang sedikit banyak bisa dikendalikan, seperti harga tiket dan harga avtur.
Dengan melihat fakta bahwa harga tiket pesawat di bulan Agustus ini justru berkecenderungan turun, dapat diperkirakan bahwa sektor angkutan udara berkontribusi dalam menurunkan laju inflasi bulan ini dari kelompok administered prices.
”Indonesia Incorporated”
Williamson dalam bukunya, Market and Hirarchies (1975), berargumen, dalam hal tertentu hierarki lebih dipilih daripada pasar karena alasan-alasan (i) organisasi internal bisa mencapai keekonomian di bawah bounded rationality, (ii) dalam organisasi internal lebih sulit diperoleh tingkat keuntungan yang tepat melalui perilaku oportunistis, (iii) mekanisme monitoring dan resolusi konflik lebih efektif, (iv) organisasi internal mereduksi tendensi oportunistis, mendorong sharing informasi, dan komunikasi efektif.
Merespons instruksi dari Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan tingginya harga tiket pesawat (yang mungkin mengacu pada posisi bulan Juli), baik Menteri Perhubungan maupun Menteri BUMN bergerak cepat melaksanakan langkah-langkah sesuai kewenangan.
Menhub mengeluarkan tiga ”jurus”, yakni meminta maskapai untuk memberikan diskon pada waktu-waktu tertentu, seperti siang hari di luar akhir pekan (weekend), dan inovasi lainnya. Selain itu, meminta pemda memberikan subsidi atau mendukung tingkat keterisian tertentu (60 persen) dengan block seat, serta mengusulkan pada Kementerian Keuangan untuk menghilangkan atau menurunkan PPN.
Sementara itu, di samping mendukung Garuda dan Citilink untuk mengendalikan harga tiket pesawat, Menteri BUMN juga akan menambah jumlah armada Garuda dari 61 unit menjadi 120 unit pada akhir tahun. Bukan itu saja, setelah masalah penyelesaian penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), maskapai pelat merah ini akan disuntik dana penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 7,5 triliun.
Namun, masalahnya adalah bagaimana jika eskalasi perang Rusia-Ukraina terus berlanjut setidaknya enam bulan ke depan dengan dampak yang lebih buruk, terutama pada harga energi, termasuk avtur? Untuk mengantisipasinya, kita perlu kembali pada konsep Indonesia Incorporated.
Semua pihak terkait, seperti Kemenhub, Kemenkeu, Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, Pertamina, Angkasa Pura, asosiasi penerbangan (INACA), dan Garuda, serta para pemain industri aviasi lain, perlu duduk bersama dengan orkestrator Kementerian Koordinator Perekonomian.
Terbangunnya ekosistem ini akan berdampak positif dalam memulihkan industri aviasi dan pariwisata nasional secara luas.
Dampak eskalasi konflik Rusia-Ukraina pada harga energi, termasuk avtur, terhadap industri aviasi nasional perlu ditanggung secara renteng dalam bingkai Indonesia Incorporated. Misalnya, pemerintah melalui Kemenhub memberikan subsidi sampai batas waktu tertentu untuk penerbangan kelas ekonomi, Pertamina meningkatkan efisiensi untuk menekan harga avtur dan memaksimalkan kapasitas produksi avtur (bioavtur). Industri aviasi juga meningkatkan efisiensi untuk mengendalikan harga tiket beserta strategi promosinya.
Kemenkeu boleh saja tetap pada posisinya untuk mengenakan PPN pada harga avtur untuk penerbangan domestik demi penerimaan negara. Namun, Kemenkeu perlu mendukung kebijakan subsidi penerbangan kelas ekonomi jika kebijakan subsidi memang dipandang layak untuk diimplementasikan sampai batas waktu yang ditentukan. Demikian pula, komunitas pengguna penerbangan kelas bisnis dan pemda perlu meningkatkan kontribusinya untuk memulihkan industri aviasi nasional.
Konsep Indonesia Incorporated sebagai solusi tanggung renteng atas harga tiket pesawat dan harga avtur yang terdampak invasi/perang Rusia-Ukraina perlu diorkestrasi oleh Kemenko Perekonomian. Koordinasi dan institution setting oleh orkestrator amat strategis dalam rangka mencari solusi saling menguntungkan (win-win solution). Dibutuhkan regulasi dan kesepakatan untuk mengeset harga tiket pesawat dan harga avtur, serta kemungkinan subsidi penerbangan kelas ekonomi di level yang sama-sama bisa diterima semua pihak.
Kasus kartel antarpemain penerbangan yang diputus bersalah oleh KPPU tahun 2019 tak perlu terulang lagi. Omnibus Law (UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja) kini menjadi payung hukum yang baru.
(Re) ekspansi Garuda dengan rencana penambahan armada dari 60 unit ke 120 unit dapat menjadi entry point untuk membangun ekosistem industri pariwisata dan aviasi yang terintegrasi. Pascarestrukturisasi keuangan, Garuda amat diharapkan bertransformasi menjadi korporasi dengan tata kelola yang baik dan tak akan ada lagi cerita korupsi di masa mendatang. Sebab, maskapai pelat merah ini sejatinya memiliki posisi sedemikian strategis dalam rangka membangun ekosistem tersebut.
Ekosistem tersebut melibatkan sejumlah pemain bisnis besar, mulai dari penerbangan, perhotelan, pengelola destinasi superprioritas, hingga industri cendera mata dengan orkestrator Holding Company PT Aviata. Terbangunnya ekosistem ini akan berdampak positif dalam memulihkan industri aviasi dan pariwisata nasional secara luas.
Kolaborasi melalui pengembangan institusional, seperti ekosistem bisnis atau integrasi vertikal, dapat mengurangi biaya transaksi akibat asimetri informasi dan bounded rationality. Institusi dalam hal ini adalah rules of the games, baik formal maupun informal beserta penegakannya.
Wihana Kirana Jaya, Staf Khusus Menteri Perhubungan